BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Islam adalah
agama yang membawa rahmat bagi seluruh alam- rahmatan lil ‘alami>n. Islam rahmatal lil ‘alami>n
adalah Islam yang kehadirannya
ditengah-tengah masyarakat mampu mewujudkan kedamain dan kasih sayang bagi
manusia dan alam semesta beserta isinya. Islam rahmatan lil ‘alami>n berisi sebuah
konsep yang mengatur tata hubungan takeseimbangan menyangkut keseimbangan alam di
dalam memelihara, mengelola dan memamfaatkan
untuk kesejahteraan seluruh umat
manusia. Pengeloaan dan pemanfaatan sumber daya alam ini telah diatur oleh
Allah melalui al-Qura>n dan petunjuk rasul-Nya. Pengelolaan dan pemanfaatannya
kemudian harus sesuai dengan kaidah yang ada, jika tidak, hanya akan
menyebabkan kerusakan alam yang berakibat pula pada tidak meratanya
kesejahteraan manusia. Pola pengelolaan yang salah itulah yang dapat melahirkan
fluktuasi ekonomi rakyat yang demikian tajam serta lahirnya kesenjangan sosial
yang berkepanjangan yang dapat menjadi sumber masalah kemiskinan.
Islam ahlu al-Sunnah wa al-Jama>’ah
dalam termenologis Dr. KH. Said Aqil Siradj diartikan dengan orang-orang yang
memiliki metode berfikir keagamaan yang mencakup semua aspek kehidupan yang
berlandaskan atas dasar-dasar moderasi (tawassut{), menjaga keseimbangan
(tawa>zun), menegakkan keadilan (ta’a>dul) dan toleran (tasa>muh)[1]
dituntut untuk menjadi pelaku terdepan didalam melakukan pemeliharaan,
pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam bagi kemakmuran warga negara
seluruhnya.
Ajaran Islam Aswaja tidak
hanya sebagai sumber nilai etis dan manusiawi yang bisa diintegrasikan dalam
pembangunan masyarakat, namun ia juga secara multidimensional sarat dengan
norma keselarasan dan keseimbangan, sebagaimana yang dituntut oleh pembangunan.
Dari dimensi sosial misalnya, Islam Aswaja mempunyai kaitan yang kompleks
dengan masalah-masalah sosial. Karena shari‘at Islam itu sendiri, justru
mengatur hubungan antara manusia dengan Allah, antara manusia dengan sesama
manusia dan antara manusia dengan lingkungan alam sekitar.
Berbicara kemiskinan, Wargadinata, W (2011: 14) dalam buku Islam Dan Pengentasan Kemiskinan mendefisikan kemiskinan dengan mengadaptasi kata
faqir secara shara’, adalah orang yang orang yang membutuhkan serta lemah keadaanya
yang tidak bisa dimintai apa-apa. Menurutnya juga (dalam Kartasasmita, G)
;
Kemiskinan dapat dilihat dari dua pengertian, kemiskinan absolut dan kemiskinan relatif. Kemiskinan absolut adalah kondisi
kemiskinan yang terburuk, yang diukur dari tingkat kemampuan keluarga untuk
membiayai kebutuhan yang minimal untuk dapat hidup sesuai dengan martabat
kemanusia. Sementara kemiskinan relatif adalah sebuah sikap
memperbandingkan kondisi
suatu golongan dengan golongan lainnya. Kemiskinan model yang kedua sulit sekali dihilangkan Karena ada saja orang yang merasa lebih miskin dari orang
lain.
Definisi
tentang kemiskinan telah mengalami perluasan, seiring dengan semakin
kompleksnya faktor penyebab, indikator maupun permasalahan
lain yang melingkupinya. Kemiskinan tidak lagi hanya dianggap sebagai dimensi ekonomi melainkan telah meluas hingga ke dimensi sosial,
kesehatan, pendidikan dan politik. Meskipun fenomena kemiskinan itu merupakan sesuatu
yang kompleks dalam arti tidak hanya berkaitan dengan dimensi ekonomi, tetapi juga dimensi-dimensi
lain di luar ekonomi, namun selama ini kemiskinan lebih sering dikonsepsikan dalam konteks ketidakcukupan pendapatan dan harta (lack of income and assets) untuk memenuhi kebutuhan dasar seperti pangan, pakaian, perumahan, pendidikan, dan kesehatan.
Pemahaman mengenai kemeskinan dapat dilakukan dengan suatu pendekatan kemampuan untuk memenuhi kebutuhan dasar (basic needs approach). Dengan pendekatan ini dapat diartikan kemiskinan sebagai ketidak kemampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar hidupnya; makanan dan non-makanan, non-makanan bisa dalam
bentuk biaya pendidikan atau kesehatan. Pendekatan ini dijadikan tolok ukur untuk mengetahui siapa-siapa yang tergolong sebagai orang
miskin atau yang berada pada taraf hidup miskin, untuk kemudian dijadikan sasaran
yang diperangi kemiskinannya.
Kemiskinan,
selanjutnya penulis definisikan sebagai sebuah situasi dan kondisi dimana
sesorang dapat menikmati berbagai macam pilihan dan kesempata dalam pemenuhan
kebutuhan dasarnya sehingga mereka pun mnegalami kesulitan dalam mengakses
pelayanan publik misalnya dalam pendidikan dan kesehatan.
Masalah kemiskinan adalah masalah sehari-hari
yang hampir tidak disadari keberadaannya, padahal ia sangat dengan kita.
Masalah ini sering tak terdeteksi oleh radar perhatian, entah karena adanya
program-program pemerintah sehingga kita mengabaikan dan menganggap tidak
penting ataukah sikap masyarakat kita yang sudah mulai individualis sehingga
berujung pada sikap apatis dan skeptis. Padahal program pemerintah yang selama
ini dijalankan sifatnya adalah membantu meringankan dan tidak membantu
mengelurakan masyarakat dari lingkaran kemiskinan, maka program seperti ini
kemudian menjadi kurang efektif dan efeknya bersifat sangat temporer, karena
ibarat memberi seseorang ikan bukan pancing atau kailnya, setelah ikan habis
dimakan bagaimana selanjutnya? Mereka kesulitan lagi mendapatkannya. Konsekuensinya
situasi dan kondisi seperti hanya akan menumbuhkan sikap ketergantungan
terhadap bantuan-bantuan pemerintah yang menjadikan masyarakat sulit mandiri
dan berkembang, justru akan melahirkan kondisi miskin relatif. Apakah kita akan
terus apatis? Apakah kita akan tetap menjadi individualis (aku adalah aku, dia
adalah dia)? Sikap seperti ini jelas bertolak belakang dengan nilai islam ke-Aswaja-an.
