BAB I PENDAHULUAN


A.      Latar Belakan Masalah
Agama islam adalah agama hanafiyah as-Samhah, agama yang suka toleran terhadaf pemeluknya, agama yang tidak hanya mengatur masalah hubungan spiritual (ibadah) bagi pemeluknya, namun juga mengatur masalah hubungan horizontal (muamalat) untuk kemaslahatan ummat di Dunia dan Akhirat. Tata aturan agama tentang hubungan kepentingan antar manusia horizontal tersebut terangkum dalam fikih muamalat.
Fikih muamalat merupakan peraturan yang menyangkut hubungan objek kebendaan (al-Madiyah) atau subjek sosial (al-Adabiyah). Peraturan tersebut bersifat umum, artinya, ia dapat diterapkan disetiap tempat dan berlaku secara luas hingga akhir zaman. Jadi, prinsip dan ketentuan muamalat yang diajarkan Rasulullah kepada para sahabat sekitar 15 abad yang silam tetap berlaku pada saat ini, meskipun dalam situasi dan kondisi masyarakat yang berbeda.
Fikih dan umat Islam adalah satu kesatuan yang padu, dan harus selalu dipadukan, dimana terdapat umat Islam, disanalah fiqih berada, sehingga fiqih bisa dikatakan tak ubahnya denyut nadi bagi setiap muslim, maka fiqih mesti hidup bersama kehidupan umat Islam, dan manakala fiqih tiada tentu masyarakat muslim juga tiada.[1]
Jelas ini menunjukkan betapa pentingnya peran dan fungsi fiqih bagi umat Islam. Bagi mereka fiqih adalah tatanan keduniaan dan keagamaan yang final, enternal dan universal. Sehingga membumikan fiqih merupakan hajat setiap umat dan masyarakat muslim.
Seluruh prinsip muamalat menunjukkan keutamaan ajaran Islam yang tidak sekedar mementingkan kehidupan pribadi, tetapi juga kehidupan sosial. dengan demikian penerapan prinsip muamalat secara benar akan menghasilkan kerjasama yang saling menguntungkan, baik bagi kehidupan pribadi maupun sosial. Segala aktifitas yang mengarah pada pemenuhan kepentingan pribadi semata dengan mengorbankan pihak lain pun akan dapat dicegah. Bagaimanapun, aktivitas tersebut sejatinya akan membuahkan kerusakan dan kemudharotan, tentunya hal tersebut sangat bertentangan dengan tujuan syariat Islam.[2]
Syariat sendiri juga mengharuskan adanya keadilan dalam segala hal. Allah mengutus rasul dan menurunkan al-Kitab serta al-Mizan adalah agar Rasul memutuskan perkara di antara manusia dengan bijaksana. Dan dalil tentang larangan berbuat zhalim sangat banyak sekali. sebagaimana firman Allah SWT.
وَإِلَى مَدْيَنَ أَخَاهُمْ شُعَيْبًا قَالَ يَا قَوْمِ اعْبُدُوا اللَّهَ مَا لَكُمْ مِنْ إِلَهٍ غَيْرُهُ قَدْ جَاءَتْكُمْ بَيِّنَةٌ مِنْ رَبِّكُمْ فَأَوْفُوا الْكَيْلَ وَالْمِيزَانَ وَلا تَبْخَسُوا النَّاسَ أَشْيَاءَهُمْ وَلا تُفْسِدُوا فِي الأرْضِ بَعْدَ إِصْلاحِهَا ذَلِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ.
Artinya: “dan (kami telah mengutus) kepada penduduk Mad-yan[3] saudara mereka, Syu'aib. ia berkata: "Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada Tuhan bagimu selain-Nya. Sesungguhnya telah datang kepadamu bukti yang nyata dari Tuhanmu. Maka sempurnakanlah takaran dan timbangan dan janganlah kamu kurangkan bagi manusia barang-barang takaran dan timbangannya, dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi sesudah Tuhan memperbaikinya. yang demikian itu lebih baik bagimu jika betul-betul kamu orang-orang yang beriman".[4]


                   Muamalat disini sangat berperan penting dalam parjalanan ekonomi umat. Lebih jelasnya muamalat akan mengarahkan terhadap ekonomi umat dimana yang sah dan dimana yang tidak sah (haram) nya transaksi mereka, atau demi teratur dan terjamin (kehalalan) nya dalam segala perjalanan kehidupannya.
