BAB II LANDASAN TEORI



A.    Titipan (al-Wadi’ah)
1.      PegertianTitipan
Dalam tradisi fiqih islam, prinsip titipan atau simpanan dikenal dengan prinsip al-Wadi’ah. Lafadz wadi’ah secara etimoloogi memiliki arti titipan[1], menurut wahbah zuhailiy adalah bentuk masdar dari fi’il madi wada’a (ودع) dapat diartikan sebagai meninggalkan (الترك) atau meletakkan[2], yaitu meletakkan sesuatu kepada orang lain untuk dipelihara atau dijaga[3]. Sedangkan menurut istilah syar’iy adalah sebagaimana yang disampaikan oleh iamam Taqiyuddin al-Khisni dalam kitab Kifayatul  Akhyar.
الوديعة اسم لعين يضعها مالكها أو نائبه عند آخر ليحفظها.[4]
Artinya: Wadi’ah adalah sebuah benda yang diserahkan oleh pemiliknya atau penggantinya kepada orang yang lain untuk di jaga atau dipelahara.

Bahwa wadi’ah adalah titipan murni dari satu pihak kepada pihak lain, baik untuk dijaga dan dipelihara, sedangkan definisi wadi’ah menurut pendapat imam yang empat adalah sebagaimana berikut:
1.    Menurut imam Malik adalah ucapan pemasrahan harta yang semata-mata untuk dijaga.
أنها عبارة عن توكيل على مجرد حفظ المال.[5]
2.    Menurut imam Abu Hanifah adalah memberikan kekuasaan kepada orang lain untuk menjaga hartanya atau barangnya baik secara terang-teranagan maupun dengan isyarat yang sema’na dengan nya.
هي عبارة عن أن يسلط شخص غيره على حفظ ماله صريحاً أو دلالة.[6]
3.    Menurut imam Syafi’iy adalah suatu akad yang menuntut terjadinya suatu pemeliharaan terhadap sesuatu yang dititipkan.
هي العقد المقتضي الشيء المودع.[7]
4.    Menurut imam hanabilah adalah berma’na idaa’ yaitu memasrahkan (sesuatu) untuk di pelihara atau dijaga karena untuk berbuat baik.
الوديعة بمعنى الايداع توكيل في الحفظ تبرعا.[8]
Sebagaimana lazimnya, titipan adalah murni akad tolong- menolong. Di mana dengan alasan tersebut pemilik harta memberikan amanah kepada orang yang dititipi untuk menjaga dan memelihara hartanya. Seseorang yang mempunyai harta atau barang berkeinginan untuk menyerahkan kepada orang lain tidak untuk dikuasai, akan tetapi untuk dipelihara karena ada suatu hal. Tidak ada ketentuan alasan kenapa akad wadi’ah harus dilakukan. Yang pasti seseorang mempunyai hak penuh atas harta untuk dititipkan kepada orang lain. Bagi seseorang yang menerima titipan, bisa menerima atau menolak.
Dengan demikian, dalam akad wadi’ah, keberadaan orang yang memiliki harta tidak mempunyai kepentingan apapun dari harta yang ia titipkan kecuali semata-mata agar harta yang dititipkan dapat terjaga dengan baik. Demikian juga, orang yang dititipi pada dasarnya tidak boleh melakukan tindakan hukum apapun terhadap harta titipan kecuali atas izin orang yang menitipkan. Orang yang dititipi hanya menjaga amanah dari orang yang menitipkan.

2.      Landasan syari’ah
Ulama fiqih telah sepakat bahwa wadi’ah sebagai salah satu akad dalam rangka saling tolong-menolong (tabarru’) sesama manusia, alasan yang mereka kemukakan tentang setatus hukum wadi’ah adalah al-Qur’an, al-Hadits dan ijma’ ulama, yaitu:
a.       Al-Qur’an
إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا الْأَمَانَاتِ إِلَى أَهْلِهَا وَإِذَا حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ أَنْ تَحْكُمُوا بِالْعَدْلِ إِنَّ اللَّهَ نِعِمَّا يَعِظُكُمْ بِهِ إِنَّ اللَّهَ كَانَ سَمِيعًا بَصِيرًا.
Artinya:Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha mendengar lagi Maha melihat”.[9]
وَإِنْ كُنْتُمْ عَلَى سَفَرٍ وَلَمْ تَجِدُوا كَاتِبًا فَرِهَانٌ مَقْبُوضَةٌ فَإِنْ أَمِنَ بَعْضُكُمْ بَعْضًا فَلْيُؤَدِّ الَّذِي اؤْتُمِنَ أَمَانَتَهُ وَلْيَتَّقِ اللَّهَ رَبَّهُ وَلَا تَكْتُمُوا الشَّهَادَةَ وَمَنْ يَكْتُمْهَا فَإِنَّهُ آثِمٌ قَلْبُهُ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ عَلِيمٌ.