Disisi lain Islam
sendiri memandang kemiskinan tidak hanya sekedar masalah,
bahkan suatu musibah yang harus dilenyapkan. Sebab
kemiskinan bisa menjadi ancaman serius terhadap aqidah sesorang. Masalah ini bukanlah hal baru tapi yang utama yang harus segera dicarikan solusi dan dipecahkan. Wargadinata, W(2011: 1), mengatakan,
benar ‘ulama salaf mengatakan “bila
seseorang miskin pergi ke suatu negeri, kekafiran akan berkata kepadanya,
bawalah aku pergi bersamamu”. dan Rasulullah bersabda:
حَدَّثَنَا
حَبِيبُ بْنُ الْحَسَنِ قَالَ: ثنا أَبُو مُسْلِمٍ الْكَشِّيُّ قَالَ: ثنا أَبُو
عَاصِمٍ النَّبِيلُ قَالَ: ثنا سُفْيَانُ الثَّوْرِيُّ، عَنِ الْحَجَّاجِ، عَنْ
يَزِيدَ الرَّقَاشِيِّ، عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «كَادَ الْفَقْرُ أَنْ يَكُونَ كُفْرًا، وَكَادَ
الْحَسَدُ أَنْ يَغْلِبَ الْقَدَرَ.
artimya: habib bin hasan
menceritakan kepada kami, berkata: abu muslim al-kissyi berkata kepada kami,
berkata: abu ‘ashim al-nabil berkata kepada kami, berkata: dari sufyan
al-stauri, dari al-hajjaj, dari yazid al-raqasyi, dari anas bin malik, berkata:
rasulullah SAW. kefaqiran dapat mengakibatkan kekafiran
dan dengki atau hasad dapat mengalahkan qadar.
Dari statement ‘ulama’
salaf dan Hadish Nabi di atas dapat disimpulakan bahwa
masalah kemiskinan menjadi urgen yang harus segera dientaskan. Hadith yang sebenarnya kalau kita
kontekstualkan dengan nalar sehat, kemiskinan yang kita amati selama ini selalu
identik dengan orang yang kurang berpendidikan dan tinggal tempat kumuh dan
kotor, secara otomatis mereka sulit dan jarang melakukan ritual
keagamaan-kalaupun ada pasti dibawah standar regulasi keagamaan. Dan bahkan kemiskinan
bisa mempengaruhi akidah seseorang secara ekstrem. Seorang miskin amat mudah
untuk meninggalkan aqidahnya apakah pindah ke aqidah lain atau tidak ingin
memiliki aqidah sama sekali[2].
Dalam konteks pengentasan kemiskinan, perbincangan
mengenai aktualisasi nilai-nilai aswaja menjadi relevan, karena tujuan utama
pengentasan kemiskinan dalam konteks aswaja adalah pembangunan manusia
seutuhnya. Hal ini berarti tidak hanya membangun kemajuan lahiriyah
(sandang, pangan, papan) semata, atau kepuasan bathiniyah saja, melainkan keseimbangan antara keduanya. Dengan
kata lain, adalah untuk membangun kualitas dan kuantitas hidup dan kehidupan
seseorang yang bermuara pada sebuah konsep saedah
fiddaraini. Aktualisasi nilai-nilai aswaja adalah sebuah konsep
pendekatan masalah-masalah sosial dan pemecahan legitimasinya secara Islami,
yang akhirnya nilai-nilai aswaja menjadi sebuah komponen yang membentuk dan
mengisi kehidupan masyarakat.
Aktualisasi nilai-nilai aswaja dalam pengentasan
kemiskinan menurut rumusan yang jelas, adalah sebagai konsep integritas
teori-praktik, dengan maksud menumbuhkembangkan kesadaran dan solidaritas antar
sesama umat, yaitu bahwa orang muslim yang mampu berkewajiban menafkahi kaum
fakir-miskin, dan dengan aksinya tadi dalam bentuk program-program yang
langsung dalam bentuk kebutuhan mendasar para fakir miskin.
Dalam upaya pengentasan kemiskinan
disini akan dikemukakan dua kategori faktor kemiskinan, sehingga akan diperoleh
upaya pengentasan kemiskinan yang berangkat dari faktor kemiskinan ini. Faktor
kemiskinan yang dimaksudkan disini adalah faktor kultural dan faktor struktural.
Faktor kultural adalah keadaan miskin yang pada dasarnya
lebih disebabkan oleh cara berpikir, mental dan budaya masyarakat yang salah.
Hilangnya kepercayaan diri untuk menghadapi masa depan, adalah kata kunci yang
selalu membuat orang tidak berani berspekulasi untuk merubah diri, termasuk
keluar dari kungkungan kemiskinan. Bagi kelompok ini, manusia sepenuhnya mempunyai kesempatan untuk merubah diri.
Faktor struktural
atau juga disebuat kemiskinan buatan. Kemiskinan yang terjadi karena struktur
social yang ada telah membuat anggota atau kelompok masyarakat tidak bisa
menguasai ekonomi dan fasilitas-fasilitas secara merata. Dengan demikian,
sebagaian anggota masyarakat tetap miskin walaupun sebenarnya jumlah total
produksi yang dihasilkan oleh masyarakat tersebut bila dibagi rata dapat
membebaskan semua anggota masyarakat dari kemiskinan.
B. Rumusan Masalah
Berdasar pada latar belakang diatas,
maka perlu dirumskan permasalahan untuk kemudian dicarikan solusi antisipatif
terhadap permasalahan tersebut. Rumusan masalah tersebut meliputi ;
1.
Bagaimana Konsep Nilai Dasar Aswaja?
2.
Bagaimana Pola Kemiskinan Kultural dan Struktural?
3.
Bagaimana Nilai-nilai Aswaja dalam Pengentasan Kemiskina?
C. Tujuan
Penulisan makalah ini bermaksud untuk :
1.
Mendeskripsikan Nilai Dasar Aswaja
2.
Mengidentifikasi Pola Kemiskinan Kultural dan Stuktural
3.
Mengaktualisasikan Nilai Aswaja Terhadap Pengentasan Kemiskinan
BAB II
PEMBAHASAN
A. Konsep Nilai Dasar Aswaja
Perkataan aswaja atau ahlu al-Sunnah
WA al-Jama’ah dapat diartikan sebagai para pengikut tradisi Nabi Muhammad
dan ijma’ ulama atau suatu golongan yang berpegang teguh terhadap al-Qur’an,
al-Hadits dan al-Ijma’ (kesepakatan atau konsensus) para ulama’[3]. Aswaja atau al-Sunnah Wa al Jama’ah sering di
konotasikan sebagai ajaran (madzhab) dalam islam yang berkaitan dengan
konsep Aqidah, Shari’ah dan tasawuf. Salah satu intrinsik
ini-sebagai identitas adalah keseimbangan pada nilai Naqliyah dan Aqliyah yang
memungkinkan terjadinya sikap akomdatif terhadap perubahan-perubahan yang
berkembang dalam masyarakat, selama tidak bertentangan secara prinsip dengan
nash-nash forma[4].
Sebagai salah satu aliran dalam Islam, Ahlus Sunnah wal
Jama’ah memiliki nilai asasi yang menjadi roh perjuangan serta selalu
diperjuangkan untuk dapat ditegakkan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa
dan bernegara. Dalam menyikapi setiap masalah yang terjadi nilai-nilai ini
dijadikan sebagai tolak ukur sekaligus sudut pandang untuk memberikan jawaban
serta dalam melakukan rekonstruksi budaya. Demikian juga dalam menjalani
kehidupan sehari-hari nilai-nilai dasar aswaja ini selalu dijadikan instrument
penilai bagi baik tidaknya sebuah perilaku, benar tidaknya sebuah tindakan dan
sesuai tidaknya perbuatan dengan norma agama, norma negara dan norma
masyarakat. Maka dalam dalam menghadapi social-budaya yang berkembang di
masyarakat, aswaja mengunakan pendekatan nilai-nilai aswaja dalam sikap; tawasuth, tasamuh, tawazun, dan amar ma’ruf
nahi munkar[5].
1. At-Tawasuth
At-Tawassuth atau sikap
tengah-tengah, sedang-sedang, tidak ekstrim kiri ataupun ekstrim kanan. Maksudnya menempatkan diri antara
dua kutub dalam berbagai
masalah dan keadaan untuk mencapai kebenaran serta menghindari keterlanjuran
kekanan dan kekiri secara berlebihan.
Tawasuth adalah suatu pola mengambil jalan tengah
di antara kelompok-kelompok keagamaan
yang berkembang pada saat itu. Yaitu kelompok pemikiran yang ekstrem
(tatharruf): misalnya antara Qadariyah (free-weel) di satu sisi dengan
Jabariyah (fatalism)[6].
Pengambilan jalan tengah bagi kedua ekstrimitas ini juga disertai sikap al-iqtishad
(moderat) yang tetap memberikan ruang dialog bagi pemikiran yang berbeda-beda.
Dalam
membicarakan perbutan manusia, kedua kelompok diatas bersebrangan. Jabariyah
berpendapat bahwa seluruh perbuatan manusia diciptakan oleh Allah dan manusia
tidak memiliki peranan penting. Sedangkan qadariyah memandang bahwa perbuatan
manusia diciptakan oleh mereka sendiri terlepas dari Allah. Dengan demikian,
bagi jabariyah kekuasaan Allah adalah mutlaq dan menurut Qadariyah kekuasaan Allah
terbatas.
Sikap tawasuth kemudian ditunjukkan oleh
Aswaja dengan konsep al-kasb
(ikhtiyar). Menurut Imam al-Asy’ari, perbuatan manusia memang diciptakan oleh
Allah, namun manusia memiliki peranan dalam perbuatannya[7].
Dengan konsep al-kasb menjadikan manusia
berusaha secara kreatif dalam menjalani kehidupannya, namun jangan lupa bahwa
Allah lah yang menentukan semuanya.
Sikap tawasuth
dituangkan dalam al-Qur’an.
وَكَذلك
جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً وَسَطًا لِتَكُونُوا شُهَدَاءَ عَلَى النَّاسِ وَيَكُونَ
الرَّسُولُ عَلَيْكُمْ شَهِيدًا. (١٤٣)
Artinya: “Dan demikian Kami telah jadikan kamu
(umat Islam), umat pertengahan (yang adil dan pilihan) agar kamu menjadi saksi
atas perbuatan manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan)
kamu.....” (QS. Albaqoroh: 143).[8]
Sikap
tawasuth cocok di implementasikan pada suatu kondisi kemiskinan yang terjadi
akibat enkulturasi doktrin sufi yang menginterpretasi konsep Qana’ah secara searah, atau oleh suatu
wacana yang sudah measyarakat yaitu “Tuhan
sudah mengatur rejeki manusia” yang melahirkan sikap mlempen
dan pasrah pada suatu keadaan. Padahal konsep Qana’ah harus didahuli oleh sebuah proses ikhtiyar dimana seseorang wajib melakukan suatu usaha maksimal.
2. At-Tasamuh
Tasamuh adalah toleran terhadap pluralitas
pemikiran.[9]
Menurut terminologinya Dr. KH. Abdullah Syamsul Arifin, tasamuh merupakan suatu sikap berpegang teguh prinsip diri yang
benar dan mengakui prinsip orang lain yang menurutnya benar. Sikap toleran ini
memberikan nuansa khusus dalam hubungannya dengan dimensi kemanusiaan dalam
lingkup yang lebih universal. Sehingga konsep toleran masyarakat Aswaja
benar-benar berdiri kokoh diatas sebuah sikap yang didasari dengan pemahaman
dan pengetahuan yang kokoh pula.
Kami mencoba
ketengahkan sebuah ayat dari al Qur’an yang dianggap dapat menjadi dasar dari
pengembangan sikap tasamuh ditengah-tengah masyarakat, yaitu pada surah ayat:
قد كانت لكم فىى رسول الله اسوة حسنة فى ابراهيم والذين
معه اذ قالوا لقومهم انا برءؤا منكم ومما تعبدون من دون الله كفرنا بكم وبدا بيننا
وبينكم العداوة والبغضاء ابدا حتى تؤمنوا بالله وحده الا قول ابراهيم لابيه
لاستغفرن لك وما املك لك من الله من شيء ربنا عليك توكلنا واليك انبنا واليك
المصير (الممتحنة : 4)
Artinya :
“Sesungguhnya telah ada suri tauladan yang baik bagimu pada Ibrahim dan
orang-orang yang bersama dengan dia; ketika mereka berkata kepada kaum mereka:
"Sesungguhnya kami berlepas diri daripada kamu dari daripada apa yang kamu
sembah selain Allah, kami ingkari (kekafiran)mu dan telah nyata antara kami dan
kamu permusuhan dan kebencian buat selama-lamanya sampai kamu beriman kepada
Allah saja. Kecuali perkataan Ibrahim kepada bapaknya: "Sesungguhnya aku
akan memohonkan ampunan bagi kamu dan aku tiada dapat menolak sesuatupun dari
kamu (siksaan) Allah." (Ibrahim berkata): "Ya Tuhan kami hanya kepada
Engkaulah kami bertawakkal dan hanya kepada Engkaulah kami bertaubat dan hanya
kepada Engkaulah kami kembali”. (QS. Mumtahanah : 4)
Dalam
konteks kemikinan sesuai dengan faktor diatas bisa kita ilustrasikn konsep tasamuh dengan kita meyakin kebenaran
konsep Qana’ah dan setatement-Tuhan telah mengatur rejeki
Manusia. Namun kita tetap berpegang teguh pada keyakinan kita bahwa yang lebih
benar sebelum mengaplikasikan sikap Qana’ah
adalah wajib melakukan upaya-upaya. Kebenaran dalam melakukan usaha juga
kita amati dari kata bijak Ini “Allah memberikan setiap burung makanannya, tapi
Dia tidak menaburkar ke sarangnya”.
3. At-Tawazun
Tawazun
adalah keseimbangan, tidak berat sebelah, tidak kelebihan suatu unsur atau
kekuranga unsur yang lain[10] terutama dalam dimensi sosial-politik.
Prinsip ini dalam kerangka mewujudkan integritas dan solidaritas sosial umat
Islam. Bukti dari pengembangan corak al-tawazun ini dapat disaksikan dari
dinamika historis pemikiran-pemikiran al-Asy’ari dan al-Ghazali. Asy’ari lahir
di tengah dominasi ekstrimitas rasionalisme Mu’tazilah dan skriptualisme
Salafiyah, sedangkan al-Ghazali menghadapi gelombang besar ekstemitas kaum
filosof Syi’ah dan Batiniyyah.
Menurut
al-Ghazali, rasionalisme bisa mengantarkan kemajuan, namun bisa menjauhkan
manusia dari Tuhannya. Sebaliknya, aspek batin yang mendapatkan atensitas
berlebihan, dapat melumpuhkan intelektualitas, kreativitas dan etos kerja. Maka
dibutuhkan keseimbangan antara tuntutan-tuntutan kemanusiaan dan ketuhanan.
Sikap
tawazun telah digambarkan Qur’an dalam surat al-Qashas ayat 77 yang cocok
dengan kondisi masyarakt dewasa ini yang sebagaian hanya memprioritaskan
kemaslahatann ukrowi atau yang sebagain lagi hanya berorientasi duniawi saja,
padahal ayat ini jelas menganjurkan kehidupan yang seimbang antara dunia dan
akhirat.
وَابْتَغِ فِيمَا آتَاكَ اللَّهُ الدَّارَ الْآخِرَةَ وَلَا تَنْسَ
نَصِيبَكَ مِنَ الدُّنْيَا وَأَحْسِنْ كَمَا أَحْسَنَ اللَّهُ إِلَيْكَ وَلَا
تَبْغِ الْفَسَادَ فِي الْأَرْضِ إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ الْمُفْسِدِينَ
Artinya : Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah
kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu
dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana
Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka)
bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.(Q.S. al-Qashas:77)
4. Amar Ma’ruf Nahi Munkar
Amar
ma’ruf nahi munkar artinya memerintahkan/mengajak diri dan orang lain melakukan
hal-hal yang dipandang baik oleh agama, dan melarang/mencegah diri dan orang
lain melakukan hal-hal yang dipandang buruk oleh agama.[11]
Setiap insan memiliki kewajiban menyeru dan mendorong berbuat baik yang
bermanfaat bagi kehidupan duniawi maupun ukhrawi, serta mencegah dan
menghilangkan segala hal yang dapat merugikan, merusak, merendahkan dan atau
menjerumuskan nilai-nilai moral keagamaan dan kemanusiaan. Banyak sekali
ayat-ayat al Qura’an dan Hadits Nabi Saw. yang memerintahkan setiap pribadi
muslim untuk selalu melakukan amar baik dan mencegah kejahatan, baik dilakukan
personal maupun secara berjamaah.
Diantara
Hadits Nabi yang paling terkenal adalah Hadits yang memerintah amar makruf-nahi
mungkar tiga hal yaitu dengan tangan (bi yadihi), dengan lisan (bilisanihi) dan
dengan hati (biqalbihi).
وعن أبي سعيد
الخُدريِّ: قال: سمعت رسول الله - صلى الله عليه وسلم - يقول: " من رأى منكم
منكراً، فليغيِّره بيده، فإن لم يستطع، فبلسانه، فإن لم يستطع، فبقلبه، وذلك أضعف
الإيمان[12]
Artinya:
Dari Abu Sa’îd al-Khudri Radhiyallahu anhu, ia berkata, “Aku pernah mendengar
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, Barangsiapa di antara kalian
melihat kemungkaran, maka hendaklah ia mengubahnya dengan tangannya
(kekuasaannya); jika ia tidak mampu, maka dengan lidahnya (menasihatinya); dan
jika ia tidak mampu juga, maka dengan hatinya (merasa tidak senang dan tidak
setuju), dan demikian itu adalah selemah-lemah iman.
Pengaplikasian
nilai-nilai aswaja dalam kehidupan sehari-sehari dalam beragama, berbangsa dan
bernegara bermaksud menumbuhkembangkan tiga sikap ukhuwah: Ukhuwah Islamiyah, Ukhuwah Wathaniyah dan Ukhuwah
Insaniyah. Ukhuwah Islamiyah merupakan landasa teologis dalam menjalin
persaudaraan tersebut dan sekaligus merupakan entry point dalam mengembangkan ukhuwah yang
lain. Agar keimanan ini terefleksikan maka kepercayaan ini harus diterjemahkan
kedalam realitas sosiologis dan antropologis yang selanjutnya ukhuwah islamiyah
diterapkan menjadi ukhuwah wathoniyah (solidaritaskebangsaan)[13].
Dengan adanya landasan iman ini terbukti ukhuwah wathoniyah ini terbukti
menjadi paham paham kebangsaan yang kuat. Ini yang disebut dengan nasionalisme
religius, nasionalisme yang disemangati oleh agama.
Jika
ukhuwah wathoniyah tidak dilandasi keimanan dan keislaman maka ia akan labil
dan rapuh sehingga mudah dirasuki paham lainnya baik komunisme dan liberalism.
Sepertinya Indonesia sendiri pun mengalami hal seperti ini. Komunisme dan
liberalism dan sekutunya telah terbukti merusak semua sendi-sendi kehidupan,
baik aspek ekonomi, social, politik dan budaya. Dan faktanya islam sangat
menentang segala paham yang destruktif tersebut. Aswaja harus berdiri dibarisan
terdepan menetang ideologi semacam itu, karena Aswaja dengan ideologi-Islam
Rahmatan Li al-‘Alamin-nya- berusaha membangun karakter bangsa sebagai langkah
menjadikan Indonesia sebagai Negara yang sejahtera, adil dan berdaulat[14].
Untuk mewujudkan hal tersebut perlu ditingkatkan ukhuwah islamiyah dan ukhuwah
wathoniyah menjadi ukhuwah insaniyah yang menjamin persaudaran universal.
Dalam pengentasan kemiskinan konsep ukhuwah ditranformasik kedalam
sikap at-Ta’awun- tolong-menolong dan at-Taqaddum-berhaluan kedepan
(progress). Tolong menolong memang sangat sesuai dengan jatidiri manusia itu
sendiri sebagai makhluq social, yang ia tidak memungkinkan untuk hidup sendiri
tanpa kerjama dengan sesama. Dalam agama Islam tolong menolong merupakan
prinsip dalam bermuamalah. Bila setiap bentuk muamalah menyadari prinsip ini,
jalan perekonomian pasti akan berkembang dan lancar. Sesuai firman Allah Surat
al Maidah ayat 02 yaitu:
وَتَعَاوَنُوا
عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ
وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ
Artinya : tolong menolonglah kamu dalam
(mengerjakan) kebaikan dan taqwa dan jangan tolong menolong dan melakukan dosa
dan permusuhan, dan bertaqwalah kamu semua, karena sesungguhnya siksa Allah
amat pedih.
Al-Taqaddum yang berarti berhaluan kearah depan (progresifitas).