                    Manusia sebagai mahluk sosial dan juga sebagai subjek hukum tidak mungkin hidup sendiri-sendiri di alam ini, pasti membutuhkan pada orang lain, suatu hal yang paling mendasar dalam memenuhi kebutuhan seorang manusia adalah dengan adanya interaksi sosial dengan orang lain. Bentuk-bentuk hubungan muamalat yang sering terjadi di masyarakat adalah seperti: Jual beli (bâi’), perdagangan (tijâroh), pinjam meminjam (‘âriyah), titip menitip (wadi’ah), utang-piutang (qardh) dan lain sebagainya.
                  Dalam aktifitas muamalat, kita diberi kebebasan untuk berkreasi selama tidak menyimpang dari prinsip-prinsip muamalat, hal ini sesuai dengan kaidah:
اَلأَصْلُ فِي اْلمُعَامَلاَتِ اَلأِبَاحَةُ إِلاَّ اَنْ يَدْخُلَ دَلِيْلٌ عَلَى تَحْرِيْمِهَا
Artinya: “Pada dasarnya muamalat itu diperbolehkan kecuali ada dalil yang mengharamkannya”.[5]
                  Membantu dan memberikan pertolongan kepada orang lain yang membutuhkan, sangat dianjurkan oleh agama. Misalnya dengan menerima barang barang titipan, amanah, memberi pinjaman uang atau barang, memberikan piutang kepada orang yang membutuhkan. Itu semua mempunyai nilai kebaikan yang berpahala di sisi Allah SWT. Sebagimana firman Allah SWT dalam al-Quran:
ياأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تُحِلُّوا شَعَائِرَ اللَّهِ وَلا الشَّهْرَ الْحَرَامَ وَلا الْهَدْيَ وَلا الْقَلائِدَ وَلا آمِّينَ الْبَيْتَ الْحَرَامَ يَبْتَغُونَ فَضْلا مِنْ رَبِّهِمْ وَرِضْوَانًا وَإِذَا حَلَلْتُمْ فَاصْطَادُوا وَلا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ أَنْ صَدُّوكُمْ عَنِ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ أَنْ تَعْتَدُوا وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى وَلا تَعَاوَنُوا عَلَى الإثْمِ وَالْعُدْوَانِ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ.
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu melanggar syi'ar-syi'ar Allah[6], dan jangan melanggar kehormatan bulan-bulan haram[7], jangan (mengganggu) binatang-binatang had-ya [8], dan binatang-binatang qalaa-id [9], dan jangan (pula) mengganggu orang-orang yang mengunjungi Baitullah sedang mereka mencari kurnia dan keredhaan dari Tuhannya [10] dan apabila kamu telah menyelesaikan ibadah haji, Maka bolehlah berburu. dan janganlah sekali-kali kebencian(mu) kepada sesuatu kaum karena mereka menghalang-halangi kamu dari Masjidilharam, mendorongmu berbuat aniaya (kepada mereka). dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. dan bertakwalah kamu kepada Allah, Sesungguhnya Allah Amat berat siksa-Nya. [11]

Dan juga disebutkan dalam hadits Nabi SAW:
حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ يَحْيَى التَّمِيمِيُّ، وَأَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ، وَمُحَمَّدُ بْنُ الْعَلَاءِ الْهَمْدَانِيُّ - وَاللَّفْظُ لِيَحْيَى، قَالَ يَحْيَى: أَخْبَرَنَا وقَالَ الْآخَرَانِ: حَدَّثَنَا - أَبُو مُعَاوِيَةَ، عَنِ الْأَعْمَشِ، عَنْ أَبِي صَالِحٍ، عن أبي هريرة رضي الله عنه.قال:قال رسول لله صلى الله عليه وسلم: مَنْ نَفَّسَ عَنْ مُؤْمِنٍ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ الدُّنْيَا نَفَّسَ الله عنه كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ يَوْمِ الْقِيَا مَةِ. وَمَنْ يَسَّرَ عَلَى مُعْسِرٍ يَسَّرَالله عليه في الدنيا والاخرة. وَمَنْ سَتَرَ مُؤْمِناً سَتَرَهُ الله في الدنيا والاخرة واللهُ فِي عَوْنِ الْعَبْدِ مَا كان العَبدُ في عَوْنِ اَخِيْهِ .
Artinya: Yahya bin Yahya al-Tamimi, abu Bakar bin abi Syaibah dan Muhammad bin ‘Ala’i al-Hamdaniy bercerita kepada kami (berkata), mengabarkan kepada kami (berkata), dan yang lain juga berkata, abu Muawiyah bercerita kepada kami dari A’amasy dari abi Shalih dari Abu Hurairah berkata, Rasulullah SAW telah bersabda: Barang siapa melepaskan dari seorang mu’min satu kesusahan dari kesusahan-kesusahan dunia, niscaya Allah melepaskan dia dari kesusahan-kesusahan hari kiamat. Barang siapa memberi kelonggaran kepada seorang yang kesusahan, niscaya Allah akan memberi kelonggaran baginya di dunia dan akhirat, dan barang siapa menutupi (aib) seorang Mu’min, niscaya Allah menutupi (aib)nya di dunia dan di akhirat. Dan Allah menolong hamba-Nya, selama hamba-Nya mau menolong saudaranya [12].
Dan juga disebutkan dalam dalam al-Qur’an:
لَيْسَ عَلَى الضُّعَفَاءِ وَلا عَلَى الْمَرْضَى وَلا عَلَى الَّذِينَ لا يَجِدُونَ مَا يُنْفِقُونَ حَرَجٌ إِذَا نَصَحُوا لِلَّهِ وَرَسُولِهِ مَا عَلَى الْمُحْسِنِينَ مِنْ سَبِيلٍ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ.
  Artinya: “Tidak ada jalan sedikitpun untuk menyalahkan orang-orang yang berbuat baik. dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” [13]
                  Menitipkan dan menerima titipan (wadi’ah) adalah bagian aktifitas muamalat yang sering terjadi dalam hidup bermasarakat. Menerima titipan adalah sebuah tindakan yang mulia dan dianjurkan oleh agama islam, jika penerima manpu untuk menjaganya dan bertanggung jawab.
           Praktek titipan tersebut kerapkali terjadi di Pondok Pesantren Annuqayah, karena Pondok Pesantren adalah merupakan gambaran umum dari kehidupan masyarakat, sehingga antar sesama santri atau santri dengan masyarakat saling membutuhkan bantuan atau pertolongan.  Di antara bentuk pertolongan yang sering terjadi pada sebagian pengurus atau santri senior adalah sering menerima titipan atau amanah disetiap tahun ajaran baru dari wali santri untuk mendidik dan mengasuh anaknya yang masih kecil dan masih belum dianggap dewasa untuk memberikan arahan dan motivasi layaknya sebagai wakil dari orang tuanya, sehingga uang belanja dan kebutuhan lainnya dititipkan atau dipasrahkan penuh kepadanya.
           Berdasarkan tradisi yang terjadi pada sebagian pengurus atau santri senior yang menerima uang titipan tersebut sering digunakan dan dimanfaatkan dengan berdalih meminjam namun tanpa sepengetahuan si anak dan orang tuanya, bahkan ia tidak hanya menggunakan untuk kepentingan dirinya melainkan ia meminjamkam kepada temannya yang sangat membutuhkan juga. Padahal uang tersebut bukan miliknya sendiri melainkan uang titipan untuk si anak tersbut yang harus dijaga sebagaimana mestinya agar si anak dapat memanfaatkan uang itu sesuai dengan kebutuhan, lebih-lebih kebutuhan yang bersifat primer seperti untuk membeli buku, kitab, seragam sekolah, uang SPP dan lain-lain serta terhindar dari penyalahgunaan seperti berfoya-foya, boros, dan lain-lain.
           Hampir setiap santri senior (pengurus) yang mendapatkan amanah dari wali santri untuk mengurus keuangan anaknya tidak segan-segan memakai dan menggunakan uang titipan itu untuk suatu keperluan dengan berdalih akan meminjam, padahal ketika dilihat dari segi definisi dan syarat atau rukun pinjam meminjam hal itu sangat tidak sesuai sebagaimana yang diterangkan dalam kitab-kitab ulama’ salaf, seperti halnya kitab al-Bajuri “ bahwa peminjam tidak punya hak untuk meminjamkan melainkan ia hanya memiliki hak untuk memanfaatkannya, dan di dalam akad pinjam meminjamnya harus ada ijab dan qobul. dan bilamana dipandang dari segi titipan (wadi’ah)  penerima titipan tidak diperbolehkan untuk memanfaatkan dan meminjamkannya melainkan ia hanya memiliki kewajiban untuk memelihara dan menjaga sebagaimana mestinya agar barang tersebut tidak rusak atau hilang, karena status benda wadi’ah itu adalah amanah.
الوديعة: اسم لعين يضعها مالكها او نائبها عن اخر ليحفظها[14]
Artinya: Wadi’ah adalah sebuah benda yang diserahkan oleh pemiliknya atau penggantinya kepada orang yang lain untuk di jaga atau dipelahara.
Atau dalam kitab yang lain:
وتطلق شرعا على العقد المقتضى للاستحفاظ والوديعة امناة في يد الوديع. [15]
Atinya: “ Wadi’ah menurut pandangan syara’ adalah sebuah akad yang menuntut terjadinya pemeliharaan. Wadi’ah adalah amanah di tangan penerima titipan (muda’)”.
            Oleh karena itu, melihat fenomena-fenomena yang terjadi pada santri, kami sebagai insan akademisi jurusan muamalah merasa terpanggil untuk meneliti hal tersebut, maka muncullah dari benak kami sebuah tema penelitian MEMANFAATKAN UANG TITIPAN DALAM PERSEPEKTIF HUKUM ISLAM (STUDI KASUS DI PONDOK PESANTREN ANNUQAYAH DAERAH LATEE). Dalam pembahasan ini kami akan membahas dan mengkaji pendapat ‘ulama’ tentang status hukum memanfaatkan uang titipan menurut hukum fiqih atau hukum islam.
B.     Rumusan Masalah
Agar tidak terjadi kerancuan dalam penelitian ini, maka kami sebagai penulis akan membatasi pembahasan yang akan dibahas dalam penelitian ini. Adapun pembahasan yang akan kami bahas, kami bentuk dalam beberapa pertanyaan sebagai berikut:
1.      Bagaimana praktek pemanfaatan uang titipan di Pondok Pesantren Annuqayah daerah Latee?
2.      Bagaimana hukum memanfaatkan uang titipan?
C.    Tujuan Penelitian
Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian skripsi ini adalah sebagai berikut:
1.      Mendiskripsikan secara objektif mengenai praktek pemanfaatan uang titipan di Pondok Pesantren Annuqayah daerah Latee.
2.      Menjelaskan ketentuan hukum Islam terhadap pemanfaatan uang titipan.
D.    Kegunaan Penelitian
Hasil dari penulisan skripsi ini diharapkan dapat berguna untuk:
1.      Memberikan kontribusi pemikiran bagi dialektika pembangunan hukum Islam, khususnya dalam masalah wadi’ah dan status memanfaatkan uang titipan. Serta mengetahui pendapat dari beberapa ulama’.
2.      Dapat bermanfaat bagi penulis khususnya dan masyarakat pada umumnya, sehingga dapat dijadikan pegangan untuk selalu behati-hati dalam bermuamalat.
3.      Secara formal, penelitian ini disusun untuk memenuhi syarat kelulusan program strata 1 (S-1) pada Jurusan Muamalat Fakultas Syariah Institut Ilmu Keislaman Annuqayah (INSTIKA).
E.     Telaah Pustaka
Sebatas pengetahuan penulis, bahwa orang-orang yang menulis baik yang berbentuk skripsi, makalah, opini, karya ilmiyah tentang memanfaatkan uang titpan (wadi’ah) tidak ada melainkan hanya beberapa tulisan saja seperti yang penulis temukan dalam makalah yang berjudul TINJAUAN YURIDIS PELAKSANAAN AKAD WADIAH PADA PERBANKAN SYARIAH MENURUT HUKUM ISLAM DAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN dalam makalah tersebut dijelaskan bahwa “ Konsep wadiah yang dipraktekkan dalam perbankan syariah bertentangan dengan transaksi wadiah yang dikenal dalam syariat. Di antaranya dapat dilihat dari penggunaan uang oleh pihak yang disimpan pada tabungan tersebut untuk kemaslahatannya. Dari hal tersebut dapat dilihat dengan jelas bahwa prinsip dasar wadiah tidak dapat diterapkan terhadap produk Giro[16], Tabungan serta bentuk lain yang dipersamakan dengan menggunakan akad wadiah dalam perbankan.
Jika dilihat dari tuntunan wadiah dalam syariat Islam, maka konsep wadiah yang diterapkan dalam perbankan syariah telah keluar dari perwakilan atau istinaabah dalam menjaga harta. Akad wadiah dalam perbankan syariah memberikan kesempatan kepada bank selaku pihak yang dititipi untuk menggunakan dan memanfaatkan titipan, maka akad wadiah berubah menjadi ‘ariyah (pinjam meminjam) dan bila yang dititipkan tersebut adalah uang yang akan habis bila digunakan, maka ‘ariyah berubah menjadi qardh (hutang-piutang). Oleh karena itu banyak ulama menetapkan uang yang ada dalam tabungan wadiah pada perbankan adalah hutang ” [17]
Dijelaskan juga dalam makalah yang berjudul WADI’AH YAD AMANAH DAN YAD DHAMANAH (TELAAH KONSEP PENGHIMPUNAN DANA PADA PRODUK SISTEM WA’DIAH) dijelaskan bahwa “ Para ulama sepakat bahwa status wadi’ah bersifat amanah, bukan dhamanah, sehingga kerusakan penitipan tidak menjadi tanggung jawab mustawda’ (pihak yang dititipi). Amanat berubah menjadi dhamanah kalau kerusakan itu terjadi karena kesengajaan.
Orang yang menerima barang titipan tidak berkewajiban menjamin kecuali bila ia tidak melakukan kerja dengan sebagaimana mestinya. Rasulullah Saw bersabda, “ Siapa saja yang dititipi, ia tidak berkewajiban menjamin. (HR. Daruquthni)”[18].
Dalam makalah yang berjudul TINJAUAN FIQIH BARANG TITIPAN (AL WADI’AH) dijelaskan bahwa” Penerima titipan hanya berfungsi sebagai penerima amanah yang bertugas dan berkewajiban untuk menjaga barang yang dititipkan tanpa boleh memanfaatkannya”[19].
Jadi, penelitian mengenai memanfaatkan uang titipan dalam persepektif hukum islam masih belum pernah dibahas, maka, penulis berniat untuk mengankatnya sebagai salah satu persyaratan tugas akhir dalam bentuk skripsi, dimana objek penelitiannya adalah Pondok Pesantren Annuqayah daerah Latee.
F.     Kerangka teoritik
Dalam pembahasan skripsi ini menggunakan kerangka teori atau landasan teori yang diambil dari al-Qur’an dan al-Hadits seperti surat an-Nisa’ ayat 58  yang berbunyi:
إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا الأمَانَاتِ إِلَى أَهْلِهَا وَإِذَا حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ أَنْ تَحْكُمُوا بِالْعَدْلِ إِنَّ اللَّهَ نِعِمَّا يَعِظُكُمْ بِهِ إِنَّ اللَّهَ كَانَ سَمِيعًا بَصِيرًا.
Artinya: “ Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha mendengar lagi Maha melihat”.[20]
   Dan surat at-Taubah ayat 91 yang berbunyi :
لَيْسَ عَلَى الضُّعَفَاءِ وَلا عَلَى الْمَرْضَى وَلا عَلَى الَّذِينَ لا يَجِدُونَ مَا يُنْفِقُونَ حَرَجٌ إِذَا نَصَحُوا لِلَّهِ وَرَسُولِهِ مَا عَلَى الْمُحْسِنِينَ مِنْ سَبِيلٍ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ.
Artinya: Tiada dosa (lantaran tidak pergi berjihad) atas orang-orang yang lemah, orang-orang yang sakit dan atas orang-orang yang tidak memperoleh apa yang akan mereka nafkahkan, apabila mereka Berlaku ikhlas kepada Allah dan Rasul-Nya. tidak ada jalan sedikitpun untuk menyalahkan orang-orang yang berbuat baik.dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang,[21]
    Dan hadits Nabi yang berbunyi:
حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ يَحْيَى التَّمِيمِيُّ، وَأَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ، وَمُحَمَّدُ بْنُ الْعَلَاءِ الْهَمْدَانِيُّ - وَاللَّفْظُ لِيَحْيَى، قَالَ يَحْيَى: أَخْبَرَنَا وقَالَ الْآخَرَانِ: حَدَّثَنَا - أَبُو مُعَاوِيَةَ، عَنِ الْأَعْمَشِ، عَنْ أَبِي صَالِحٍ، مَنْ نَفَّسَ عَنْ مُسْلِمٍ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ الدُّنْيَا، نَفَّسَ اللَّهُ عَنْهُ كُرْبَةً مِنْ كُرَبِ يَوْمِ الْقِيَامَةِ، وَمَنْ يَسَّرَ عَلَى مُعْسِرٍ، يَسَّرَ اللَّهُ عَلَيْهِ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ، وَمَنْ سَتَرَ عَلَى مُسْلِمٍ سَتَرَ اللَّهُ عَلَيْهِ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ، وَاللَّهُ فِي عَوْنِ الْعَبْدِ مَا كَانَ الْعَبْدُ فِي عَوْنِ أَخِيهِ» قَالَ أَبُو دَاوُدَ: لَمْ يَذْكُرْ عُثْمَانُ عَنْ أَبِي مُعَاوِيَةَ «وَمَنْ يَسَّرَ عَلَى مُعْسِرٍ»
Artinya: Yahya bin Yahya al-Tamimi, abu Bakar bin abi Syaibah dan Muhammad bin ‘Ala’i al-Hamdaniy bercerita kepada kami (berkata), mengabarkan kepada kami (berkata), dan yang lain juga berkata, abu Muawiyah bercerita kepada kami dari A’amasy dari abi Shalih dari Abu Hurairah berkata, Rasulullah SAW telah bersabda: Barang siapa melepaskan dari seorang mu’min satu kesusahan dari kesusahan-kesusahan dunia, niscaya Allah melepaskan dia dari kesusahan-kesusahan hari kiamat. Barang siapa memberi kelonggaran kepada seorang yang kesusahan, niscaya Allah akan memberi kelonggaran baginya di dunia dan akhirat, dan barang siapa menutupi (aib) seorang Mu’min, niscaya Allah menutupi (aib)nya di dunia dan di akhirat. Dan Allah menolong hamba-Nya, selama hamba-Nya mau menolong saudaranya ” .[22]
    Dalam hadits Nabi yang lain juga dijelaskan:
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الْعَلَاءِ، وَأَحْمَدُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ قَالَا: حَدَّثَنَا طَلْقُ بْنُ غَنَّامٍ، عَنْ شَرِيكٍ  قَالَ: ابْنُ الْعَلَاءِ، وَقَيْسٌ - عَنْ أَبِي حُصَيْنٍ، عَنْ أَبِي صَالِحٍ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: أَدِّ الأَمَانَةَ إِلَى مَنْ ائْتَمَنَكَ، وَلَا تَخُنْ مَنْ خَانَكَ.
    Artinya: “Muhammad bi ‘Ala’i dan Ahmad bin Ibrohim keduanya berkata, Thallqu bin Ghannam dari Syarik bercerita (berkata) Ibnu ‘Alla’ dan Qois dari abi Hushaini dari abi Shalih dari abi Hurairoh berkata, Rosulullah bersabda: Serahkanlah olehmu Amanah kepada orang yang dapat dipercaya, dan janganlah menghianati orang yang mempercayaimu”.[23]
   Dalam kitab fiqih juga dijelaskan:
الوديعة اسم لعين يضعها مالكها أو نائبه عند آخر ليحفظها.
Artinya: Wadi’ah adalah sebuah benda yang diserahkan oleh pemiliknya atau penggantinya kepada orang yang lain untuk di jaga atau dipelahara.[24]
G.    Metode Penelitian
Dalam pelaksanaan penelitian ini di butuhkan tahapan-tahapan yang bersifat integral dengan tidak mengesampingkan pertimbagan dari berbagai aspek. Sehingga pada akhirnya identifikasi persoalan dan berbagai faktor yang ada akan menempati proporsi yang ada.
            Dalam penelitian ini, penulis akan menggunakan penelitian pendekatan kualitatif, yaitu pendekatan yang menempatkan pandangan peneliti terhadap sesuatu yang diteliti secara subjektif,  dalam arti peneliti sangat menghargai dan memperhatikan pandangan subjektif setiap subjek yang detelitinya.
  1. Data
   Dalam penulisan skripsi ini, untuk menjawab tentang hukum mengenai memanfaatkan uang titipan yang terjadi di Pondok Pesantren Annuqayah daerah Latee. maka membutuhkan data tentang sistem titipan dan pinjam meminjam yang terjadi di Pondok Pesantren Annuqayah daerah Latee. dan beberapa buku dan kitab yang berhubungan dengan masalah tersebut.

  1. Sumber Data
a.      Sumber Primer
   Sumber primer dalam penelitian ini adalah beberapa ayat al-Qur'an dan al-Hadist, serta beberapa kitab Fiqih, dan data-data dari hasil wawancara, dengan pelaku dan pihak-pihak yang terkait yang ada di lokasi penelitian.
b.      Sumber Sekunder
    Sumber Sekunder yang berupa buku-buku ilmiah, majalah, data- data yang diperoleh dari internet, dan hasil bahtsul masail, dan pendapat para ulama.
  1. Teknik Pengumpulan Data
            Penelitian ini adalah penelitian lapangan (field research). Oleh karena itu tehnik pengumpulan di fokuskan pada penelitian masalah yang terjadi di lapangan dengan menggunakan tehnik pengumpulan data sebagai berikut :
a.       Observasi
 Adalah pengamatan di lapangan dalam rangka pengumpulan data yang berkaitan dengan masalah yang akan diteliti. Oleh karena itu, tehnik observasi akan digunakan sebagai tehnik utama dalam pengambilan data. Yaitu penulis  tidak terlibat langsung dalam praktek memanfaatkan uang titipan yang terjadi di Pondok Pesantren Annuqayah daerah Latee. Dalam hal ini adalah observasi non partisipan dalam arti "pengamatan yang tidak dilakukan dengan membaur lansung terhadap aktifitas Subyek peneliti".[25] Dengan kata lain, observasi yang dilakukan adalah observasi murni, sehingga Identitas peneliti diketahui oleh subyek.
b.      Interview
            Interview (wawancara) adalah proses memperoleh keterangan untuk tujuan penelitian dengan cara tanya jawab sambil bertatap muka (face to face) antara salah satu dari dua mempelai atau pewawancara dengan si penjawab responden dengan menggunakan alat yang dinamakan interview guide (panduan wawancara).[26] Dalam hal ini penulis melakukan wawancara dengan pihak-pihak terkait untuk memperoleh data dari informan mengenai masalah yang penulis teliti. Sehingga data yang diperoleh dari observasi (pengamatan) menjadi jelas. Antar lain melakukan wawancara dengan pihak mempelai dan sekaligus dari sebagian  pihak mempelai.
  1. Tehnik Anilisis Data
            Setelah data berhasil dihimpun untuk menghasilkan kebenaran dalam suatu masalah, maka dibutuhkan cara berfikir sistematis dan logis. Secara operasionalnya penulis menggunakan metode berikut :
a.       Induktif, yaitu metode penelitian yang diambil dari data-data yang bersifat khusus di lapangan, kemudian ditarik kesimpulan yang bersifat umum.
b.      Deskriptif Analitis, Yaitu “ dengan menjelaskan suatu fakta untuk memberikan data-data yang seteliti mungkin mengenai gejala atau fakta-fakta tersebut”.[27] Sedangkan Analitis adalah sebuah usaha untuk menemukan dan menata secara sistematis data-data penelitian untuk kemudian dilakukan penelaahan guna mencari makna. Hal ini tentang memanfaatkan uang titipan yang terjadi di Pondok Pesantren Annuqayah daerah Latee sesuai dengan fakta yang ada dilapangan, setelah itu baru kemudian dianalisa yang merujuk pada bahan acuan dan data yang ada untuk kemudian dijabarkan.
H.    Sistematika Pembahasan
Untuk mempermudah kajian ini, termasuk juga dalam penyusunan pengumpulan data agar pembahasan ini lebih terarah menurut urutan yang sesuai, maka di sini penulis memakai sistematika pembahasan di bawah ini :
 Bab Pertama: terdiri dari delapan sub bab, diawali dengan pendahuluan yang mengemukakan latar belakang masalah yang diteliti. Kedua, rumusan masalah, merupakan penegasan apa yang terkandung dalam latar belakang masalah. Ketiga, tujuan penelitian. Sedangkan tujuan adalah keinginan yang akan dicapai dalam penelitian ini. Kempat, kegunaan penelitian, sedangkan kegunaan penelitian merupakan manfaat dari hasil penelitian. Kelima, telaah pustaka yang berisi tentang buku-buku, majalah atau kitab-kitab berkaitan sebagai bahan bacaan dan gambaran terhadap judul skripsi. Keenam, kerangka tieritik adalah menjelaskan landasan teori yang digunakan dalam penulisan skripsi ini. ketujuh, metode penelitian, yang berisi tentang cara-cara yang digunakan dalam penelitian. kedelapan, sistematika pembahasan, berisi tentang struktur dan turunan yang akan dibahas dalam skripsi.
Bab kedua    : berisi dua sub bab, sub bab yang pertama berisi tentang titipan (wadi’ah) yang meliputi pengertian titipan, landasan syari’ah, rukun dan syarat-syarat titipan, jenis-jenis titipan (wadi’ah) dan hikmah-hikmah titipan (wadi’ah). Sub bab yang kedua berisi tentang pinjam-meminjam (‘ariyah) yang meliputi pengertian pinjam meminjam (‘Ariyah), landasan syari’ah, rukun dan syarat, hukum ketetapan akad ’ariyah dan hikmah ’ariyah.
Bab ketiga : berisi tentang praktek memanfaatkan uang titipan di Pondok Pesantren Annuqayah daerah Latee Guluk-Guluk Sumenep yang meliputi empat sub bab yaitu: diskripsi lokasi penelitian, praktek penitipan uang titipan, praktek pemanfaatan uang titipan serta maslahah dan mafsadah pemnafaatan uang titipan.
Bab keempat: adalah analisis pemanfaatan uang titipan di Pondok Pesantren Annuayah daerah Latee yang meliputi dua sub bab. Sub bab pertama, Analisis praktek memanfaatkan uang titipan  dari segi akad. Sub bab yang kedua, analisis pemanfaatan uang titipan dari segi maslahah dan mafsadahnya.
Bab kelima : adalah penutup yang berisikan kesimpulan dari hasil analisis penelitian dan saran-saran yang sekiranya dapat digunakan sebagai masukan, sehingga praktek memanfaatkan uang titipan dalam persepektif hukum islam di Pondok Pesantren Annuqayah daerah Latee.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pages