Artinya: “Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu'amalah tidak secaratunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, Maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang[10] (oleh yang berpiutang). Akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, Maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya; dan janganlah kamu (parasaksi) Menyembunyikan persaksian. Dan Barang siapa yang menyembunyikannya, Maka Sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya; dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.”[11]

b.      Al-Hadits
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الْعَلَاءِ، وَأَحْمَدُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ قَالَا: حَدَّثَنَا طَلْقُ بْنُ غَنَّامٍ، عَنْ شَرِيكٍ  قَالَ: ابْنُ الْعَلَاءِ، وَقَيْسٌ - عَنْ أَبِي حُصَيْنٍ، عَنْ أَبِي صَالِحٍ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: أَدِّ الْأَمَانَةَ إِلَى مَنِ ائْتَمَنَكَ، وَلَا تَخُنْ مَنْ خَانَكَ.

Artinya: “Muhammad bi ‘Ala’i dan Ahmad bin Ibrohim keduanya berkata, Thallqu bin Ghannam dari Syarik bercerita (berkata) Ibnu ‘Alla’ dan Qois dari abi Hushain dari abi Shalih dari abi Hurairoh berkata, Rosulullah bersabda: Sampaikanlah (tunaikanlah) amanah kepada orang yang berhak menerimanya dan jangan membalas khianat kepada orang yang telah menghianatimu.[12]
Dan dalam hadist yang lain:

حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ يَحْيَى التَّمِيمِيُّ، وَأَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ، وَمُحَمَّدُ بْنُ الْعَلَاءِ الْهَمْدَانِيُّ - وَاللَّفْظُ لِيَحْيَى، قَالَ يَحْيَى: أَخْبَرَنَا وقَالَ الْآخَرَانِ: حَدَّثَنَا - أَبُو مُعَاوِيَةَ، عَنِ الْأَعْمَشِ، عَنْ أَبِي صَالِحٍ، عن أبي هريرة رضي الله عنه.قال :قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: والله في عون العبد ماكان العبد في عون اخيه.
Artinya: “Yahya bin Yahya al-Tamimi, abu Bakar bin abi Syaibah dan Muhammad bin ‘Ala’i al-Hamdaniy bercerita kepada kami (berkata), mengabarkan kepada kami (berkata), dan yang lain juga berkata, abu Muawiyah bercerita kepada kami dari A’amasy dari abi Shalih dari abu Hurairoh berkata, rosulullah berkata: Allah senantiasa menolong hambanya selagi hambanya senantiasa menolong sesama saudaranya.”[13]

c.       Ijma ‘ulama
وأجمع العلماء في كل عصر من العصور الإسلامية على جواز الإيداع والاستيداع، لأن بالناس حاجة، بل ضرورة إلى الإيداع.[14]
Artinya: “Para tokoh ulama’ islam sepanjang zaman telah melakukan ijma’ (konsensus) terhadap legitimasi al-Wadiah, karena kebutuhan manusia terhadap hal tersebut.”
3.      Rukun dan syarat wadi’ah
Yang dimaksud dengan rukun adalah unsur-unsur yang membentuk terjadinya akad. Tidak adanya rukun menjadikan tidak adanya akad.[15] sedangkan yang dimaksud syarat adalah hal yang menyebabkan suatu perbuatan sah dilakukan secara hukum dimana kerakteristiknya tidak melekat pada perbuatan hukum tadi. [16]
a.       Rukun
Rukun-rukun wadi’ah adalah ada tiga[17], yaitu:
1)      ‘Aqidain (orang yang menitipkan wadi dan penerima titipan muda)
2)      Objek yang diakadkan (harta yang dititipkan)
3)      Shighat (ijab dan qobul)
Dalam literatur yang lain dijelaskan bahwa rukun wadia’h ada empat, tetapi yang pada hakikatnya adalah sama, karena dalam literatur tersebut antara ‘aqidaini dipisah menjadi dua (penitip dan yang menerima titipan).[18]
Menurut pendapat yang dianggap paling shahih, bahwa dalam wadi’ah tidak disyaratkan mengucapkan qobul (kalimat menerima) dari penerima titipan.[19] Disamping itu, kedua belah pihak dapat membatalkan akad perjanjian kapan saja. Penerima titipan boleh mengembalikan barang titipan sewaktu-waktu dan pihak yang menitipkan bisa mengambil barangnya sewaktu-waktu juga.
b.      Syarat
Syarat-syarat wadi’ah adalah sebagai berikut:
1)      Syarat yang terkait dengan penitipan dan penerimaan titipan (‘aqidain); mereka harus termasuk orang yang ithlaq al-Tasharruf (bebas melakukan transaksi), maka dianggap tidak sah akad wadi’ah yang dilakukan oleh anak kecil, orang gila dan mahjur alaih bisafih (orang bodoh yang tidak mengerti nilai mata uang).[20] Persyaratan tersebut diperjelas dengan pendapat jumhur ulama’ dengan menambah ‘aqil dan baligh.
Wadi’ah adalah jenis akad yang unsur resiko penipuannya cukup besar. Maka, pihak-pihak yang melakukan akad harus benar-benar mengerti tentang apa yang akan terjadi terhadap barang yang menjadi objek transaksi. Maka, disamping bagi pihak-pihak yang melakukan akad disyaratkan untuk ‘aqil dan baligh juga arrusd (cerdas) dalam pengertian dapat membedakan baik-buruk, manfaat-madlarat.
            Berbeda dengan jumhur ulama’ imam abu Hanifah menganggap boleh bagi anak yang belum baligh melakukan akad wadi’ah, asalkan mendapatkan izin dari walinya[21]. Akan tetapi sama dengan jumhur ulama’ ia menganggap tidak boleh orang yang tidak berakal melakukan akad wadi’ah.
2)      Syarat yang terkait dengan yang menjadi objek; barang yang menjadi objek wadi’ah harus muhtaromah, dianggap mulia oleh syara’, meskipun barang tersebut tidak memiliki nilai jual.[22] Disamping itu barang yang dititipkan harus bisa diketahui identitasnya dan bisa diketahui untuk dipelihara. Syarat ini dimunculkan terkait dengan pertanggung jawaban pihak yang menerima titipan. Jika barang titipan tidak dapat dikuasai oleh pihak penerima titipan, kemudian terjadi kerusakan pada barang tersebut, maka pihak yang menerima titipan tidak bisa dimintai pertanggung jawaban.

4.      Jenis-jenis wadi’ah
Sebagaimana telah disebutkan di depan, bahwa akad wadi’ah adalah akad amanah yang mendasarkan pada aspek tolong-menolong. Sehingga kemudian kalau terjadi kerusakan atau kehilangan maka penerima titipan tidak menangggung ganti rugi kecuali kerusakan dan kehilangan tersebut bukan dikarenakan kelalaian atau kesengajaan, sebagai mana yang di sabdakan oleh nabi Muhammad SAW. dalam haditsnya:
أَخْبَرَنَا أَبُو الْحُسَيْنِ عَلِيُّ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ عَبْدِ اللهِ بْنِ بِشْرَانَ بِبَغْدَادَ، أنبأ أَبُوجَعْفَرٍ مُحَمَّدُ بْنُ عَمْرٍو الرَّزَّازُ، ثنا مُحَمَّدُ بْنُ عُبَيْدِ اللهِ بْنِ الْمُنَادِي، ثنا يُونُسُ بْنُ مُحَمَّدٍ، ثنا حَمَّادُ بْنُ سَلَمَةَ، عَنْ أَيُّوبَ، وَقَتَادَةَ، وَحَبِيبٍ، وَيُونُسَ، عَنِ ابْنِ سِيرِينَ، أَنَّ شُرَيْحًا قَالَ: ليس على المستودع غير المغل ضمان ولا على المستعير, غير المغل ضمان.
Artinya: Abu al-Hasan ‘Ali bin Muhammad bin ‘Abdillah bin Bisyrona, abu Ja’far Muhamad bin Umar al-Rozzaz, tsana Muhammad bin Ubaidillah bin Munadiy, tsana Yunus bin Muhammad tsana Hammad bin Salamah dari Ayyub, Qatadah, Habibi, Yunus dari ibnu Sirin bahwa Suraih berkata: tidak ada tanggungan bagi penerima titipan dan penerima pinjaman yang tidak khiyanat.[23]
Didalam akad tersebut ada keuntungan yang akan diraih, namun demikian, dalam prakteknya, dalam penggunaan barang yang dititipkan tersebut sangat terkait dengan kesepakatan antara orang yang dititipkan maupun orang yang menitipkan (‘aqidaini). Maka, berdasarkan hal tersebut, wadi’ah dibagi menjadi dua, yaitu:
1.         Wadi’ah yadi Amanah
Wadi’ah yadi Amanah, adalah titipan yang bersifat amanah belaka. Kedua belah pihak (pihak yang dititipi dan pihak yang menitipkan) melakukan kesepakatan bahwa baranng yang dititipkan tidak dipergunakan untuk kepentinggan apapun oleh pihak yang dititipi. Ia hanya menjaga keberadaan harta titipan tersebut. Dalam kondisi seperti ini tidak ada kewajiban bagi orang yang dititipi untuk menanggung kerugian jika barang titipan tersebut rusak, kecuali ada unsur kesengajaan  atau karena kelalaian.[24]
2.         Wadi’ah yadi dhamanah
Wadi’ah yadi dhamanah, akad titipan dimana pihak yang dititipi harus menanggung kerugian, pada dasarnya akad wadi’ah tersebut bersifat amanah. Akan tetapi ia bisa berubah menjadi dhamanah dengan beberapa sebab sebagaimana yang dinadzamkan oleh al-Damiriy[25],
عوارض التَّضْمِين عشر ودعها # وسفر ونقلها وجحدها
وَترك إيصاء وَدفع مهلك # وَمنع ردهَا وتضييع حكى
 وَالِانْتِفَاع وَكَذَا المخالفه # فِي حفظهَا إِن لم يزدْ من خَالفه
Yaitu:
1.    Barang titipan yang dititipkan kepada orang lain tanpa seizin penitip (wadi’) dan tidak ada udzur yang mendesak. Apabila barang yang dititpi itu rusak atau hilang dikarenakan orang yang dititipi menitipkan lagi kepada orang lain, maka ia harus mengganti rugi, kecuali dalam keadaan dharurat seperti kebakaran, atau dengan sepengetahuan orang yang menitipi barang tersebut, karena status muda’(Orang yang dititipi) akan berpindah kepada orang yang ketiga. Menurut ulama mazhab Hanafi dan Hambali, orang yang dititipi dikenakan ganti rugi, karena kewajiban memelihara barang tersebut dipikul di pundaknya. Tetapi jumhur ulama termasuk Imam Abu Yusuf dan Muhammad bin Hasan as-Syaibani (kedua ahli fikih mazhab Hanafi) menyatakan bahwa dalam kasus seperti ini pemilik barang boleh memilih apakah ia boleh menuntut ganti rugi kepada orang yang dititipi barang (muda’ I) sehingga orang yang dititipi barang oleh orang yang dititipi pertama (muda’ II) tidak dikenakan ganti rugi. Atau ia meminta ganti rugi kepada orang yang di titipi kedua, tetapi ia (muda’ II) boleh meminta ganti rugi kepada (muda’ I) Apabila barang itu rusak atau digunakan oleh (muda’ II) secara terang terangan sehingga rusak maka pemilik boleh meminta ganti rugi kepada muda’ I atau muda’ II.
2.    Bepergian dengan membawa barang titipan. Menurut jumhur ulama yang berbeda dengan pendapat imam Hanifah, orang yang dititipi tidak dibenarkan membawa barang titipan dalam bepergian dengan kemungkinan lebih baik meninggalkannya kepada orang yang dipercayai. Apabila barang itu hilang atau rusak maka ia harus mengganti rugi. Dan apabila ia bepergian dengan membawa titipan, karena tidak ada orang yang dipercayakan untuk menjaga barang itu, apabila rusak atau hilang maka ia tidak dikenakan ganti rugi.
3.    Memindahkan Barang titipan dari tempat asal ketempat yang lain yang tingkat keamanannya lebih rendah.
4.    Mengingkari barang titipan. Apabila mudi’ meminta barang titipan miliknya dan tidak diserahkan oleh muda’ lalu mengingkari adanya akad itu dan barang titipan itu,  maka kerusakan dan kehilangan barang itu ditanggung oleh muda’.
5.    Tidak mewasiatkan barang titipan tersebut kepada keluarga, hakim atau orang yang dipercayanya untuk menjaganya disaat penerima titipan tersebut sakit atau hendak pepergian.
6.    membiyarkan barang tersebut dalam kecelakaan padahal ia mampu untuk menolak kecelakaan tersebut seperti dirampas, dicuri oleh orang lain atau kebakaran.
7.    Tidak menyerahkan barang titipan kepada pemiliknya saat diminta untuk dikembalikan tanpa ada udzur, seperti diminta saat hendak atau melakukan sholat atau disaat sedang makan.
8.    Menyia-nyikan atau meremihkan barang titipan tersebut, seperti halnya meletakkannya disembarangan tempat yang jauh dari keamanan atau terlupakan.
9.    Barang titipan tersebut dimanfaatkan oleh pihak yang menerima titipan. Dalam hal ini, ulama’ fiqih sepakat bahwa orang yang dititipi barang apabila menggunakan barang titipan, dan kemudian barang tersebut rusak, maka orang yang dititipi wajib membayar ganti rugi, sekalipun kerusakan tersebut disebabkan oleh faktor lain di luar kemanpuannya.
10.    Mengingkari Tata Cara pemeliharaan barang titipan (wadi’ah). muda’ harus mengganti rugi apabila barang titipan itu rusak atau hilang dikarenakan ia melanggar kesepakatan atas tatacara pemeliharaan barang tersebut. Seperti,  kesepakatan antara mudi’ dan muda’ meletakkan barang titipan di Almari, akan tetapi muda’ memindahkannya tanpa sepengetahuan mudi’  maka ia dikenakan ganti rugi atas kerusakan atau kehilangan barang tersebut.
5.      Hikmah-hikmah wadi’ah
a.       Mengamankan dan menjaga barang agar terhindar dari bahaya atau pencurian.
b.      Dengan wadi’ah terwujud sikap tolong menolong sesama anggota masyarakat yang dengan itu pula yang menerima titipan akan mendapat rahmat serta pertolongan Allah. Sebagaimana yang disabdakan oleh nabi Muhammad SAW. yaitu:
حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ يَحْيَى التَّمِيمِيُّ، وَأَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ، وَمُحَمَّدُ بْنُ الْعَلَاءِ الْهَمْدَانِيُّ - وَاللَّفْظُ لِيَحْيَى، قَالَ يَحْيَى: أَخْبَرَنَا وقَالَ الْآخَرَانِ: حَدَّثَنَا - أَبُو مُعَاوِيَةَ، عَنِ الْأَعْمَشِ، عَنْ أَبِي صَالِحٍ، عن أبي هريرة رضي الله عنه.قال :قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: والله في عون العبد ماكان العبد في عون اخيه.[26]
Artinya: “Yahya bin Yahya al-Tamimi, abu Bakar bin abi Syaibah dan Muhammad bin ‘Ala’i al-Hamdaniy bercerita kepada kami (berkata), mengabarkan kepada kami (berkata), dan yang lain juga berkata, abu Muawiyah bercerita kepada kami dari A’amasy dari abi Shalih dari abu Hurairoh Ra. Rosulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: Allah senantiasa menolong hambanya selagi hambanya senantiasa menolong sesama saudaranya”.
c.       Terjalinnya hubungan baik.

B.     Pinjam meminjam (ariyah)
1.      Pengertian
Menurut etimologi, ‘ariyah adalah (العارية) diambil dari kata (عار) yang berarti datang dan pergi[27]. Menurut sebagian pendapat, ‘ariyah berasal dari kata (التعاور) yang sama artinya dengan (التناول او التناوب) saling menukar dan saling mengganti, yakni tradisi dalam pinjam-peminjam.[28]
Menurut terminologi syara’ ulama’ fiqih berbeda pendapat dalam mendefinisikannya, antara lain:
a.    Menurut Syarkhasyi dan ulama’ Malikiyah:
تمليك المنفعة بغير عوض.
Artinya:“Pemilikan atas manfaat suatu benda tanpa pengganti” [29]
b.    Menurut ulama’ Syafi’iyah dan Hambaliyah.
اباحة المنفعة بلا عوض.
Artinya:“Pembolehan (untuk mengambil) manfaat tanpa mengganti”
Akad ini berbeda dengan hibah, karena ‘ariyah dimaksudkan untuk mengambil manfaat dari suatu benda, sedangkan hibah mengambil zat benda tersebut.
Pengertian pertama memberikan makna kepemilikan sehingga peminjam membolehkan untuk meminjamkan kepada orang lain.[30] Adapun pengertian kedua memberikan makna kebolehan, sehingga peminjam tidak membolehkan meminjamkan kembali barang pinjaman kepada orang lain.
2.      Landasan Syari’ah
Ariyah dianjurkan (mandub) dalam islam, yang didasarkan pada al-Qur’an dan al-Hadits.[31]
a.       Al-Qur’an
...... وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ.
Artinya:“dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. dan bertakwalah kamu kepada Allah, Sesungguhnya Allah Amat berat siksa-Nya.[32]
وَيَمْنَعُونَ الْمَاعُونَ.
Artinya:dan enggan (menolong dengan) barang berguna.[33]
b.      Al-Hadist
حدثنا آدم، حدثنا شعبة، عن قتادة، قال: سمعت أنسا، يقول: كان فزع بالمدينة، فاستعار النبي صلى الله عليه وسلم فرسا من أبي طلحة يقال له المندوب، فركب، فلما رجع قال: «ما رأينا من شيء، وإن وجدناه لبحرا»[34]
Artinya: Adam dan Syu’bah bercerita kepada kami yang diperoleh dari qotadah dan ia mendengar dari sahabat Anas pada saat itu beliau berada Di kota Madinah bahwa “ Rosullah telah meminjam kuda dari abu thalhah, kemudian beliau mengendarainya.
وفي رواية لأبي داود بإسناد جيد أنه صلّى الله عليه وسلم استعار درعاً من صفوان بن أمية يوم حنين، فقال: أغصباً يا محمد؟ فقال: بل عارية مضمونة[35]
Artinya: “Dalam suatu riwayat Abu Daud dengan sanad yang bagus bahwa Rasullah pernah meminjam perisai dari shafwan bin umayyah pada waktu perang hunain, shofwan bertanya, “apakah engkau merampasnya ya Muhammad?” Nabi menjawab,“ Cuma meminjam dan aku bertanggung jawab.”
3.      Rukun dan Syarat
a.    Rukun Ariyah
Ulama’ Hanafiyah berpendapat bahwa rukun ‘ariyah hanyalah ijab dari yang meminjamkan barang, sedangkan qobul bukan  merupakan rukun ‘ariyah.[36]
Menurut ulama’ Syafi’iyah, dalam ‘ariyah disyaratkan adanya shighat yakni ijab dan qobul dari peminjam dan yang meminjamkan barang pada waktu transaksi sebab memanfaatkan milik barang bergantung pada adanya izin.[37]
Secara umum jumhur ulama’ fiqih menyatakan bahwa rukun ariyah ada empat[38], yaitu:
1.      Peminjam (mu’ir)
2.      Yang meminjamkan (musta’ir)
3.      Barang yang dipinjamkan (musta’ar atau mu’ar)
4.      Shighat (yakni sesuatu yang menunjukkan kebolehan untuk mengambil manfaat, baik dengan ucapan maupun dengan perbuatan)
b.      Syaratariyah
Ulama’ fiqih mensyaratkan dalam akad ariyah sebagaimana berikut:[39]
1.      Mu’ir berakal sehat
Dengan demikian orang gila dan anak kecil yang tidak berakal tidak dapat meminjamkan barang. Ulama’ Hanafiyah tidak menyaratkan sudah baligh, sedangkan ulama’ lainnya menambahkan bahwa yang berhak meminjamkan adalah orang yang dapat berbuat baik sekehendaknya, tanpa dipaksa, bukan anak kecil, bukan orang bodoh, dan bukan orang yang sedang pailit (bangkrut).
2.      Pemegangan barang pinjaman
‘Ariyah adalah transaksi dalam berbuat kebaikan, yang akad ‘ariyah dianggap sah apabial barang dapat diserahkan atau diterima, seperti halnya dalam hibah dan disyaratkan bagi peminjam (musta’ir) adalah ilhaqu al-Tasharruf.
3.      Barang musta’ar dapat digunakan tanpa merusak zatnya, jika musta’ar tidak dapat dimanfaatkan, maka akad tidak sah.[40]
Para ulama’ telah menetapkan bahwa ‘ariyah diperbolehkan terhadap setiap barang yang dapat diambil mafaatnya dan tanpa merusak zatnya, seperti meminjamkan tanah, pakaian, binatang dan lain-lain.
Diharamkan meminjamkan senjata dan kuda kepada musuh, juga diharamkan meminjamkan al-Qur’an atau yang berkaitan dengan al-Qur’an kepada orang kafir. Juga dilarang meminjamkan alat berburu kepada orang yang sedang ihram.[41]
4.      Hukum ketetapan akad Ariyah
1)   Dasar hukum ariyah
Menurut kebiasaan (urf), Ariyah dapat diartikan dengan dua cara, yaitu secara hakikat dan secara majazi.[42]
a.      Secara hakikat
Ariyah adalah meminjamkan barang yang dapat diambil manfaatnya tanpa merusak zatnya. Menurut Malikiyah dan Hanafiyah, hukumnya adalah manfaat bagi peminjam tanpa ada pengganti apapun, atau peminjam memiliki sesuatu yang semakna dengannya menurut kabiasaan.[43]
Al-Kurkhi, ulama’ Syafi’iyah dan Hanabilah berpendapat bahwa yang dimaksud dengan ‘ariyah adalah kebolehan untuk mengambil manfaat dari suatu benda.[44]
Dari perbedaan pandangan diatas, dapat ditetapkan bahwa menurut golongan pertama, barang yang dipinjam boleh dipinjamkan kepada orang lain, bahwa menurut imam Malik, sekalipun tidak diizinkan oleh pamiliknya asalkan digunakan sesuai dengan pungsinya. Akan tetapi, ulama’ Malikiyah melarangnya jika peminjam tidak mengizinkannya.
Alasan ulama’ Hanafiyah antara lain bahwa yang memberi pinjaman telah memberikan hak penguasaan barang kapada peminjam untuk mengambil manfaat barang. Kekuasaan seperti ini berarti kepemilikan. Dengan demikian, peminjam berkuasa penuh untuk mengambil manfaat barang tersebut, baik oleh dirinya maupun orang lain.
Menurut golongan kedua, pinjam meminjam hanya sebatas pengambilan manfaat, maka tidak boleh meminjamkan lagi kepada orang lain, seperti halnya seorang tamu yang tidak boleh meminjamkan makanan yang dihidangkan untuknya kepada orang lain.
Golongan Pertama dan kedua sepakat bahwa peminjam tidak memiliki hak kepemilikan sebagaimana Gadai barang, menurut golongan kedua, peminjam hanya berhak memanfaatkannya saja dan tidak memiliki bendanya, adapun menurut golongan pertama, gadai adalah akad yang lazim (resmi), sedangkan ‘ariyah adalah akad tabarru’ (derma) yang dibolehkan, tetapi tidak lazim, dengan demikian, peminjam tidak memiliki hak kepemilikan sebagaimana akad lazim, sebab hal itu merubah tabiat tabarru’. Selain itu, peminjam pun tidak boleh menyewakannya.[45]
b.      Secara majazi
Ariyah secara majazi adalah pinjam meminjam benda-benda yang berkaitan dengan takaran, timbangan, hitungan dan lain-lain, seperti telur, uang dan segala benda yang dapat diambil manfaatnya dengan merusak zatnya. Ariyah pada benda-benda tersebut harus diganti dengan benda yang serupa atau yang senilai. Dengan demikian walaupun termasuk ‘ariyah, tetapi merupakan ‘ariyah secara majazi, sebab tidak mungkin dapat dimanfaatkan tanpa merusaknya, oleh karena itu, sama saja antara memiliki kemanfaatan dan kebolehan untuk memanfaatkannya.[46]
2)   Hak memanfaatkan barang pinjaman (Musta’ar)
Jumhur ulama’ selain Hanafiyah berpendapat bahwa musta’ir dapat mengambil manfaat barang sesuai dengan izin mu’ir (orang yang memberi pinjaman).
Adapun ulama’ Hanafiyah berpendapat bahwa kewenangan yang dimiliki oleh mustaiar bergantung pada jenis pinjaman, apapkah mui’r meminjamkannya secara terikat (muqayyadah) atau mutlakoh.
Akad Ariyah ada dua macam, yaitu:[47]
a.       Ariyah Mutlakoh
‘Ariyah Mutlak, yaitu pinjam-meminjam barang yang dalam akadnya (transaksinya) tidak dijelaskan persyaratan apapun, seperti apakah pemanfaatannya hanya untuk peminjam saja atau dibolehkan untuk orang lain, atau tidak dijelaskan cara penggunaannya. contohnya, seseorang meminjam binatang, namun di dalam akadnya tidak disebutkan hal-hal yang berkaitan dengan penggunaan binatang tersebut, misalnya waktu dan tempat mengendarainya. Jadi, hukumnya sebagaimana pemilik hewan-hewan yang lain, yaitu dapat mengambil manfaatnya. Namun demikian, harus sesuai dengan kebiasaan yang berlaku pada masyarakat. Tidak dibolehkan menggunakan binatang tersebut siang dan malam tanpa henti. Sebaliknya, jika penggunaannya tidak sesuai dengan kebiasaan dan barang pinjaman rusak, peminjam harus bertanggun jawab.
b.      Ariyah muqayyadah
‘Ariyah muqayyadah adalah meminjamkan suatu barang yang dibatasi dari segi waktu dan pemanfaatannya, baik disyaratkan pada keduanya atau salah satunya, hukumnya, peminjam harus sedapat mungkin untuk menjaga batasan tersebut, hal ini karena asal dari batas adalah menaati batasan, kecuali ada kesulitan yang menyebabkan peminjam tidak dapat manfaat barang dengan, demikian dibolehkan melanggar batasan tersebut apabila kesulitan untuk memanfaatkannya.[48]
1.      Batasan penggunaan ariyah oleh diri peminjam
Jika mu’ir membatasai hak penggunaan manfaat itu untuk dirinya sendiri dan masyarakat memandang adanya perbedaan tentang pengguaan dalam hal lainnya, seperti mengendarai binatang atau memakai pakaian. Dengan demikian, peminjam tidak boleh mengendarai binatang atau memakai pakaian yang ada.
2.      Pembatasan waktu atau tempat
Jika ariyah dibatasi waktu dan tempat, kemudian peminjam melewati tempat atau manambah waktunya, ia bertanggung jawab atas penambahan tersebut.
3.      Pembatasan ukuran berat dan jenis
Jika yang disyaratkan berat barang atau jenis kemudian ada kelebihan dalam bobot tersebut, ia harus menangung sesuai dengan kelebihannya.
Jika ada perbedaan antara mu’ir (orang yang meminjamkan barang) dan musta’ir (peminjam) tentang lamanya waktu meminjam, berat barang yang dibawa peminjam, atau tempat meminjam, maka pendapat yang harus dimenangkan atau yang diterima adalah pendapat mu’ir, karena dialah yang memberi izin yang memberi untuk mengambil manfaat barang pinjaman tersebut sesuai dengan keinginannya. [49]
3)   Sifat Ariyah
Ulama’ Hanafiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah berpendapat bahwa hak kepemilikan peminjam atas barang adalah hak tidak lazin sebab merupakan kepemilikan yang tidak ada penggantinya. Pada hibah, misalnya bisa saja mu’ir (orang yang meminjamkan) mengambil barang yang dipinjamkannya kapan saja, sebagaimana peminjam dapat mengembalikan kapan saja, baik pinjam-meminjamkan itu bersifat muthalakoh atau muqayyadah kecuali ada sebab-sebab tertentu yang menyebabkan kemodharotan saat pengambilan barang tersebut, kalau dikembalikan pada waktu yang telah ditentukan barang akan rusak atau seperti orang-orang yang meminjam tanah untuk mengubur mayat yang dihormati, maka mu’ir tidak boleh meminta kembali tanah tersebut dan si peminjam pun tidak boleh mengembalikannya sebelum mayat menjadi tanah.
Alasan mereka antara lain bahwa ariyah adalah transaksi yang dibolehkan, sebagaimana sabda Nabi SAW. yaitu:
أَخْبَرَنَا أَحْمَدُ بْنُ الْحَسَنِ بْنِ عَبْدِ الْجَبَّارِ الصُّوفِيُّ، حَدَّثَنَا الْهَيْثَمُ بْنُ خَارِجَةَ، حَدَّثَنَا الْجَرَّاحُ بْنُ مَلِيحٍ الْبَهْرَانِيُّ، حَدَّثَنَا حَاتِمُ بْنُ حُرَيْثٍ الطَّائِيُّ، قَالَ: سَمِعْتُ أَبَا أُمَامَةَ، يَقُولُ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: الْعَارِيَةُ مُؤَدَّاةٌ، وَالْمِنْحَةُ مَرْدُودَةٌ،[50]
Artinya: “ Ahmad bin Hasan bin Abdi al-Jabbar as-Shufiy mengabrkan kapada kami, al-Haitsamu bin Khorijah bercerita kepada kami, Jarroh bin Malih al-Bahroni bercrita kepada kami, Hatim bin Juraits al-Thai’i berkata: saya mendengar aba Umamah berkata: rosulullah shallahu alihi wasallam bersabda: Pemberian itu ditolak sedangkan pinjam meminjam adalah (suatu akad yang dikembalikan)”
Menurut pandapat yang paling masyhur dari ulama’ Malikiyah, mu’ir tidak dapat meminta barang yang dipinjamkannya sebelum peminjam dapat mengambil manfaatnya. Jika ‘ariyah ditempokan pada satu waktu, mu’ir tidak boleh memintanya sebelum habis waktu, akan tetapi, pendapat yang paling unggul menurut Ad-Dardir, dalam kitab syarah al-Kabir adalah Mu’ir dapat meminta barang barang yang dipinjamkannya secara muthlakoh kapanpun ia menghendakinya.[51]
Dari pendapat di atas, jelas bahwa ulama’ Malikiyah membolehkan untuk mengembalikan pinjaman kalau akadnya bersifa umum, adapun jika akad dibatasi oleh syarat, waktu, atau adat, mereka melarangnya.
Pokok perbedaan diantara dua kelompok diatas adalah berkaitan dengan pandangan tentang ‘ariyah, apakah sebagai akad lazim atau ghairu lazim?
5.      Hikmah ariyah
Ariyah adalah termasuk akad tabarru’ (berbuat kebaikan) yang dianjurka oleh agama islam. Sedangkan Hikmah Pinjam (‘ariyah) meminjam tidak jauh berbeda dengan hikmah yang terkandung pada qiradh yaitu:[52]
a.       Sama memberikan kegembiraan terhadap orang yang mendapat kesusahan.
b.      Menghilangkan bencana.
c.       Terjalinnya kasih mengasihi dan sayang menyayangi.
d.      Di sisi Allah yang memberi pinjaman tercatat sebagai pelaku kebaikan dan mendapat pahala dari yang maha besar.
e.       Disenangi oleh sesama manusia serta di akhirat terhindar dari ancaman Allah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pages