Sebuah prinsip yang mengajarkan adanya sikap kemauan keras (strong willingness)
yang dapat menggerakkan motifasi untuk bekerja dengan sungguh-sungguh.[15]
Prinsip ini mendorong warga NU untuk berpikir maju dalam mengembangkan semua
sektor, khususnya pemberdayaan ekonomi dan peningkatan kualitas pendidikan. Bergerak
maju dengan cepat adalah modal menggapai kesuksesan. Karena orang-orang yang
berhasil, atau bahkan bangsa yang berhasil adalah yang mau bekerja keras, tahan
menderita, memiliki semangat juang tinggi untuk memperbaiki nasib serta
memiliki optimesme tinggi akan keberhasilan dalam setiap usahanya dimasa depan.
Aswaja,
kemudian, meyakini hidup dan kehidupan manusia sebagai takdir Allah. Dalam arti ukuran-ukuran yang telah
ditetapkan dan meletakkannya kedalam sebuah proses, suatu urutan keberadaan,
kejadian dan tahapan-tahapan kesempatan yang diberikanNya kepada manusia untuk
berikhtiyar melestarikan sekaligus memberi makna bagi kehiupannya
masing-masing. Dalam mengupayakan kelestarin dan makna hidup tersebut,
Nilai-nilai Aswaja menjadi-Way of Life- jalan
hidup menyeluruh yang melibatkan aspek-aspek kehidupan manusia sebagai makhluk
individu ataupun sosial dalam berbagai komunitas masyarakat dan berbangsa.
Pada akhirnya nilai di atas yang
dikonpseptualisasikan sebagai pedoman (guidelines) hidup dan
ditransformasikan kedalam prilaku (action) akan bermuara sebuah konsep keseimbangan hidup
seseorang yaitu Saedah Fi a-Daraini. Konsep
Saedah Fiddaraini adalah tujuan akhir
(final destination) dari serangkaian hidup dan kehidupan masyarakat muslim
diseluruh nusantara bahkan dunia. Saedah
Fi a-Daraini dalam bahasa kekinian berarti kualitas kehidupan seseorang,
dalam arti kondisi mapan hidup seseorang dari dua aspek; personal dan sosial.
Dalam suatu kesempatan, Mario Teguh di acara MTGW, mengutarakan sebuah
pernyataan “Kualitas hidup seseorang didunia akan menentukan kualitas kehidupan
mereka di akhirat”. Ini berarti adanya sebuah korelasi dalam mengupayakan
kehidupan yang layak bagi manusia baik didunia maupun di akhirat kelak.
Berangkat dari pemahaman konsep saedah
fi a-daraini yang benar inilah Aswaja mendorong pengikutnya untuk membantu
saudara seagama dan sebangsa yang dilingkupi situasi dan kondisi kemiskinan.
Nilai-nilai aswaja menggerakkan sisi sosial humanis seseorang untuk berprilaku
peduli, solidar dan ta’awun.
B. Pola Kemiskinan Kultural dan
Struktural
Masalah krusial yang diahadapi oleh Bangsa-Bangsa
Internasional dewasa ini termasuk dunia Islam adalah keterbelakangan
(underdevelopment) yang darinya terhimpun dua hal dengan subur yaitu kebodohan
dan kemiskinan. Kmiskinan di Indonesia merupakan fenomena tersendiri bagi
kehidupan rakyat sehari-hari. Diantara himpitan kesulitan lain, kemiskinan
merupakan problem utama yang harus menjadi agenda skala prioritas bagi
pemerintah Indonesia atau pihak-pihak yang juga turut peduli. Di samping itu
kemiskinan juga berkaitan dengan keterbatasan lapangan pekerjaan dan biasanya
mereka yang dikategorikan miskin (the poor) tidak memiliki pekerjaan
(pengangguran), serta tingkat pendidikan dan kesehatan mereka pada umumnya
tidak memadai. Mengatasi masalah kemiskinan tidak dapat dilakukan secara
terpisah dari masalah-masalah pengangguran, pendidikan, kesehatan dan
masalahmasalah lain yang secara eksplisit berkaitan erat dengan masalah
kemiskinan. Dengan kata lain, pendekatannya harus dilakukan lintas sektor,
lintas pelaku secara terpadu dan terkoordinasi dan terintegrasi.
Secara garis terdapat pembagian mengenai masalah kemiskinan itu
sendiri, setidaknya terdapat dua faktor pembeda yang menyebabkan timbulnya
kemiskinan dan membagi pola kemiskinan itu sendiri, diantaranya adalah:
1. pola kemiskinan kultural
Pola kemiskinan adalah lebih mengarah
kepada kondisi miskin yang disebabkan oleh faktor-faktor tertentu. Pada pola
ini penulis lebih menitiberat faktor utamanya pada tingkat pendidikan yang
masyarakat yang rendah. Sehingga mereka kesulitan mendapatkan akses jaringan
dan lapangan pekerjaan dan akhirnya tidak bisa berkembang. Hal ini jelas karena
adanya kesalahan pada subjeknya. Kualitas pendidikan yang rendah dapat
membentuk pola berpikir, mental dan budaya yang salah pada suatu masyarakat, misalnya malas, apatis,
tidak percya diri atau tidak punya kemampuan dan ketrampilan. Pada kondisi ini mereka masih mempunyai kesempatan untuk merubah diri.
Bisa kita ambil salah satu contoh dari mindset yang
salah. Contoh masyarakat kita sering terjebak dengan konsep qana’ah, konsep yang menerima apa
adanya, atau pada sebuah pernyataan “tuhan telah atur semua rezeki hambanya”
yang semua ini berakibat melemahnya etos kerja seseorang.
Jika faktor
yang mendorong kemiskinan adalah rasa malas, tidak kreatif, tidak kompetitif,
tidak tekun dan tidak disiplin,
maka itu menjadi tanggung jawab individual yang jalan pemecahannya bisa melalui pendidikan, pembinaan, training dan lainnya. Akan tetapi
langkah yang paling utama adalah dengan cara penyadaran diri bahwa dirinya
harus berubah kearah yang lebih baik dan sempurna lagi.
2. Pola Kemiskinan Struktural
Pola kemiskinan structural adalah akibat
dari sebuah sistem yang dibangun oleh manusia yang secara langsung atau tidak
langsung dapat memberikan pengaruh terhadap lahirnya sebuah kemiskinan karena
system tersebut menghimpit atau membatasi ruang gerak aktifitas ekonomi
masyarakat. Pola
kemiskinan ini terbentuk karena struktur sosial yang telah membuat anggota atau
kelompok masyarakat tidak bisa menguasai sarana ekonomi dan fasilitas-fasilitas
secara merata (Halim, A dkk, 2005 : 210). Dengan demikian, sebagaian anggota
masyarakat tetap miskin walaupun sebenarnya jumlah total produksi yang
dihasilkan oleh masyarakat tersebut bila dibagi rata dapat membebaskan semua
anggota masyarakat dari kemiskinan.
Menurut Wargadinata, W (2011: 21) kemiskinan tidak disebakan
oleh faktor yang ada pada masyarakat yang bersangkutan seperti kurangnya modal,
tingkat pendidikan yang rendah, dan lain sebagainya. Faktor tersebut hanyalah
atribut dari kemiskinan saja, lebih dari itu bahwa kemiskinan berakar dari
eksploitasi, terutama yang disebabkan oleh kekuatan kapitalis asing yang
melakukan panetrasi, dominasi dan pengerukan keuntungan. Golongan yang
menderita kemiskinan ini, misalnya para petani yang tidak punya tanah sendiri,
pedagang asongan, dan pekerja Unskilled
sehingga penghasilannya tidak cukup untuk memberi makan pada keluarganya.
Dalam aspek ini kemiskinan itu terjadi diantaranya
karena :
1.
Sistem ekonomi pasar global yang
kapitalis dan cenderung melakukan monopoli dan eskploitasi keseluruhan atau
sebagai besar potensi ekonomi rakyat. Sistem ini digerakkan oleh Negara dalam
etalase ekonomi makro (nasional) guna mendongrak pembangunan nasional dengan
menggunkana tenaga luar negeri serta mengabaikan tenaga local (rakyat).
Sehingga dimana-mana rakyat hanya menjadi penonton yang tidak tahu-menahu sama
sekali bagaimana proses pengolahan SDA-nya dan berapa keuntungan yang
dihasilkan. Konsekuensinya, rakyat yang memiliki sumber daya alam tetap dalam
kesusahan hidup.
2.
Maraknya system transaksi ekonomi
masyarakat yang cenderung mencekik dan menyengsarakan, dimana terbanyak
dimotori oleh para kaum borjuis local. Sistem ini begerak dalam bentuk renten,
yaitu meminjamkan uang dengan bunga yang berlipat ganda.
Halim, A, Dkk (2005) mengatakan ada dua ciri utama dari pola
kemiskinan struktural.
1.
Tidak terjadinya mobilitas sosial vertical, kalaupun ada
bersifat lamban. Sehingga yang terjadi si-miskin akan terus hidup dalam
kemiskinannya dan si kaya akan tetap menikmati kekayaannya.
2.
Timbulnya ketergantungan yang kuat si miskin terhadap kelas
sosial ekonomi diatasnya.
C. Akualisasi Nilai-nilai Aswaja Dalam Pengentasan
Kemiskinan
Penciptann manusia adalah sebagai khalifah Allah di
bumi ini, karena Allah mengembankan tugas kepada manusia untuk menjaga
keseimbangannya, menata kelola, dan memakmurkannya untuk terselenggaranya
kesejahteraan bagi penghuninya. Dengan kata lain, konstruksi dan destruksi di
bumi ini tergantung kepada manusia itu sendiri. Disinilah sikap tawazun sangat
dibutuhkan manusia sebagai modal utama terciptanya kesejahteraan tersebut.
Dalam konteks ini manusia dituntut untuk berkepribadian saleh secara personal,
sosial dan environmental (lingkungan). Dan dalam mengejawantahkan saleh
secara sosial adalah salah satunya dengan menumbuh kembangkan ukhwuah-rasa
persaudaraan yang tinggi dan ditransformasikan kedalam prilaku ta’awun (sikap
tolong-menolong) terhadap orang-orang yang membutuhkan-dalam kasus ini mereka
orang-orang yang hidup dibawah garis kemiskinan.
Kemiskinan
(poverty) merupakan masalah yang dihadapi oleh seluruh Negara, terutama Negara
Berkembang seperti Indonesia. Kemiskinan ini bersifat multidimensional artinya
masalah kemiskinan dengan masalah lainnya baik secara langsung ataupun tidak
langsung. Kita bisa asumsikan kemudian bahwa kemajuan atau kemunduran pada
salah satu aspek dapat mempengaruhi kemajuan ataukemunduran aspek lainnya.
Telah disinggung pada bab
pertama tentang relevansi nilai aswaja dalam pengentasan kemiskinan, ini tak
lepas dari upaya pembangunan manusia seutuhnya secara umum. Dalam arti
pembangunan tersebut tidak hanya berfokus pada kemajuan secara lihiryah
(sandang, pangan atau papan) semata atau (sebaliknya) pada kepuasan bathiniyah
saja, akan tetapi pada keseimbangan keduanya. Karena pembangunan yang hanya berkonsentrsasi pada
pertumbuhan ekonomi yang diidentifikasi dengan berdirinya gedung-gedung
industry raksasa dengan peralatan “High-Tech” semata akan cendrung mengabaikan
keterlibatan nilai-nilai keislaman. Pada akhirnya hanya akan menumbuhkan sikap
dan prilaku individualis yang sudah barang tentu sangat bertolak belakang
dengan falsafah bangsa ini dan bahkan nilai keislaman.
Dalam konteks ini, konsep pengentasan islam aswaja
tidak hanya bermaksud mengembangkan dan memjukan perekonomian masyarakat
miskin, tapi juga untuk membangkitkan kembali nilai solidaritas sosial yang
dipandang sudah mulai melemah akibat perubahan nilai yang terjadi. Menurut K,
Mahfudh, S (2004) ada yang menarik dan potensial dari konsep aswaja dalam upaya
penanggulangan kemiskinan; yaitu orang muslim yang mampu berkewajiban menafkahi
kaum fakir miskin, bila tidak ada maka ada
baitu al-Mal al-Mubtadhim. Konsep yang menurut beliau perlu dilembagakan
sebagai aktualisasinya.
Berangkat dari semua ini, penulis kemudian mencoba
menyimpulkan solusi dalam pengentasan kemiskinan yang berangkat dari faktor
atau pola kemiskinan tersebut.
K. Sahal Mahfudz menguraikan dua cara dalam
mengatasi masalah kemiskinan; yaitu bi
al-Lisan dan bi al-Hal[16]. Pertama, adalah
pengayaan motivasi untuk membangun solidaritas yang solid dan kedua, sebuah
aksi nyata dalam bentuk program-program yang menyentuh langsung kepada
kebutuhan dasar masyarakat miskin. Sementara pengentasan kemiskinan dalam pandangan
Qaradhawi bekerja, zakat, baitul mal dan sedekah sukarela[17]. Motivasi adalah faktor terpenting dan vital
yang sangat dibutuhkan oleh setiap individu. Motivasi merupakan keadaan dalam
pribadi seseorang yang mendorong untuk
melakukan kegiatan-kegiatan guna mencapai tujuan yang ada.
Selanjutnya kita mencoba integrasikan kedua konsep
tersebut menjadi;
1.
Motivasi bekerja dan
Bekerja menurut Qaradhawi adalah suatu usaha yang
dilakukan seseorang untuk memperoduksi barang atau memberikan jasa
(Wargadinata, 2011: 57). Maka pemberian motivasi untuk bekerja merupakan
langkah tepat mengingat pola kemiskinan semacam ini mereka (orang-orang miskin)
punya kesempatan untuk berubah.
Bekerja menurut Qaradhawi adalah suatu usaha yang
dilakukan seseorang untuk memperoduksi barang atau memberikan jasa
(Wargadinata, 2011: 57). Maka pemberian motivasi untuk bekerja merupakan
langkah tepat mengingat pola kemiskinan semacam ini mereka (orang-orang miskin)
punya kesempatan untuk berubah.
Bekerja dalam Islam berarti melakukan segala
aktifitas yang dapat menghasilkan manfaat (nilai tambah/rezeki). Perintah
bekerja dalam islam banyak kita bisa jumpai dalam Al Qur’an, salah satunya
surat Al A’raf ayat 10 :
وَلَقَدْ مَكَّنَّاكُمْ فِي الْأَرْضِ وَجَعَلْنَا لَكُمْ فِيهَا مَعَايِشَ
قَلِيلًا مَا تَشْكُرُونَ . (الأعراف: 10)
Artinya:Sesungguhnya
kami telah menempatkan kamu sekalian di muka bumi dan kami adakan bagimu dimuka
bumi itu (sumber) penghidupan. Amat sedikitlah kamu bersyukur
2.
Motivasi konstruksi solidaritas bahwa yang mampu
harus menafkahi orang-orang miskin dalam bentuk zakat, baitul mal dan sadaqah.
Islam secara tegas telah menentukan hak orang miskin
dalam harta orang berada yang berupa zakat. Ini juga jelas bahwa tujuan zakat
adalah dalam rangka menghapuskan kemiskinan. Dalam hal ini al qur’an pula
menganjurkan menunaikan zakat dalam surat At-Taubah Ayat 11.
فَإِنْ تَابُوا وَأَقَامُوا الصَّلَاةَ وَآتَوُا الزَّكَاةَ فَإِخْوَانُكُمْ
فِي الدِّينِ وَنُفَصِّلُ الْآيَاتِ لِقَوْمٍ يَعْلَمُونَ . (التوبة: 11)
Artinya: Jika mereka bertaubat, mendirikan shalat dan menunaikan
zakat, maka mereka itu adalah saudara-saudaramu seagama. Dan kami menjelaskan
ayat-ayat itu bagi kaum yang mengetahui
Baitul mal adalah harta milik Negara. Ada ayat yang
juga menerangkan hak orang-orang miskin dalam baitaul mal, QS al anfal aya 41.
وَاعْلَمُوا أَنَّمَا غَنِمْتُمْ مِنْ شَيْءٍ فَأَنَّ لِلَّهِ خُمُسَهُ
وَلِلرَّسُولِ وَلِذِي الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينِ وَابْنِ
السَّبِيلِ إِنْ كُنْتُمْ آمَنْتُمْ بِاللَّهِ وَمَا أَنْزَلْنَا عَلَى عَبْدِنَا
يَوْمَ الْفُرْقَانِ يَوْمَ الْتَقَى الْجَمْعَانِ وَاللَّهُ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ
قَدِيرٌ . (الأنفال: 41)
Artinya: Ketahuilah.
Sesungguhnya apa saja yang dapat kamu peroleh sebagai rampasan perang, maka
sesungguhnya seperlima untuk Allah, rasul, kerabat rasul, anak-anak yatim,
orang-orang miskin dan ibnu sabil, jika kamu beriman kepada Allah dan kepada
apa yang kami turunkan kepada hamba kami (muhammad) di hari furqaan yaitu di
hari bertemunya dua pasukan. Dan Allah maha kuasa atas segala sesuatu.
Islam tidak hanya menetapkan berbagai kewajiban dan
ketentuan dikalangan pengikutnya. Islam juga berupaya menciptakan jiwa yang
bersih, pemurah, dan penyantun. Kepada umatnya islam mengajarkan kerelaan untuk
memberikan lebih dari permintaan, melaksanakan kewajiban lebih dari tuntutan,
mengulurkan tangan tanpa diminta, dan berinfaq dalam keadaan lapang maupun
sempit, dengan sembunyi-sembunyi maupun terang-terangan. Dengan kata lain islam
menganjurkan kita bersedekah terhadap orang yang membutuhkan dalam keadaan
apapun kita.
Sementara kyai Sahal Mahfudh membentuk kemasan baru
terhadap konsep zakat, baitul mal dan shadaqah kedalam istilah dakwah bi al-Hal. Langkah semacam ini belum
banyak disentuh, jika pun ada bersifat sporadis tidak dilembagkan sehingga
kurang berdampak besar. Konsep bi al-Hal yang
ditawarkan oleh Kyai Sahal Mahfudh adalah bentuk kegiatan implentatif yang
langsung menyentuh kepada kebutuhan mendasar kaum dhuafa’. Beliau mengusulkan
pengelolaan zakat, baitul mal dan infaq atau sedekah lebih optimal. Selama ini
kita ibarat memberi ikan terhadap fakir miskin, bukan kailnya. Sehingga mereka
menjadi t}ama’, selalu mengharap
bantuan dan menjadi ketergantungan pada yang kaya. Jika hal ini terus dibiarkan
maka orang miskin akan sulit dientaskan.
Kyai Sahal menganggap dalam pembagian zakat belum
mengarah kepada kebutuhan mendasar (basic needs) kaum miskin. Kemudian beliau
mengagas kelembagaan harta zakat dalam bentuk koperasi (BMT). Dalam praktek
kelembagaan ini beliau mengumpulkan zakat, disalurkan kepada mustahiq, namun ditarik kembali sebagai
tabungan untuk modal. Setelah modal terkumpul maka zakatkan lagi kepada orang
miskin dalam bentuk kebutuhan mendasar mereka, misalnya tukang becak ya diberi
becak.
Dengan praktek seperti ini diharapkan benar-benar
mampu mengelurkan orang-orang miskin keluar dari kunkungan kemiskinan yang
melilitinya. Dua langkah ini tak terpisahkan, bahkan langkah yang kedua sangat
membantu langkah yang pertama dalam proses pengentasan kemiskinan.
Kemudian muncul sebuah pertanyaan yang sangat
sederhana, “apakah dengan pengayaan motivasi bekerja dan motivasi pengembangan
sikap solidaritas sudah bisa mengentaskan mereka dari kemiskinnya?” apakah istilah pemberian kail terhadap
si miskin sudah membantu mereka? Sering kali sebagian orang menganalogikan
strategi pengentasan kemiskinan dengan teori Ikan dan Kail. Sering dikatakan bahwa memberi ikan kepada si
miskin tidak dapat menyelesaikan masalah. Si miskin akan menjadi tergantung,
kemudian banyak orang percaya memberi kail akan lebih baik. Si miskin akan
lebih mandiri. Benearkah?
Analogi ini perlu diperluas. Memberi kail saja
ternyata tidak cukup. Meskipun orang punya kail, ia tidak memiliki cara mengail
ikan dan tentunya tidak akan memperoleh ikan. Pemberian beberapa ketrampilan
(skills) kemudian menjadi kata kunci dalam pemberdayaan msyarakat. Setelah
orang punya kail dan punya ketrampilan mengail, tidak dengan serta merta ia
dapat mengumpulkan ikan jikalau lautan, sungai, dan kolam dikuasai kelompok
“elit”.
Ini menggambarkan pentingnya peran pendidikan dan
sikap kooperatif dari pemerintah dalam mengatasi situasi kemiskinan. Dengan
pendidikan diharapakan sesorang berpikir kreatif dan produktif sehingga ia tahu
cara bertahan dan mengatasi situasi apapun dan menjadikanya mandiri. Dalam hal
maka Aswaja harus melakukan langakah-langkah sebagai berikut:
1.
Peningkatan SDM melalui jalur pendidikan dan
pelatihan-pelatihan. Lembaga pendidikan yang berhaluan Aswaja (lembaga dibawah
naungan pesantren) harus mengupayakan pendekatan terhadap sistem pendidikan
nasional untuk menjadikan materi “entrepreneurship” sebagai bagian integrasi
program pendidikan di lembaga tersebut. Hal ini bermaksud untuk membentuk
peserta didiknya berjiwa wirausaha dan mengurangi ketergantungan terhadap dunia
kerja.
2.
Memperjuangkan nasib rakyat kecil dengan memberikan
masukan-masukan terhadap penyusunan program-program pemerintah yang pro rakyat
kecil. Baik berupa permodalan atau sarana-sarana untuk merealisasikan
ketrampilan yang dimiliki rakyat kecil.
Setelah mereka memiliki kail dan
ketrampilan mengail serta kebijakan pemerintah yang pro rakyat dan
pemberdayaannya maka langkah terakhir yang harus dilakukan adalah pembiasaan
sikap gemar menabung. Ini menjadi langkah penting mengingat masyarakat
Indonesia yang memiliki kebiasaan konsumtif yang tinggi. Sebesar apapun
usahanya, berapapun tinggi pendapatan jika sifat konsumtif tidak diminimalisir
maka bukan tidak mungkin kondisi kemiskinan akan terus menggelutinya. Masalah
pembangunan pada dasarnya merupakan masalah menambahkan investasi modal
(Wargadinata, 2011: 23).
Konsep menabung dapat kita cermati dalam
al-Quran surat al-Furqan ayat 67.
وَالَّذِينَ
إِذَا أَنْفَقُوا لَمْ يُسْرِفُوا وَلَمْ يَقْتُرُوا وَكَانَ بَيْنَ ذَلِكَ
قَوَامًا
Artinya: "Dan
orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak berlebihan, dan
tidak (pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara yang
demikian.”
BAB III
KESIMPULAN
A.
Kesimpulan
Nilai-nilar dasar Islam aswaja memiliki
kaitan yang kompleks dengan masalah-masalah sosial, karena syariat Islam itu
sendiri justru mengatur hubungan antara manusia dengan Allah, manusia dengan
sesama dan manusia dengan lingkungannya. Nilai-nilai dasar ini harus selalu
diperjuangkan dan ditranformasikan kedalam prilaku sehari-hari agar tercipta
kesejahteraan bersama.
Pola Kemiskinan memang secara eksplisit
disebabkan oleh dua faktor; kultural dan structural. Namun kemiskinan merupakan
masalah multideminsional yang berarti masalah kemiskinan bertalian erat dengan
masalah lainnya. Pendidikan dalam menjadi faktor utama tercipatanya kondisi
kemiskinan dimasyarakat. Pendidikan ang rendah menjadikan masyarakat berfikir
kolot, tidak kreatif, dan kurang produktif sehingga mereka mengalami stagnansi
dan unskilled.
Dalam melakukan upaya-upaya untuk
meminimalisir kemiskinan ditengah-tengah msayarakat diperlukan gerakan secara
holistik, dimualai dari peningkatan SDM yang memadai, penyediaan modal dan
sarana untuk mengaktualisasikan potesi masyarakat dan mendorong timbulnya sikap
investasi dan menabung.
B.
Saran
Untuk mengatasi kemiskinan dilingkungan dewasa ini
maka harus ditempuh dengan tiga kreteria. Pertama,
kesadaran personal untuk bekerja sehingga untuk memperbaiki keadaan ekonomi
dirinya atau keluarganya. Kedua, peran
serta masyarakat untuk menghilangkan kemiskinan
dilingkungannya. Misalkan dengan adanya lembaga sosial kemasyarakatan yang
bergerak dibidang pengentasan kemiskinan. Ketiga,
peran serta pemerintah untuk membuat kebijakan yang pro rakyat kecil.
DAFTAR RUJUAKAN
Al-Quran, dan
Terjemahan. 2011. Lentera Optima Pustaka. Surabaya.
Abbas,
Siradjuddin. 1992. I’tiqad Ahlussunnah Wal-Jamaah. Pustaka Tarbiyah. Jakarta
Aqil Siroj, S. 2014. Islam Sumber
Inspirasi Budaya Nusantara. LTN NU : Jakarta
Halim, A, Dkk. 2005. Managemen pesantren. Pustaka Pesantren,
LKIiS: Yogyakarta
Harits, B. 2010. Islam NU. Pengawal
Tradisi Indonesia. Khalista :
Surabaya
Muchtar, M, dkk. 2007. Aswaja
An-Nahdliyah. Khalista : Surabaya
Mahfudh, Sahal.
1999. Majalah Gerbang jurnal pemikiran
dan demokrasi. Surabaya.
Mahfudh, S. 2004. Nuansa Fiqih Sosial. LKis: Yogyakarta
Orgianus, Y. 2012. Moralitas Islam Dalam Ekonomi dan Bisnis. MARJA: Bandung
S}olahudin, M. 2012. 7 Raim Am PBNU. Nous Pustaka Utama:
Bandung
Sama, S. Ada Apa dengan Ulama. QultumMedia: Depok
Wargadinata,
Wildana. 2011. Islam dan Pengentasan
Kemiskinan. Malang. UIN MALIKI PRESS
[3] Dr. H. Abd. Latif Bustami, Kiai Politik
Politik Kiai, (Pustaka Bayan, Malang, 2009), 44
[5] Drs. KH. A. Busyairi Hrits, Islam NU,
(Khalista, Surabya, 2010) 23-24.
[6]. Masyhudi Muchtar, dkk, Aswaja
An-Nahdliyah, (Khalista, Surabaya, 2007), 12.
[7] Ibid, 13
[8] Departemen Agama, Al Qur’an dan Terjemahnya, ( Bulan Bintang,
Jakarta, 2012), 1213
[9] Zudi-Pranata,
blogspot.com/2012/12/aswaja sebagai dasar filososfi.html (diakses 1 Nopember 2014)
[11] Prof. Dr. Ahmad Thib Raya, MA., et.al, Ensiklopedi Hukum Islam,
(PT. Ichtiar Baru van Hoeve, Jakarta, 2001), 104.
[13]. Dr. K.H. Said Aqil Siroj, Islam Sumber Inspirasi Budaya, (LTN NU,
Jakarta, 2014), 83.
[14] Ibid 84
[15] Dr. H. Buchari Alma, Ajaran islam dalam Bisnis, (CV. Alfabeta,
Bandung, 1994), 12
[16] . M. Solahudin, 7 Rais Am PBNU, (Nous
Pustaka Utama, Kediri, 2012), 192.
[17] Dr. H. Widana Wargadinata, Islam dan
Pengentasan Kemiskinan, (UIN MALIKI PERS, Malang, 2011), 83.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar