A.
Analisis
pemanfaatan uang titipan dari segi akad
Akad adalah merupakan suatu hal yang urgen dalam bidang muamalat,
karena yang menjadi poin penting dalam hal muamalat adalah sah atau tidaknya sebuah
akad, dengan demikian, jika akad tidak sah atau batal, maka akan berakibat
fatal terhadap praktek muamalat tersebut, beda halnya dengan masalah ibadah,
karena dalam hal ibadah yang mejadi poin penting atau yang menjadi titik tekan
adalah niat dan keyaqinan seorang mukallaf terhadap sah atau tidaknya suatu
ibadah. Dengan demikian sangat penting bagi penulis dalam mengkaji dan
memutuskan sebuah hukum islam dengan meneliti dan mengkaji akad dan persyaratan
yang terkait denagan ‘aqidani (subjek akad), ma’qud alaih (objek
akad) dan shighat atau ijab dan qobul (ucapan serah terima).
Akad penitipan yang dilakukan santri Pondok Pesantren Annuqayah daerah Latee
adalah merupakan salah satu bentuk praktek akad muamalat yang lazim terjadi
dikalangan para santri dalam rangka menjaga keamanan dan keselamatan harta
benda yang dimilikinya, dan praktek tersebut telah lama dilakukan oleh santri Pondok Pesantren
Annuqayah daerah Latee. Untuk mengetahui sah atau tidaknya akad penitipan dan
bolehnya memanfaatkan uang titipan tersebut, maka dapat dijelaskan dengan
uraian yang sistematis sebagaimana berikut:
1.
Tinjauan dari segi ‘aqidani
(subjek akad).
Para pihak yang berakad (‘aqidani) pada akad penitipan uang yang terjadi di Pondok Pesantren
Annuqayah daerah Latee terdiri dari dua orang yaitu pemilik uang dan penerima
uang. Pemilik uang atau penitip (Mudi’) adalah wali santri yang
memondokkan anaknya yang masih kecil yang dihawatirkan tidak bisa membelanjakan
uangnya sesuai dengan kebutuhan atau dihawatirkan boros dan tidak bisa
mengendalikan keinginannya untuk selalu belanja dan berfoya-foya disaat uangnya
masih banyak atau santri junior yang boros atau uangnya yang selalu hilang dan
lain sebagainya. Sedangkan penerima uang titipan (Muda’) adalah pengurus
atau santri senior yang dipercaya dan mampu untuk membantu mengurusi, menjaga
dan mengatur pembelanjaan uang anaknya dan bertanggung jawab atas segala
sesuatu yang berkaitan dengan keuangan dan lain sebagainya.
Praktek penitipan uang yang
dilakukan oleh para pihak yang ada di Pondok
Pesantren Annuqayah daerah Latee telah memenuhi persyaratan dari segi ‘aqidani
yaitu penitip uang (mudi’) maupun penerima uang titipan (muda’) telah
cakap untuk melakukan akad, karena mereka semua adalah termasuk orang yang
berakal, cerdas dan ithlaqu al-Tasharruf (bebas melakukan
transaksi), serta mengerti tentang apa yang akan terjadi atas dasar tolong menolong.
2.
Tinjauan dari segi ma’qud
‘alaih (objek akad).
Objek akad (ma’qud) dalam
hal penitipan (wadi’ah) diharuskan barang tersebut adalah muhtarom,
yang dimaksud barang mohtarom dalam pandangan fiqih adalah barang yang dianggap mulia oleh syara’ Meskipun barang
tersebut tidak memiliki nilai jual.[1]
Disamping itu barang yang dititipkan harus bisa diketahui identitasnya dan bisa
diketahui untuk dipelihara. Jika barang yang dititipkan tidak diketahui dan dikuasai oleh pihak
penerima titipan, maka penitpannya tidak sah. Sedangkan yang menjadi
objek dalam penitipan yang terjadi di Pondok Pesantren Annuqayah daerah Latee adalah
uang, dan uang dalam pandangan santri dan agama adalah termasuk hal yang muhtarom
(sesuatu yang dianggap mulia oleh syara’).
Persyaratan di atas dimunculkan terkait dengan pertanggung jawaban pihak yang menerima titipan. Jika
barang titipan tidak dapat dikuasai oleh pihak penerima titipan, kemudian
terjadi kerusakan pada barang tersebut, maka pihak yang menerima titipan tidak
bisa dimintai pertanggung jawaban.
Dengan demikian barang yang
menjadi objek penitipan yang terjadi di Pondok Annuqayah daerah Latee tersebut
telah memenuhi persyaratan untuk dititipkan
dalam segi ma’qud (objek akad).
3.
Tinjauan dari segi shighat
atau ijab dan qobul (ucapan serah terima).
Shighat akad adalah sesuatu yang disandarkan kepada dua
pihak yang berakad yang menunjukkan atas apa yang ada dalam hati keduanya
tentang terjadinya suatu akad. Shighat akad dapat dilakukan dengan cara
lisan, tulisan, atau isyarat yang memberi pengertian dengan jelas tentang
adanya ijab-qabul, dan dapat berupa perbuatan yang telah menjadi
kebiasaan dalam ijab dan qabul.[2]
Dalam hukum Islam ijab dan
qabul disyaratkan harus jelas maksudnya sehingga dipahami oleh kedua pihak
yang melangsungkan akad.[3]
Pada bab sebelumnya telah
dijelaskan bahwa akad penitipan (wadi’ah) adalah suatu jenis akad tabarru’
tolong menolong[4],
Mengenai rukunnya dijelaskan bahwa rukun wadia’h ada tiga, ada yang mengatakan ada empat,
tetapi pada hakikatnya adalah sama, karena dalam literatur tersebut antara ‘aqidani
dipisah menjadi dua penitip (mudi’) dan yang menerima titipan (muda’).
Tetapi dalam hal qobul (ucapan
menerima) menurut pendapat ulama’ yang dianggap paling shahih (benar), bahwa dalam akad penitipan (wadi’ah) tidak disyaratkan mengucapkan qobul (kalimat menerima) dari
penerima titipan. Disamping itu, kedua belah pihak dapat membatalkan akad
perjanjian kapan saja. Penerima titipan boleh mengembalikan barang titipan
sewaktu-waktu dan pihak yang menitipkan bisa mengambil barangnya sewaktu-waktu juga.
Dalama akad penitipan
yang terjadi di Pondok Pesantren Annuqarah daerah Latee telah memenuhi
persyaratan baik dari segi ‘aqidani, (subjek akad) ma’qud alaih
(objek akad) dan shighat atau ijab dan qobul (ucapan serah
terima). Dengan terpenuhinya syarat dan rukun wadi’ah tersebut, maka
hukum akad penitipan tersebut sah dan tidak ada masalah.
Dengan lengkapnya dan
jelasnya rukun dan persyaratan penitipan uang tersebut di atas bukan dipahami
bahwa pemanfaatan uang titipan yang terjadi di Pondok Pesantren Annuqayah darah
Latee tersebut dibenarkan, karena penitipan uang tersebut bukan untuk
dimanfaatkan melainkan untuk dijaga, dipelihara dan diamankan, karena wadi’ah
adalah merupakan akad amanah (akad kepercayaan) yang memiliki risiko besar,
sedangkan yang dimaksud dengan akad kepercayaan (wadi’ah yadi amanah) adalah
akad
penitipan barang atau uang dimana pihak penerima titipan tidak diperkenankan
menggunakan barang atau uang tersebut, tetapi orang yang dititipi barang (muda’)
tidak bertanggung jawab atas kehilangan atau kerusakan yang terjadi pada barang
titipan selama bukan akibat dari kelalaian atau kecerobohan yang bersangkutan
dalam pemeliharaannya, hal ini dikemukakan oleh nabi Muhammad SAW. dalam sebuah
haditsnya, yaitu:
أَخْبَرَنَا أَبُو الْحُسَيْنِ عَلِيُّ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ
عَبْدِ اللهِ بْنِ بِشْرَانَ بِبَغْدَادَ، أنبأ أَبُوجَعْفَرٍ مُحَمَّدُ بْنُ
عَمْرٍو الرَّزَّازُ، ثنا مُحَمَّدُ بْنُ عُبَيْدِ اللهِ بْنِ الْمُنَادِي، ثنا
يُونُسُ بْنُ مُحَمَّدٍ، ثنا حَمَّادُ بْنُ سَلَمَةَ، عَنْ أَيُّوبَ، وَقَتَادَةَ،
وَحَبِيبٍ، وَيُونُسَ، عَنِ ابْنِ سِيرِينَ، أَنَّ شُرَيْحًا قَالَ: ليس على المستودع
غير المغل ضمان ولا على المستعير, غير المغل ضمان.
Artinya: “Abu al-Hasan ‘Ali bin Muhammad bin ‘Abdillah bin Bisyrona, abu
Ja’far Muhamad bin Umar al-Rozzaz, tsana Muhammad bin Ubaidillah bin Munadiy,
tsana Yunus bin Muhammad tsana Hammad bin Salamah dari Ayyub, Qatadah, Habibi,
Yunus dari ibnu Sirin bahwa Suraih berkata: Tidak ada tanggungan bagi penerima titipan dan penerima
pinjaman yang tidak hiyanat”.[5]
Hukum
asal dari wadi’ah adalah amanah. Secara syari’at islam wadi’ah
amanah adalah merupakan sesuatu yang harus dijaga sebaik-baiknya agar benda
titipan tersebut tidak hilang atau rusak, sebagaimana yang dijelaskan oleh as-Syaikh Ibrohim al-Bajuri.[6]
وتطلق شرعا على العقد المقتضى للاستحفاظ
والوديعة امناة في يد الوديع.
Artinya: “Wadi’ah menurut padangan syara’
(hukum islam) adalah akad yang menuntut terhadap adanya pemeliharaan atau
pemjagaan, dan Wadi’ah adalah Amanah”.
Jadi orang yang menerima uang titipan tak
ubahnya memikul sekarung besi yang amat
besar, karena amanah adalah kepercayaan yang diberikan oleh mudi’
(penitip) kepada muda’ (penerima titipan), sebabagaimana firman Allah:
إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا الأمَانَاتِ إِلَى أَهْلِهَا
وَإِذَا حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ أَنْ تَحْكُمُوا بِالْعَدْلِ إِنَّ اللَّهَ
نِعِمَّا يَعِظُكُمْ بِهِ إِنَّ اللَّهَ كَانَ سَمِيعًا بَصِيرًا.
Artinya: “Sesungguhnya
Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan
(menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu
menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang
sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha mendengar lagi Maha
melihat”.[7]
Sedangkan
jika orang yang dipercaya untuk mengemban suatu amanah kemudian ia
berkhianat berarti ia melakukan perbuatan dosa dan dikategorikan kepada orang-orang
munafiq sebagaimana yang di sabdakan oleh nabi Muhammad SAW. dalam haditsnya:
حَدَّثَنَا
يَحْيَى بْنُ أَيُّوبَ، وَقُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيدٍ، وَاللَّفْظُ لِيَحْيَى،
قَالَا: حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيلُ بْنُ جَعْفَرٍ، قَالَ: أَخْبَرَنِي أَبُو
سُهَيْلٍ نَافِعُ بْنُ مَالِكِ بْنِ أَبِي عَامِرٍ، عَنْ أَبِيهِ، عَنْ أَبِي
هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: "
آيَةُ الْمُنَافِقِ ثَلَاثٌ: إِذَا حَدَّثَ كَذَبَ، وَإِذَا وَعَدَ أَخْلَفَ،
وَإِذَا اؤْتُمِنَ خَان"[8]
Artinya: “Yahya bin Ayyub dan Qutaibah bin Sa’id
kedua berkata: Ismai’l bin Ja’far berkata: abu Suhail Nafi’u bin Malik bin abi
‘Amir dari bapaknya, dari abu Hurairoh rosulullah bersabda “ Tanda-tanda orang
munafiq ada tiga macam yaitu: apabila berbicara ia berdusta, apabila berjanji
ia mengingkarinya dan apabila ia dipercaya ia menghianatinya.”
Menurut pendapat ulama’ fiqih,
memanfaatkan uang titipan merupakan tindakan yang melanggar ketentuan hukum wadiah,
karena status uang wadi’ah adalah
amanah yang harus dijaga dan diamankan, maka dengan demikian hukum
memanfaatan uang wadi’ah adalah haram, sebagaimana yang dijelaskan dalam
kitab Mughni al-Muhtaj ila Ma’rifati fi Ma’ani
Alfadz al-Minhaj, yaitu:
فَإِنْ شَكَّ فِي وُقُوعِهِ فِي
مَحَلِّ الْمُسَامَحَةِ، فَالصَّحِيحُ فِي أَصْلِ الرَّوْضَةِ التَّحْرِيمُ. قَالَ
فِي الْإِحْيَاءِ: وَإِذَا عَلِمَ رِضَاهُ يَنْبَغِي لَهُ مُرَاعَاةُ النَّصَفَةِ
مَعَ الرُّفْقَةِ، فَلَا يَنْبَغِي أَنْ يَأْخُذَ إلَّا مَا يَخُصَّهُ أَوْ
يَرْضَوْنَ بِهِ عَنْ طَوْعٍ لَا عَنْ حَيَاءٍ.[9]
Artinya: “Jika penerima titipan ragu terhadap
pemaafan atau kerelaan Mudi’ (adanya toleransi dari penitip), maka pendapat
yang benar menurut iaman Nawawi dalam kitab ar-Raudhah adalah haram. Menurut
imam al-Ghazali dalam kitab al-Ihya’ Ulumuddin, bahwa” Apabila kerelaan seorang
penitip sudah diketahui, maka seyogyanya bagi penerima titipan menjaga dan
mengambil bagian yang ditentukan atau yang direlakan tanpa berlebihan”.
Kemudian perubahan status wadi’ah
amanah ke wadi’ah dhamanah adalah merupakan khianat al-Madhmunah,
yang wajib membayar ganti rugi, sebagaimana yang di jelaskan dalam kitab Jawahiru
al-‘Ukud:
وَمِنْهَا:
الِانْتِفَاع بالوديعة كلبس الثَّوْب وركوب الدَّابَّة خِيَانَة مضمنة وَكَذَا
أَخذ الثَّوْب للبس وَالدَّرَاهِم للإنفاق.[10]
Artinya: “Memanfaatkan
barang titipan (wadi’ah) adalah termasuk khiyanah al-Madhmunah, serperti
memakai baju, menunggangi hewan, mengambil baju untuk dipakai dan mengambil
uang dirham untuk di infakkan (di belanjakan)”.
Dan penjelasan yang
lain juga dapat diruju’ dalam kitab Raudhatu al-Thalibin:
السَّبَبُ
السَّادِسُ: الِانْتِفَاعُ. فَالتَّعَدِّي بِاسْتِعْمَالِ الْوَدِيعَةِ
وَالِانْتِفَاعِ بِهَا، كَلُبْسِ الثَّوْبِ، وَرُكُوبِ الدَّابَّةِ، خِيَانَةٌ
مُضَمَّنَةٌ. فَإِنْ كَانَ هُنَاكَ عُذْرٌ، بِأَنْ لَبِسَ لِدَفْعِ الدُّودِ كَمَا
سَبَقَ، أَوْ رَكِبَ الدَّابَّةَ حَيْثُ يَجُوزُ إِخْرَاجُهَا لِلسَّقْيِ
وَكَانَتْ لَا تَنْقَادُ إِلَّا بِالرُّكُوبِ، فَلَا ضَمَانَ. وَإِنِ انْقَادَتْ
مِنْ غَيْرِ رُكُوبٍ فَرَكِبَ، ضَمِنَ. وَلَوْ أَخَذَ الدَّرَاهِمَ لِيَصْرِفَهَا
إِلَى حَاجَتِهِ، أَوِ الثَّوْبَ لِيَلْبَسَهُ، أَوْ أَخْرَجَ الدَّابَّةَ
لِيَرْكَبَهَا، ثُمَّ لَمْ يَسْتَعْمِلْ، ضَمِنَ؛ لِأَنَّ الْإِخْرَاجَ عَلَى
هَذَا الْقَصْدِ خِيَانَةٌ.[11]
Artinya: “Sebab-sebab dhamanah yang keenam
adalah al-Intifa’ (mengambil manfaat). Menggunakan atau memanfaatkan barang titipan
adalah termasuk bentuk kelalaian atau penghianatan yang mewajibkan untuk mengganti
rugi (khianah al-Madhmunah), seperti halnya memakai baju, dan menunggangi
hewan. Jika di dalam pemanfaatan barang wadi’ah tersebut, karena ada faktor udzur,
maka pemanfaatan tersebut dibolehkan, seperti halnya menggunakan baju untuk
menyelamatkan diri dari ulat, (sebagaimana penjelasan yang telah berlalu yaitu karena
dharurat), atau menunggangi hewan untuk dimandikan, tetapi dengan catatan hewan
tersebut tidak bisa dikelurkan dengan tanpa ditunggangi, tetapi kalau tanpa
ditunggangi hewan tersebut bisa dikelurkan dan dimandikan, maka pemanfaatan
tersebut tidak diperbolehkan. dan andaikata ada seseorang mengambil dirham
untuk kebutuhan dirinya atau mengambil baju untuk dipakai atau mengeluarkan
hewan untuk ditunggangi walaupun itu semua pada kenyataannya tidak digunakan
dan dimanfaatkan, maka ia tetap tidak diperbolehkan, karena maksud pengeluaran
dan pengambilan tersebut termasuk kategori penghianatan.
Pemanfaatan uang titipan
tersebut disamakan atau diqiyaskan pada penggunaan hewan dan baju. Dan
penjelasan yang lain dapat diruju’ dalam kitab Nihayatu al-Matlab fi Diroyati
al-Madzhab, yaitu:
والوجه الثاني - الانتفاع بالوديعة،
فإذا كانت الوديعة ثوباً، فلبسه، أو دابة فركبها من غير حاجةٍ ماسة في الحفظ إلى
الركوب، ضمنها؛ فإنه في حالة انتفاعه يتعدّى، ويده يد عدوان، ولو كان ينتفع بالإذن
فيضمن لكونه مستعيراً.[12]
Artinya:
“Pendapat yang kedua-adalah mengambil manfaat barang titipan. apabila barang
wadi’ah berupa baju kemudian dipakainya atau berupa hewan kemudian
ditungganginnya tanpa ada kebutuhan yang mendesak, maka ia harus bertanggung
jawab, karena pada saat pemanfaatan tersebut adalah termasuk kelalaian, dan
andaikata penerima titipan di dalam pemanfaatannya tersebut ada izin dari
penitip, maka ia tetap harus bertanggung jawab, karena benda tersebut termasuk
benda ‘ariyah.”
Hukum ketidak bolehan
pemanfaatan uang titipan dalam hal ini dikiaskan atau disamakan dengan
pemanfaatan baju dan hewan titipan. Hukum ketidak bolehan (keharaman) tersebut
bilamana pemanfaat uang tersebut (muda’) dalam kondisi normal (ikhtiyar),
tetapi jika dalam kondisi dharurat (terjepit), maka diperbolehkan, namun
tetap wajib dikembalikan dengan cara apapun ketika uang tersebut dibutuhkan oleh penitip,
hal ini meruju’ pada penjelasan imam as-Sayuti dalam kitab al-Asybah wa
al-Nadzair fi al-Furu’, yaitu:
الضرورات
تبيح المحظورات [13]
Artinya: “Kemudharotan
dapat membolehkan terhadap sesuatu yang dilarang”.
Yang dimaksud dharurot
dalam hal ini apabila ia tidak mengambilnya, maka akan menyebabkan musibah dan
kecelakaan yang lebih besar, sebagaimana yang dijelaskan oleh imam as-Sayuti, tentang
definisi dharurot, yaitu:
الضرورة
بلوغه حدا ان لم يتناوله الممنوع هلك او قارب وهذا يبيح تناول الحرام.[14]
Artinya: “Dharurot adalah
sampainya kepada batas, dimana jika seseorang tidak memakan sesuatu yang
dilarang, maka ia celaka atau mendekati kecelakaan, dalam kondisi seperti ini
diperbolehkan memakan sesuatu yang haram”.
Kebolehan dalam mengambil
sesuatu yang dilarang tidak berlaku untuk selamanya atau mengambil sepuasnya
melainkan hanya sekadar menghilangkan ke-mudharotan dan menghilangkan
kecelakaan, dan bilaman ke-mudharotan itu hilang, maka hilang pulalah
kebolehan itu, sebagai mana yang dijelaskan dalam kaidah fiqih, yaitu:
Artinya: “Sesuatu yang
dibolehkan karena dharurot diukur dengan adanya ‘udzur (kebutuhan)”.
Atau dengan kaidah yang lain, yaitu:
ما ابيح
للضرورة يقدر باقرب زمانه.[16]
Artinya: “Sesuatu yang
dibolehkan karena dharurot dikira-kirakan dengan paling dekatnya waktu”.
Atau kebolehan tersebut karena
tidak memiliki uang (faqir), sebagaimana yang juga dijelaskan dalam
kitab al-Bayan fi madzhabi imam Syafi’i, yaitu:
)مسألة: أكل الولي من مال اليتيم (وإن أراد الولي أن يأكل من مال
المولى عليه، فإن كان الولي غنيا.. لم يجز له أن يأكل منه، وإن كان فقيرا ويقطعه
العمل على مال المولى عليه من الكسب لنفسه.. قال الشافعي - رَحِمَهُ اللَّهُ -:
(فله أن يأخذ من ماله أقل الأمرين من كفايته، أو أجرة عمله) ؛ لِقَوْلِهِ تَعَالَى:
{وَابْتَلُوا الْيَتَامَى} )النساء:6 (
إلى قَوْله تَعَالَى: {وَلا تَأْكُلُوهَا إِسْرَافًا وَبِدَارًا أَنْ يَكْبَرُوا
وَمَنْ كَانَ غَنِيًّا فَلْيَسْتَعْفِفْ وَمَنْ كَانَ فَقِيرًا فَلْيَأْكُلْ
بِالْمَعْرُوفِ}[17]
Artinya: “(Masalah: wali memakan
harta anak yatim). Apabila wali hendak makan harta anak yatim yang dipasrahkan
kepadanya, maka hal tersebut tidak diperbolehkan jika wali tersebut kaya,
tetapi jika wali tersebut faqir dan tidak punya pekerjaan (penghasilan), karena
mengurusi harta anak yatim tersebut, maka ia diperbolehkan memakannya. Menurut
imam Syafi’i rohimahu Allah “ bahwa bagi wali diperbolehkan mengambil harta
anak yatim sesuai dengan kebutuhannya tanpa berlebih-lebihan sebagai upah dari
perbuatannya, hal itu berdasarkan pada firman Allah dalam surat an-nisa’ yang
artinya “ dan ujilah[18] anak yatim itu
sampai mereka cukup umur untuk kawin. kemudian jika menurut pendapatmu mereka
telah cerdas (pandai memelihara harta), Maka serahkanlah kepada mereka
harta-hartanya. dan janganlah kamu Makan harta anak yatim lebih dari batas
kepatutan dan (janganlah kamu) tergesa-gesa (membelanjakannya) sebelum mereka
dewasa. barang siapa (di antara pemelihara itu) mampu, Maka hendaklah ia
menahan diri (dari memakan harta anak yatim itu) dan Barangsiapa yang miskin,
Maka bolehlah ia Makan harta itu menurut yang patut”.
Kalau di dalam pemanfaatan
uang titipan tersebut ada akad lain diluar akad wadi’ah, misalnya akad hutang-piutang
(qord), maka diperbolehkan jika syarat-syarat dan ketentuan qord
terpenuhi, namun jika menggunakan akad ‘ariyah, maka tidak diperbolehkan
karena tidak memenuhi salah satu persyaratan ‘ariyah, yaitu barang yang dipinjam (musta’ar) dapat digunakan tanpa
merusak zatnya, jika musta’ar tidak dapat dimanfaatkan tanpa merusak zatnya, maka akad tersebut tidak sah. Para ulama’ telah
menetapkan bahwa ‘ariyah diperbolehkan hanya kepada setiap benda yang
dapat digunakan tanpa merusak zatnya seperti meminjamkan tanah, pakaian,
binatang dan lain-lain.
Namun ada sebagian
ulama’ ada yang membolehkan meminjam barang yang dapat diambil manfaatnya
dengan merusak zatnya, namun ‘ariyah tersebut termasuk ‘ariyah majazi
yang pada hakikatnya adalah qard hakiki sebagaimana yang dijelaskan
dalam kitab Mausu’atu al-Fiqh al-Islami wa al-Qadhaya al-Mu’ashiroh,
yaitu:
واما اطلاق الاعارة بطريق المجازي : فهو اعارة
المكيل والموزون والمعدود المتقارب ,مثل الجوز والبيض وكل ما لا يمكن الانتفاع به
الا باستهلاكه كإعارة الدراهم والدنانير فهو قرض حقيقة فعليه المثل او القيمة ولكنه اعارة مجازا.[19]
Artinya:
“yang disebut ‘ariyah secara majazi adalah pinjam meminjam yang berhubungan dengan takaran, timbangan dan
hitungan, seperti halnya telur dan setiap sesuatu yang tidak dapat dimanfaatkan
tanpa merusak zatnya, seperti pinjam meminjam dirham dan dinar, maka yang
demikian itu secara hakikatnya disebut dengan hutang piutang, maka ‘ariyah yang
seperti itu harus diganti dengan barang yang semisal atau yang senilai
dengannya”.
Tetapi kalau secara praktek pemanfaatan uang
titipan yang terjadi di Pondok Pesantren Annuqayah daerah Latee tidak diperbolehkan,
karena tidak mencukupi persyaratan yang ada dalam ketentua hukum ‘ariyah
yaitu peminjam (mu’ir) melakukan peminjaman tanpa sepengetahuan orang
yang di pinjami (musta’ar), dan tidak ada ijab dan qobul (shighat).
Padahal secara
ketentuan hukum ‘ariyah harus ada mu’ir, musta’ar dan shighat.
Jadi hukum
pemanfaatan uang titipan yang terjadi di Pondok Pesantren Annuqayah daerah Latee tidak dibolehkan (di
haramkan) baik dengan menggunakan akad ‘ariyah atau aka wadi’ah itu
sendiri.
B.
Analisis
pemanfaatan uang titipan dari segi mashlahah dan mafsadah.
Fakta
dan realita membuktikan bahwa pemanfaatan
uang titipan yang terjadi di Pondok Pesantren Annuqayah daerah Latee memicu
banyak masalah atau mafsadah (dampak nigatif) dari pada maslahahnya
(dampak positif), karena penerima titipan banyak mengambil kesempatan dan
melanggar ketentuan-ketentuan amanah (kepercayaan) yang diberikan oleh penitip, sebagaimana yang
telah diuraikan pada bab sebelumnya dari hasil observasi dan wawancara dengan
pihak terkait, yaitu penitip terkadang merasa tertipu dan kecewa terhadap penerima
titipan yang selalu menunda-nunda penyerahannya, karena uangnya masih sedang
dimanfaatkan dan penerima titipan tidak bisa bertanggung jawab atasnya, atau penerima
titipan selalu berhalangan untuk menyerahkannya, karena selalu pepergian dan ia
tidak memberi tahu sebelumnya kepada penitip atau ia tidak mewasiatkan kepada
orang lain yang dipercayanya untuk mewakili
amanahnya[20].
Dengan
demikian penulis megambil kesimpulan bahwa hukum pemanfaatan uang titipan yang
terjadi di Pondok Pesantren Annuqayah daerah Latee hukumnya tidak boleh
(haram), karena ada unsur penghianatan dan merugikan salah satu dari kedua
belah pihak, yaitu penitip.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar