PENDAHULUAN
A. Kontek
Penelitian
Tradisi
merupakan suatu hal yang selalu menarik untuk dibicarakan miskipun tradisi
merupakan warisan nenek moyang, menariknya adalah karena tradisi bisa menjadi
sesuatu yang kontemporer (al-Mu’a>s{irah) bilamana dihadirkan dalam
kontek kekinian, dalam kontek pergumulan kalangan NU membaca dan memaknai
dinamika rialitas yang muncul di sekitarnya. Termasuk ketika tradisi dipanggungkan
dalam kontek lokal, nasional maupun global.
Cara
NU memahami dan mendekati tradisinya itulah yang selalu relevan dan senantiasa up
to date (al-Mu’as>{irah) dan kontektual (al-Musa>wiyah).
Itu artinya, tradisi dalam pandangan NU adalah sesuatu yang dinamis (al-Mutat{awwir),
yang bergerak ibarat roda, miski roda dan putarannya tetap itu itu saja, tidak
berubah tapi ia senantiasa bergerak, melangkah tiada henti, menginjak bumi yang
selalu segar dan baru, serta melangkah maju seiring pergerakan dan perputaran
roda tersebut.[1]
Itulah
pengertian dinamisme seperti yang dipahami oleh kalangan Nahd{iyi>n
dari satu kaidah manhaji< yang masyhur” al-Muhafaz}ah ala al-Qadi<mi
al-S}a<leh wa al-Akhz}u bi al-Jadi<di al-As{lah (mempertahankan
sesuatu yang lama yang baik dan mengambil sesuatu yang baru yang kebih baik)
kaidah seperti inilah yang menggerakkan tradisi ibarat roda yang berputar tiada
henti.
Oleh
karena itulah tradisi bergumul dan berputar dengan segenap problem kekinian
yang ditemukan masyarakat pesantren, serta yang dialami oleh komunitas bangsa
ini. Dengan bergumul dan berputar itulah tradisi hadir sebagai subyek.
Kemudian
mengapa tradisi hadir sebagai subyek? Ya, karena tradisi bukan benda mati,
sekedar obyek seperti benda-benda musium atau barang-barang purbakala. Kita
kembali kepada perumpamaan tradisi sebagai sebuah roda, ia tidak sekedar
berputar dan bergerak di tempat. Sekali sebuah roda bergerak, ia akan melangkah
akan mencium bumi segar yang baru, satu putaran, berarti sejengkal tanah baru
pun diraih. Apalagi kalau sepuluh, seratus hingga seribu putaran. Semakin
sering ia berputar dan bergerak, semakin banyak pula tanah baru yang diciumnya,
dan semakin jauh ia melangkah maju kedepan.[2]
Begitulah
cara pandang dan kerja turath (tradisi) yang dipahami oleh kalangan
nahd{iyi<n dan selalu dijadikan bahan referensi dalam mengkaji dan mengambil
istifd{ah dari turath (tradisi), sehingga tradisi islam hususnya
madura selalu berkembang seiring dengan perkembangan zaman. Dalam pembahasan
kali ini yang akan dibahas adalah tradisi slametan, yang mana tradisi
slametan dari awal islam mengalami banyak perubahan yang segnifikan, sesuai
dengan tingkat peradaba dan tingkat pengetahuan manusia.
B.
Alasan Memilih Judul
Penulis
makalah ini terispirasi dengan buku NKRI karya Ahmad Baso yang di dalamnya ada
bab atau bagian yang menjelaskan tentang tradisi slametan yang mana dalam
tradisi itu bermacam-macam dan sangat menarik untuk saya angkat sebagai judul
penelitian, karena tradisi slametan di desa kami dan sekitarnya sangat kental
dengan sarat dan kebudayaannya.
Di
samping itu saya merasa bertanggung jawab untuk ikut andil dalam pelestarian
tradisi tersebut. Di samping itu pula, Saya
sebagai santri dan akademik kampus, berusaha bagaimana untuk mampu
mengkritisi tura<th (tradisi) tanpa harus membuang tradisi, karena turath
(tradisi) merupakan khazanah Islam yang perlu dijaga dan dilestarikan
sebagai kekayaan budaya.
Obsese
kita adalah membongkar nalar tura<th (tradisi) yang telah membelenggu
dan tidak mampu lagi menjawab problem yang dihadapi nya dengan perubahan yang
begitu cepat. Kehendak untuk meninjau ulang tura<th (tradisi) itu
bukan untuk mengganti tura<th (tradisi) yang lalu dengan yang baru,
akan tetapi menhadirkan makna baru yang lebih kontekstual (Mu’a<s}iran Lana<),
dengan kehidupan kita[3]
C.
Fa<’il Manhaji<
Sedangkan
yang menjadi fa<’il Manhaji< dalam tura<th (tradisi) slamatan
ini adalah para kiai pesantren atau kiai laggar di pedesaan yang
merupakan alumni pesantren yang diikuti oleh masyarakat sekitar, dan tradisi
tersebut sudah mengakar sejak dulu, dan sebulum penulis lahir tradisi itu sudah
ada. Menurut kiai Nawawi pengasuh pesantren al-Ma’ruf bahwa tura<th
(tradisi) tersebut merupakan tradisi turun temurun yang di dalamnya berisi
serangkaian do’a-do’a bersama untuk mendoakan orang tertentu agar selamat dan
baik orang tersebut masih hidup atau sudah al-Marhum, kalau orang tersebut
masih hidup didoakan semuga tekkah hajet, sedangkan bagi orang yang
telah meninggal didoakan agar diberi kapungaan tor kajemperen
odik e alam kopur (kebahagiaan dan ketenagan) di dalam kuburnya, dan itu
menurutnya merupakan bentuk belas kasih sayang dari keluarga si-Mayyit,
beliau mengumpamakan bahwa Mayyit yang ada di dalam kubur itu ibaratkan anak yang mondok di suatu
pesantren, yang jelas dia membutuhkan kiriman dari keluarganya, suatu bukti
orang yang meninggal tersebut bila dilupakan tidak di-slamatin atau
tidak disedekahkan terkadang ia menyusup dalam mimpi keluarga si-Mayat
terkadang dimimpikan si-Mayat tersebut telanjang dan terkadang datang
meminta-minta sebagai pengemis.[4]
Dengan
rujukan fenomina tersebut, tadisi slametan dilaksanakan pada waktu
tertentu yang telah disepakati oleh para kiai pesantren atau kiai langgar
seakan-akan slametan tersebut menjadi hal yang harus bagi keluarga si-Mayyit
dan apabila hal itu tidak dilakukan, maka hal tersebut akan menjadi
perbincangan masyarakat sekitar. Informasi ini, penulis rangkum dari hasil
penelitian dan wawancara di akhir bulan Desember di dari desa Larangan Perreng,
Sentol Daya, Guluk-Guluk (Pesantren Annuqayah), dan Kemisan Sumenep.
D. Kerangka
Metodologis
Untuk
mmemperoleh kemudahan di dalam pembahasan ini, penulis perlu membuat rumusan atau
kerangka metodologis pembacaan tura<th (manhaju al-Qira<<’ah
ala al-Tura<th). Dalam kerangka metodologis pembacaan tura<th (tradisi)
ini sebagaimana kaidah manhaji< kalangan nahd}iyi<n yaitu al-Muhafaz}ah
ala al-Qadi<mi al-S}a<leh Wa al-Akhz}u bi al-Jadi<di al-As{lah (mempertahankan
sesuatu yang lama yang baik dan mengambil sesuatu yang baru yang kebih baik),
dan hal ini senada dengan pembacaan tura<th (tradisi) menurut
pemahaman Muhammad Abid al-Ja<biri< disamakan dengan al-Fas}lu (pemisahan)
dan al-Was}lu (berskesinambungan).
Yang
dimaksud dengan al-Fas{lu menurut al-Ja<biri< disini adalah kita
berusaha memisahkan dan mengkritisi tura<th dari kehidupan kita dalam
artian bukan membuang tura<th menlainkan menjadikannya lebih
kontektual dengan kehidupan dan kekinian kita, dengan konsep al-Fas{lu disini
tanpa kita sadari akan menjadikan tura<th kita menjadi terpelihara
dan terjaga kelestariannya, itulah yang dimaksud al-Muha<faz{ah menurut
kalangan nahd{yi>in atau ahlu al-Sunnah wa al-Jama<’ah (aswaja)[5].
Sedangkan
yang dimaksud dengan al-Was{lu dalam konsep al-Ja<biri< disini
adalah setelah melakukan pemisahan, maka diadakan penyambungan kembali sebuah
objek kajian dengan subjeknya atau pembacanya dalam rangka Ja’luhu
Mu’a>s}iran Lana> yaitu menjadikan tura>th lebih up to
date dengan konteks kekinian kita atau meng up grades tura>th dari
model lama dengan bentuk dan model baru sehingga tura>th tersebut
memiliki nuansa baru yang lebih sesuai dan nyaman dengan kehidupan kita, dalam
hal ini menurut kalangan NU di kenal dengan konsep al-Akhz}u bi al-Jadidi
al-a As}lah (yaitu mengambil atau memasukkan hal baru yang baik dalam
tradisi lama sehingga tradisi tersebut menjadi tradisi yang mua>s}iran
lana> }).
Kedua
konsep metodologis pengkajian tura<th (tradisi) di atas (al-Fas{lu
- al-Was{lu atau al-Muha<faz{ah
- al-akhz{) tidak semerta-merta bisa diterapkan melainkan harus
melalui beberapa pendekatan-pendekatan yang dianggap relevan dalam pengkajian tura<th.
Metodologi dalam kajian keilmuan merupakan dasar utama untuk mengetahui
validitas dan akurasi dalam kajian. Karena itu, untuk mengangkat pemikiran dan
kajian tura<th, bagi al-Ja<biri< pelacakan terhadap metodologi
yang digunakan menjadi keniscayaan yang tidak dapat dihindari.
Meskipun
demikian menurut al-Ja<biri< tidak semua jenis metodologis bisa dikatakan
relevan atau tepat untuk diterapkan dalam suatu objek kajian tertentu. Karena
itu, untuk menentukan tujuan dari suatu metodologi adalah bagian yang penting.
Adapun tujuan dari metodologi atas tura<th (tradisi) adalah bagaimana
mewujudkan secara maksimal sikap yang rasionalisme (al-Ma’kuliah) dan
objektifisme (al-Maudu’iyah). Yang dimaksud dengan ‘objektivisme’ (mad}u’iyah)
di sini adalah menjadikan tura<th (tradisi) lebih kontekstual dengan
dirinya (Ja’lu al-Ma’ru<’ Mu’a<s{iran Lana). Dan itu berarti harus
ada upaya pemisahan dari dirinya (al-Fas{lu ani al-Dhat) dan konteks
kekinian[6].
Sedangkan yang dimaksud dengan ‘rasionalitas’ (ma’quliyah) adalah
menjadikan tura<th lebih kontekstual dengan kondisi kekinian. Jika
dirumuskan lebih lanjut, maka tujuan metodologi atas tura<th yang
dimaksud al-Ja<biri< adalah bagaimana memperlakukan tura<th
(tradisi) sebagai sesuatu yang relevan dan kontekstual dengan keberadaannya
sendiri terutama pada tataran problematika teoritisnya, kandungan kognitif, dan
juga substansi ideologisnya.
Misi
metodolgis yang diajukan al-Ja<biri< adalah untuk menjawab pertanyaan
dasar: “bagaimana kita bisa terbebas dari kekangan otoritas tradisi yang
membelenggu kita dan bagaimana pula kita bisa memperlakukan otoritas kita
sendiri terhadapnya.
Dalam
kerangka itu (yaitu al-Fas}lu dan al-Was}lu), al-Ja<biri<
menggunakan tiga metode pendekatan berfikir yaitu, pendekatan strukturalis,
analisis sejarah, dan kritik ideologi. Ketiganya ada dalam konteks pendekatan
‘kritik’. Tiga metode itu digunakan al-Jâbirî untuk dua tujuan yaitu
mengungkapkan objektivisme (maud{u’iyah) dan kesinambungan (al-Istimro<riyah).
Yang dimaksud oleh al-Ja<biri< dengan objektivisme adalah dalam dua
tataran, pertama, hubungan yang berawal dari sang subjek meunuju objek.
Maksudnya, objektivisme dalam konteks ini adalah pemisahan sebuah objek kajian
dari sang subjek, atau dengan bahasa lain, antara teks (yang dibaca) dan si
pembaca teks (fas{lu al-Ma’qr<u’ Ani al-Qa<ri’)[7]. kedua,
relasi yang berangkat dari objek menuju subjek, dan ini digerakkan oleh faktor
objektif di atas.[8]
Objektivisme
dan kesaling hubungan itu mutlak dilakukan dengan dua tujuan, pertama,
untuk merekonstruksi dalam bentuk yang baru dengan pola-pola hubungan yang baru
pula, kedua, untuk menjadikannya kontekstual dan membumi dengan
keberadaan kekinian[9]
terutama pada tingkat pemahaman rasional dan fungsi ideologis-epistemologis
yang diembannya. Ringkasnya, objektivisme itu hendak mengungkapkan konteks
epistemologis, sosiologis, dan historis. Diantara tiga metode itu.
E.
Rumusan Masalah
Untuk membantu bagi penulis dalam pengkajian dan
penganalisisan data yang telah diperoleh dari informant serta data-data yang
telah terhimpun dari hasil observasi dan wawancara, maka penulis perlu membuat
rumusan masalah, agar pembahasan dan penganalisisan lebih terarah, sedang rumusan
masalahnya akan penulis format dengan bentuk pertanyaan sebagaimana berikut:
1.
Bagaimana cara pandang tradisi slametan yang terjadi?
2.
Bagaimana konsep Relevansi tradisi
dengan kontek kekinian?
3.
Bagaimana
pandangan kiai dan masyarakat terhadap perkembangan tradisi tersebut?
F.
Sitematika Pembehasan
Untuk mempermudah kajian ini, termasuk juga dalam
penyusunan pengumpulan data agar pembahasan ini lebih terarah menurut urutan
yang sesuai, maka di sini penulis memakai sistematika pembahasan di bawah ini :
Bab Pertama: terdiri dari delapan sub bab, bab
pertama dengan
pendahuluan yang mengemukakan kontek penelitian. Kedua, alasan
memilih judul.
Ketiga, fa’il
manhaji atau suara pesantren. Kempat kerangka metodologis, dalam
bagian ini menjelaskan cara-cara atau konsep yang dipakai dalam mengkaji dan
menganalisis sebuah tradisi yang akan di teliti. Kelima rumusan
masalah, pada bagian ini merupakan
penegasan apa yang terkandung dalam latar belakang masalah. Keenam, sistematika
pembahasan, berisi tentang struktur dan turunan yang akan dibahas dalam kajian
ini.
Bab kedua : bab kedua pembahasan yang berisi dua
sub bab, sub bab yang pertama definisi tradisi. Sub bab yang
kedua berisi tentang macam-macam
tradisi yang meliputi pengertian dan
model perkembangan tradisi.
Bab ketiga : berisi tentang analisis
tradisi, dalam analisis ini memadukan antara konsep atau kerangka metodologi
yang telah disusun sebelumnya pada bab pertama dengan pembahasan atau
penjabaran tentang tradisi yang telah tertuang pada bab dua.
Bab keempat: berisi
tentang kesimpulan dan rekomendasi. Dalam rekondasiini memaparkan kontribusi
metodologis kajian slametan dalam kontek kekinian kita.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Definis
Tradisi
Sebelum
masuk pada membahasan tradisi slametan
secara luas dan mendalam, terlebih dahulu perlu penulis akan memaparkan definisi
tradisi, slametan dan kiai dalam
kontek pembahasan ini.
Kata Tradisi adalah merupakan terjemahan dari al-Tura<th yang
memiliki arti al-Irthi atau al-Mira<th (yang menunjukkan
tradisi, peradaban dan kebudayaan yang merupakan warisan dari nenek moyang).[10]
Sedangkan dalam kamus besar bahasa Indonisia memiliki arti adat atau kebiasaan
turun-temurun (dari nenek moyang) yg masih dijalankan di masyarakat.[11]
Menurut Dr. Muhammad Abid al-Jabiri tradisi adalah “ sesuatu yang hadir dan menyertai
kekinian kita, yang berasal dari masa lalu kita atau masa lalu orang lain,
ataukah masa lalu tersebut adalah masa yang jauh maupun masa yang dekat.[12]
Tradisi adalah titik temu antara masa lalu dan masa kini. Tradisi bukan masa
lalu yang jauh dari keadaan kita saat ini, tapi masa lalu yang dekat dengan
kekinian kita. Jadi, dalam pandangan al-Ja<biri<, semuanya adalah tura<th
(tradisi), bila berkaitan dengan segala sesuatu yang ada di tengah-tengah
kita dan menyertai kekinian kita, asal itu berasal dari masa lalu.
Sedangkan kata Slamatan adalah Bahasa Madura yang
diadobsi dari Bahasa Indonisia “selamat” yang artinya terhindar dari
bahaya, malapetaka dan bencana,[13] atau diadopsi
dari bahasa Arab salamatun dari asal kata salima-yaslamu yang
memiliki arti selamat, sentosa, ketentraman dan ketenangan.[14]
Sedangkan
kata kiai dalam bahasa Jawa mempunyai pengertian yang luas. Ia berarti
mencirikan benda maupun manusia yang diukur dalam sifat-sifatnya yang istimewa,
sehingga karenanya, sangat dihormati, misalnya, dikatakan sakti bila sang empu
sanggup memasukkan kesaktian pada keris buatannya. Keris-keris semacam itu
dijuluki atau diberi predikat kiai.[15]
Senjata dan benda-benda keramat yang berkekuatan ghaib ini selalu dipuja dan
diwarisi sebagai sumber kekuatan gaib (pusaka), bahkan, turun dan lenyapnya
kekuasaan sosial politik selalu diterangkan dengan hilangnya pusaka atau karena
mengabaikan upacara-upacara yang diperlukan untuk memelihara kesaktian
tersebut.[16]
Sedangkan
dalam bahasa Madura Kiai disebut juga dengan panggilan kyaeh atau
ma’kaeh. Tapi sebutan yang belakangan (ma’kaeh) sudah berkonotasi
pejorative. Karena istilah yang lazim digunakan adalah kyaeh atau kiai.
Tidak sebagaimana istilah Jawa, kiai dalam terminologi bahasa Madura
merupakan istilah khas yang hanya diperuntukkan kepada para ‘alim ‘ulama’, dan
tidak kepada benda pusaka.
Dengan
pengertian tersebut di atas, perlu ditegaskan bahwa yang dimaksud kiai dalam
kajian ini adalah pemimpin Islam yang dipandang masyarakat mempunyai kharisma,
baik sebagai pemimpin pesantren atau bukan. Memang, tidak semua kiai memiliki
pondok pesantren. Ada pula kiai yang mengajarkan agama dengan cara berceramah
dari desa ke desa untuk berfatwa kepada masyarakat luas. Kiai jenis ini,
dijuluki sebagai kiai Teko[17].
Para kiai penceramah ini diibaratkan seperti teko berisi air dan senantiasa
menuangkannya kepada setiap orang yang membutuhkan. Sedangkan julukan kepada
kiai yang memiliki pesantren disebut dengan kiai sumur.[18]
karena karena kiai tersebut merupakan sumber air pengetahuan bagi santrinya
atau masyarakat yang tak akan habis sampai kapanpun.
B.
Kajian tradisi
slametan
Setelah
kita mengenali semua istilah tersebut di atas (tradisi, slametan dan kiai),
kita memulai membaca tradisi yang sedang berlaku di masyrakat Madura. Ketika
kita melakukan pembicaraan tentang tura<th (tradisi) sampai kapanpun
tetap menarik, karena tura<th (tradisi) adalah merupakan produk masa
lalu yang selalu menyertai kita, di hati kita mesti bertanya-tanya” kenapa ada
tradisi seperti ini? Bagaimana sejarahnya? Apa pengaruhnya dalam kehidupan dan
siapa yang menjadi actor pertamakali?, kalau tidak, Minimal hati kita terbesit
untuk megetahui praktek apa saja yang dilakukan di dalamnya.
Kontek
slametan selalu digandengkan dengan kata celaka, bahaya atau bala’, karena
tujuan slametan memang untuk tolak bala’, celaka atau bahaya. Dalam upacara slametan mesti ada
do’a ” allahummah inna nasaluka salamatan fi al-Di<n Wa ‘afiyatan Fi
al-Jasadi wa ziyadatan fi al-Ilmi wa barakatan fi al-Rizqi wa taubatan qabla
al-Mauti wa maghfiratan ba’da al-Maut birahmatika ya al-Hamar Ra<himi<n.
dari do’a tersebut, kita sudah bisa memahami dan menginterpretasi bagaimana
sejarah tradisi slametan, siapa actor (fa’il manhaji) nya dan apa tujuannya.
Secara
persepektif sejarah (al-Tarikhi<yah) slametan sudah ada sejak masa
rasulullah, namun slametan ketika itu sangat identik dengan kata s{ada<qah, dan disamping itu kata slametan selalu dikonotasikan dengan bala’,
celaka atau bahaya, karena memang tujuan yang diharapkan dari s{ada<qah adalah tidak lain hanyalah keselamatan atau terhindar dari
kecelakaan atau bahaya baik di dunia maupun di akhirat. Dalam sebuah hadi<th dinyatakan: al-Du’au
tadfa’u al-Bala<’ (sedekah dapat
menola’ bala’ atau bencana).[19]
Ketika slametan sudah ada pada masa rasulullah, maka
berarti rasulullah lah yang menjadi aktor (fa’il manhaji) nya pertama
kali, jadi tradisi slametan merupakan tradisi yang diwarisi sejak masa
rasulullah, sahabat, tabi’in dan tabi’in trus dilanjutkan oleh para ulama’
sebagai pewaris perjuangan rasulullah. Ketika slametan sudah menjadi sebuah
tradisi yang datang dari masa rasulullah dan masih eksis sampai sekarang tidak
menutup kemungkinan akan mengalami perkembangan seiring dengan perkembangan
zaman, karena tradisi sebagai mana yang disampaikan oleh Ahmad Baso bahwa
tradisi ibaratkan roda yang berputar, setiap kali berputar ia akan mencium bumi
baru yang segar, semakin banyak roda itu bergerak dan berputar, maka semakin
banyak pula bau bumi yang tercium olehnya[20].
Jadi, jika tradisi tersebut semakin lama berbaur dan akrap dengan kita, maka
semakin banyak pula
perubahan dan perkembangan tradisi tersebut.
C.
Model dan perkembangan Tradisi slametan
Perkembangan
serta model tradisi yang masih akrab dan berbaur dengan kita, lebih-lebih
dikalangan kaum nahd{iyi<n atau Ahlu al-Sunnah Wa al-Jama<’ah (aswaja),
ialah tradisi slametan. Alasan, kenapa Tradisi slametan dengan model yang
bermacam-macam samapai sekarang masih eksis dan lebih kontektual dengan
kekinian kita?, karena tradisi tersebut merupakan tradisi warisan turun-temurun
dan merupakan tanggung jawab kaum UN atas kelestariannya, miskipun dalam
tradisi slametan dan model perkembangannya ini terdapat
perbincangan-perbincangan yang menyimpang menurut mant set pemikiran
ahlu al-Sunnah Wa al-Jama<’ah. diantara pandangan miring terhadap tradisi
slametan dan modelnya adalah bahwa tradisi tersebut bid’ah, tahayul dan
khurafat dan hal tersebut merupakan tradisi hindu.
Kalau
kemudian tradisi slametan dan model-modelnya adalah dianggap bid’ah terus
bagaimana dengan menggunakan kendaraan bermotor, hand phone, smart phone laptop
dan LCD proyektor dan itu semua tidak ada pada masa rarulullah apalagi
benda-benda tersebut adalah merupakan benda buatan orang-orang non muslim yang
marak dipergunakan saat ini? Kemudian jawabannya adalah: semua hal baru yang
tidak ada pada masa rasulullah dan tidak ada unsur keharaman yang dilarangan
oleh agama, maka hal tersebut termasuk bid’ah hasanah yang sah-sah saja
dilakukan, bahkan hal tersebut akan menjadi hal yang wajib dilakukan jika
dengan ketidak adaannya menjadi masalah bagi terlaksananya sesuatu yang fardu
(yang mesti dilakukan).
Jadi
tidak semua yang baru adalah salah dan tidak boleh diberlakukan, justru kita
sebagai orang-orang yang banyak tau tentang agama harus bisa mempertahankan dan
mengembangkan tradisi lama bahkan harus mampu membuat atau memasukkan tradisi
baru ketradisi lama yang mana tradisi baru tersebut dapat meningkatkan kualitas
tradisi dan keagamaan umat islam, atau merenovasi tradisi lama yang dianggap kurang
baik dan relevan dengan kondisi kekinian kita sebagai umat islam sehingga
menjadi tradisi yang up to date (mu’a<s{iran lana) dan
kontektual dengan kondisi kita sekarang.
Kalau
kita mengacu pada perkembangan tradisi kita yang berlaku saat ini, seperti halnya
tradisi slametan, aresan, ompangan, urunan dan lain sebagainya. Satu diantara
tradisi yang ada di masyarakat yang selalu up to date adalah tradisi
slametan, dari zaman dahulu sampai sekarang perkembangan tradisi slametan
mencapai lebih dari 10 tradisi, diantaranya: Rebbeen, Rokatan, Rasolan,
Jalanian, Mamacah, Molang Are, Nyabek Katana (turun tanah), aresan, Kamratan
atau kompolan dan tradisi Slametan hari kematian, molodan dan
lain sebagainya.[21]
namun menurut penelitian Ahmad Baso di akhir abad 19 di daerah Banyumas hingga
Kediri, tradisi slametan disimpelkan atau dirangkum menjadi tiga jenis slametan, yaitu: Pertama
slametan yang diselenggarakan pada momen-momen keagamaan tertentu,
misalnya slametan atau sedekah ba’da haji, sedekah maulid,
sedekah ba’da syawal dan maleman di bulan Ramadhan. Kedua slametan
yang digelar dalam kesempatan seseorang menjalani tahap-tahap siklus kehidupan
manusia, seperti slametan kelahiran, slametan penganten atau walimah,
slametan mitoni, slametan brokohan, puput puser, dan sebagainya. Ketiga
slametan untuk kepentingan menjaga harmoni kehidupan manusia dalam
kehidupan alam sekitar, termasuk menjaga sumber-sumber air, hutan dan tanah,
seperti sedekah bumi, nyadran, labuhan dan bersih desa.[22]
Dari
bebarapa macam tradisi yang telah penulis sebutkan di atas tidak munkin penulis
bahas kesemuanya, namun penulis akan membahas dua tradisi, yaitu tradisi
slametan hari kematian dan slametan hari kelahiran Nabi Muhammad SAW (kata oang
Madura molotan).
1.
Tradisi slametan hari kematian
Sudah
menjadi tradisi orang Madura, kalau ada keluarga yang meninggal dunia, malam
harinya ada tamu-tamu yang bersilaturrahim (hal bertamu dlam kondisi tersebut
diistilahkan oleh orang Madura dengan lalabet), baik tetangga dekat
maupun jauh. Mereka ikut berbela sungkawa atas segala musibah yang baru saja
(kemetian) menimpa, sambil medoakan orang yang meninggal maupun orang yang
ditinggalkan. teristimiwa bagi masyarakat yang beragama NU (baca NKRI),
disamping bersiap menerima tamu, sanak keluarga, haidai tolan dan kerabat
dekat, pada hari pertama, kedua dan ketujuh mereka mengadakan bacaan tahlilan
dan do’a bersama yang dikirimkan atau dihadiahkan kepada orang yang sudah
meninggal dunia, soal ada makanan atau tidak, bukan hal penting, tapi
pemanfaatan pertemuan majelis silaturrahim itu akan terasa lebih bernuansa dan
berguna jika diisi dengan zikir. Sayang bagi orang-orang awam yang kebetulan dari kelurga miskin,
mereka memandang sajian makanan sebagai keharusan untuk disajikan kepada para
tamu, padahal subtansi bacaan tahlil dan doa adalah menambah bekal bagi si
mayit.
Dalam
tradisi slametan hari kematian itu ada tahapan-tahapan hari tertentu yang mana
tahapan tersebut sudah menjadi tradisi yang lengket dengan kehidupan keagamaan
masyarakat Madura, yaitu: slametan hari pertama, loktellok (slametan hari
ke-3), tokpettok (slametan hari ke-7), pakpolo (slametan hari ke-40), nyatos
(slametan hari ke-100), nyibuh (slametan hari ke-1000) dan naun atau haul. Dari
ketujuh jenis macam tradisi slametan hari kematian tersebut memiliki kesamaan
dan perbedaan, baik dalam sigi bacaan maupun dari segi partisipasi masyarakat.
a. Slametan
hari ke- 1/ 3/ 7/ 40/ 100 dan 1000
Hari
Pertama
Sebelum membahas ke enam tradisi tersebut di atas,
terlebih dahulu penulis akan membahas slametan yang mendahului slametan
lektellok, yaitu slamatan pas dihari kematian (hari pertama) sampai
dua hari pasca kematian, slametan tersebut lebih dikenal dengan istilah
“ lalabet ”. tradisi lalabet adalah slametan yang
dilakukan dalam rangka mendo’akan keberangkatan si-mayyit menuju sang
pencipta (Allah) agar si-mayyit berangkat dengan selamat dan mendapatkan
tempat yang nyaman di sisi Allah dengan amal kebaikan yang dilakukan selama dia
masih hidup di dunia dan dengan harapan juga semua amal jeleknya diampuni oleh
Allah.
Prosesi lalabet
atau alabet pas di hari kematian ini memiliki beberapa makna dan tujuan pertama
mendo’akan si-mayyit agar pulang dengan selamat dengan dibacakan
yasin bersama. Pembacaan yasin bersama tersebut dilakukan sebelum penguburan mayyit
oleh kaum perempuan yang dipandu langsung oleh nyai atau istri kiai. sedangkan
kaum laki-laki mempersiapkan segalanya yang berkaitan dengan penguburan,
seperti menyiapkan air mandi, menyiapkan kain kafan dan penggalian liang
lahatnya sampai pada prosesi penguburan selesai.
Setelah
pasca prosesi penguburan sampai pada hari kedua dari prosesi tersebut dilakukan
slametan dengan bacaan yasin dan tahlil bersama yang dilakukan oleh kaum
laki-laki yang dipandu oleh kiai, sedangkan kaum perempuan di hari tersebut
sampai selanjutnya sibuk di dapur dalam rangka menyiapkan hidangan atau suguhan
bagi para pelayat pria yang membacakan yasin untuk si-mayat tersebut.
Sedangkan waktu pembacan yasin tersebut adalah di waktu malam hari kecuali hari
kematian tersebut jatuh di bulan Ramadhan, namun jika kematian tersebut jatuh
di bulan Ramadha<n, maka waktu pelaksanaan bacaan yasin dan do’a bersama
tersebut diletakkan pada sore hari, yaitu setelah s}alat as}ar yang
diperkirakan selesainya bacan yasin tersebut minimal lima menit sebelum maghrib
atau sebelum buka puasa. Kedua membantu menenangkan dan menghibur
pikiran keluarga si-mayyit atas pulangnya salah satu keluarganya untuk
menghadap sang penciptanya (Allah). Yang Ketiga berbela sungkawa
atas kematian salah satu keluarganya, dan bagi kaum perempuan yang alalabet itu
biasanya membawa beras atas dasar
sedekah.
Hari ke-3/
7/ 40/ 100 dan 1000
Tradisi
slametan loktellok, tokpettok, pakpolo, nyatos, dan nyibuh. slametan ini
sama persis dengan slmetan dihari pertama dan kedua yaitu sama-sama
upacara pembacaan yasin, tahlilan dan do’a bersama, namun bedanya slametan
loktellok, tokpettok, pakpolo, nyatos, dan nyibuh ini terletak pada bacaan-bacaanya dan jumlah
peserta yang terlibat di dalamnya, serta peminpin bacaan-bacaan tersebut.
Peminpin bacaan-bacaan dan do’a-do’a bersama pada saat kematian sebelum
penguburan mayyit adalah kaum perempuan yang dipinpin oleh nyai yang di
ikuti oleh kaum perempuan lainnya., sedangkan slametan pada hari ke-1,
3, 40, dan selanjutnya adalah dipinpin oleh kiayi atau ustadz.
Kemudian,
menurut K. Nawawi[23]
Tahapan demi tahapan itu dilakukan seakan-akan menjadi sebuah keharusan yang
tak tergantikan. terutama pada tahapan ke-7 hari, 40 hari, 100 hari, 1000 hari dan setahun (haul).
Tahapan itu muncul, pertama karena berangkat dari keinginan menghibur
pada kelurga yang ditinggalkan sekaligus ingin mengambil I’tiba<r
bahwa kita segera akan menyusul (mati) dikemudian hari. Kemudian alasan kedua merujuk pada
hadi<th Nabi yang menyatakan:
حدثنا
أبو بكر بن مالك، حدثنا عبد الله بن أحمد بن حنبل، حدثنا أبي، حدثنا هاشم بن
القاسم، حدثنا الأشجعي، عن سفيان، قال: قال طاوس: «إن الموتى يفتنون في
قبورهم سبعا، فكانوا يستحبون أن يطعم عنهم تلك الأيام. – الى ان قال – عن عبيد الله ابن عمر قال: يفتن
رجلان مؤمن ومنافق فاما المؤمن فيقتن سببعا واما المنافق فيفتن اربعين صباحا.
Abu bakar bin Malik mercerita kepada kami, Ubaidillah bin
Ahmad bin Hambal bercerita kepada kami, bapakku bercerita kepadaku, Hasyim bin
Qa<sim bercerita kepada kami, al-Asyja’i dari abu Sufyan berkata kepada
kami, bahwa T{awus berkata” sesunggunya imam T{awus berkata: seorang yang mati akan memperoleh
ujian dari Allah di dalam kuburnya selama tujuh hari. Untuk itu, sebaiknya
mereka yang masih hidup mengadakan jamuan makan (sedekah) untuknya selama
hari-hari tersebut. Sampai kata-kata: dari sahabat Ubaidillah ibnu Umair, dia
berkata: seorang mukmin dan seorang munafik sama-sama akan memperoleh ujian di
dalam kubur, bagi seorang yang mukmin akan memperoleh ujian selama 7 hari,
sedang seorang munafik selama 40 hari di waktu pagi. [24]
Dari hadi<th di atas menurut K.
Nawawi lahirlah tradisi slametan tersebut dengan bacaan al-Qur’a<n dan
do’a-do’a yang telah diatur oleh ulama>’ salaf dan diikuti oleh para
ulama>’ khalaf sampai sekarang, karena dengan bacaan al-Qur’a<n dan
do’a yang dihususkan kepada si-mayyit,
maka si-mayyit akan merasakan ketenangan di alam kuburnya. Sedangkan
bacaan yang dibaca pada slametan ditahapan hari-hari tersebut dan
berlaku di kalangan masyarakat adalah sebagaimana kolom berikut:
No
|
Jenis Tradisi
|
Jumlah Peserta
|
Bacaan
|
ket
|
1
|
Slametan pas hari kematian
|
20
– 30 – an
|
Yasin & do’a bersama
|
Semuanya perempuan yang dipandu oleh
nyai
|
2
|
Slametan hari pertama dan kedua
|
20
– 25 – an
|
Yasin & do’a bersama
|
Semuanya laki-laki yang dipandu oleh
kiayi
|
3
|
Slametan loktellok
|
50
- 60 – an
|
Yasin, Tahlilan & do’a bersama
|
Semuanya laki-laki yang dipandu oleh
kiayi
|
4
|
Slametn tokpettok
|
70
– 100 – an
|
Yasin, Tahlilan & do’a bersama
|
Semuanya laki-laki yang dipandu oleh
kiayi
|
5
|
Slametan pakpolo
|
10
- 30 – an
|
Yasin & do’a bersama
|
Semuanya laki-laki yang dipandu oleh
kiayi
|
6
|
Slametan nyatos
|
10
– 30 – an
|
Yasin & do’a bersama
|
Semuanya laki-laki yang dipandu oleh
kiayi
|
7
|
Slametan nyibuh
|
10
- 30 – an
|
Yasin & do’a bersama
|
Semuanya laki-laki yang dipandu oleh
kiayi
|
8
|
Slametan naon/ haul/ ulang tahun
|
10
– 40 – an
|
Yasin, Tahlilan & do’a bersama
|
Semuanya laki-laki yang dipandu oleh
kiayi
|
Kata haul berasal dari bahasa arab, artinya setahun. Haul
adalah upacara selamatan yang dilakukan ketika genap satu tahun dalam rangka
untuk memperingati hari kematian, slametan itu berlaku bagi keluarga
siapa saja, tidak terbatas pada orang-orang NU saja. Akan tetapi bagi
orang-orang NU, haul terasa lebih bernuansa agamis ketimbang haul yang
diselenggarakan oleh orang-orang non NU, karena haul adalah tradisi NU,
sedangkan guna memperingati haul (hari ulang tahun) tersebut bukan untuk
meratapi melainkan hanya untuk mengambil i’tiba<r dan bahan
muha>sabah bagi orang-orang yang mengikuti upacara slametan tersebut.
Dalam slametan haul, bacaan-bacaan yang sering
dibaca adalah sama seperti bacaan-bacaan yang di baca pada slametan
loktellok, tokpettok, pakpolo, nyatos
dan nyibuh yaitu bacaan surah yasin, tahlilan dan do’a -
do’a bersama. miskipun bacaan-bacaannya sama, tetapi memiliki nuansa yang
berbeda dengan slametan loktellok, tokpettok dan semacamnya, mungkin
karena slametan atau peringatan haul tersebut memiliki jarak yang jauh
dari pas hari kematian, sehingga acara haul lebih terasa kumpulan silaturrahmi
antara sanak keluarga dekat maupun jauh dan handai tolan.
2.
Tradisi Slametan Maulid Nabi
Tradisi slametan
maulid Nabi adalah
tradisi memperingati hari
kelahiran nabi Muhammad SAW. Yang dirayakan tiap tanggal 12 Robi’u al-Awal. Tradisi ini ada yang mengatakan
tradisi bid’ah dan haram dilakukan, karena tradisi tersebut tidak ada pada masa nabi, namun menurut penulis makalah atau kajian ini sangat tidak
sepakat dengan tuduhan tersebut, karena miskipun hal ini secara formal tidak ada,
namun secara praktek non formal telah ada dan bahkan Nabi sendiripun selalu memperingati hari
kelahirannya sendiri tiap seminngu sekali dengan melakuan puasa hari senin dan
kamis yang mana menurut sabdanya:
حدثنا موسى بن إسماعيل، حدثنا
مهدي، حدثنا غيلان، عن عبد الله بن معبد الزماني، عن أبي قتادة، بهذا الحديث. زاد
قال: يا رسول الله، أرأيت صوم يوم الاثنين، ويوم الخميس قال فيه: ولدت وفيه أنزل
علي القرآن.
Musa bin Isma<’il bercerita kepada kami, Mahdi bercerita
kepada kami, ghailan dari Abdullah bin Ma’bad al-Zamanai< dari abi Qatadah
menceritakan tentan hadi>th ini, berkata: Ya Rasulullah tahukan tentang
puasa hari senin dan kamis? Kemudian rasulullah menjawab: di hari itu adalah
saya dilahirkan dan diturunkannya al-Qura<’an kepadaku[26]
Dalam
riwayat yang lain dijelaskan bahwa rasulullah merasa senang berpuasa
pada dua hari itu (hari senin dan kamis), karena hari senin adalah hari
dilahirkannya
rasulullah, dan hari kamis adalah hari diangkatnya amal perbuatan. Hadi<th di atas secara tidak
langsung mengisyaratkan bahwa maulid Nabi sudah ada pada masa rasulullah, dan
itu merupakan tuntunan dan sekaligus landasan kita bermaulid yang sepantasnya
kita pegan erat-erat.
Disitulan
cara nalar berfikir kita sebagai penganut agana NU yang berlandaskan pada
perkataan atau ‘iba>rah “ se
sekken, nekgu’,noro’ lalampanah kanjeng Nabi tor pakkompakkeh para sahabat. jadi
dengan nalar seperti itu dapat mementahkan argumentasi dan sudut pandang yang
salah terhadap orang yang mengatakan bahwa perayaan maulid itu haram, bid’ah
yang selama ini menjadi tradisi kita orang-orang Aswa>ja.
Acara peringatan hari kelahiran nabi muhammad (maulid)
adalah merupakan salah satu cara kita untuk mengenang
hari kelahiran beliau, sedangkan bacaan yang dibaca pada perayaan maulid nabi Muhammad SAW adalah pembacaan barzenji, diba’i atau al-Burdah atau
dalam istilah orang madura atau pesantren dikenal dengan molod diba’i.
Barzanji dan Diba’I adalah karya tulis seni sastra yang isinya bertutur tentang
kehidupan nabi Muhammad, mencakup
silsilah keturunannya, masa kanak-kanak, remaja, pemuda, hingga diangkat
menjadi rasu>l. Karya itu juga mengisahkan sifat-sifat
mulia yang dimiliki nabi Muhammad SAW, serta berbagai peristiwa untuk dijadikan
teladan bagi umat manusia. Sedangkan nama Barzanji dan Diba’I diambil dari nama
pengarang naskah tersebut, yaitu al-Imam al-Jalil Abdurrahman al-Diba’i.
Perayaan
maulid nabi Muhammad SAW. ada dua macam, yaitu perayaan maulid kubro>
dan perayaan maulid sughra>.
a.
Slametan maulid
Nabi Kubro<
Perayaan maulid kubro> adalah perayaan yang
dilaksanakan pada tanggal 12 Rabi’ul Awal yang mana pada perayaan maulid ini
semua masyarakat berkumpul di masjid dengan membacakan barzanji bersama yang
dipandu oleh kiayi atau ta’mi<r masjid atau takmir mus}allah,
pada momen ini tidak hanya acara pembacaan diba’I saja melainkan acara
taus}iyah ke – maulidan yang diisi oleh ulama>’ atau penceramah yang telah
di persiapkan oleh ta’mi<r masjid.
Dalam perayaan maulid kubro> ini semua macam
buah-buahan yang ada di masa itu dihadirkan semua, menurut K. Muhammad Hasan[27] alasan mengapa
semua macam buah-buahan itu dihadirkan, karena semua buah-buahan itu merasa
bangga dan senang atas kelahira rasulullah, menurut sejarah, dulu pada saat
nabi Muhammad lahir semua macam pepohonan yang tidak berbuah atau berbuah namun
masih belum matang pada saat itu juga berbuah dan menjadi matang, karena ingin
menyambut kelahiran beliau, jadi dengan alasan seperti itulah setiap acara
maulid mesti ada buah-buahan yang disiapkan oleh masyarakat atau s}ahibu
al-Hajah acara maulid tersebut.
Buah-buahan yang dihadirkan pada saat perayaan maulid kubro>
tersebut di letakkan di tengah-tengah masjid atau mus}alla, kemudian
buah-buahan itu dikelilingi oleh orang-orang yang hadir pada saat itu, setelah
acara hampir selesai (yakni hampir pembacaan do’a maulid) buah-buahan teresebut
dibagikan kepada setiap orang yang hadir pada acara slametan maulid tersebut
sebagai berkat (le olle). Le olle atau berkat
tersebut menjadi sebuah kebahagiaan tersendiri oleh masyarakat lebih-lebih
kepada anak-anak, karena makanan atau buah-buahan hasil dari slametan maulid
diyakini membawa berkah dan kebaikan sehingga ada yang mengatakan taikai
buah-buahan yang melekat pada buah tersebut bisa dijadikan jimat atau
penangkal musibah dengan izin Allah.
b.
Slametan maulid
Nabi S{ughra<
Slametan atau perayaan maulid sughra> adalah
perayaan yang dilaksanakan tiap malam mulai malam pertama (tanggal satu)
Rabi’ul Awal sampai malam terahir (tanggal 29/30), perayaan maulid sughra>
ini lebih meriah dan spegtakuler, kerana berbagai macam format dan model acara yang diadakan oleh pemuda
islam atau santri, diantara format dan mudel acara maulid tersebut antara lain:
Molod dengan mudel aresan sudah menjadi
tradisi masyarakat desa setiap bulan Rabi’u al-Awal mulai hari pertama sampai
hari terahir[29], aresan molod tersebut merupakan
sebuah penghormatan masyarakan atas kelahiran Nabi tercintanya yaitu nabi
Muhammad SAW sebagai Nabi rahmatan li al-‘Alami>n, tradisi aresan molod
tersebut dipelopori oleh kiayi langger atau kiayi masjid yang ada di
desa-desa hususnya dua desa di kacamatan pragaan sumenep yaitu desa sentol daya
dan Lamperreng (larangan perreng).[30]jadi
setiap malam pada bulan itu desa-desa ramai dengan suara sond syistem dan
speker yang melantunkan syair-syair atau s}alawat barzanji, gema s}alawat
tersebut tidak hanya di lantunkan oleh kelompok-kelompok aresan molod
melainkan oleh setiap rumah yang
melakukan hajatan molod. Hajatan molod itu dilakukan oleh masyarakat yang tidak
tergabung dalam aresan molod, hal itu bisa dikatakan setiap malam, karena
seluruh pelosok desa disana sini tiap malamnya tidak sepi dengan lantunan
s}alawatan diba’i.
Tradisi
aresan molod ini sangat meriah, karena semangat dan antosias masyarakat dalam
acara tersebut sangat tinggi sehingga seakan akan tidak menemukan titik
kejenuhan miskipun mereka bermaulid tiap malam secara bergiliran dan dengan
hidangan ala kadarnya. Sedangkan jumlah peserta yang tergabung dalam aresan
molod ini tergantung julah hari dalam sebulan
tersebut (yaitu kadang 29/28/ atau 30), karena jika jumlah peserta lebih
banyak, maka yang jelas hal tersebut menentukan banyaknya giliran aresan molod
tiap malamnya.
Hajatan molod tak kalah meriahnya dibandingkan
dengan aresan molod, karena di samping hidangannya yang istimiwa, jumlah
undangannya sangat banyak, biasanya
melebihi jumlah 30 undangan bahkan ada yang nyampek 50-100 undangan
2.
Pekan maulidiyah
Pekan
maulidiyah ini merupakan paket acara perlombaan yang diselenggarakan oleh para
siswa atau santri, perlombaan yang diselenggarakan tersebut disamping untuk mengevaluasi hasil
kegiatan belajar selama satu semester juga mengenang sejarah lahirnya islam dan
ilmu pengetahuan yang ditandai dengan lahirnya nabi Muhammad SAW. paket
perlombaan tersebut sudah menjadi agenda husus atau agenda rutinitas tahunan osis
siswa madrasah formal dan non formal.
Diantara
paket lombanya adalah seni s}alawat barzanji (s}alawat diba’ie) dan diskusi serta paket perlombaan lain yang
pada intinya semua paket perlombaan tersebut mengarah pada tema awal yaitu
memperingati hari kelahiran nabi Muhammad SAW.
BAB III
ANALISIS
A. Analisis
tradisi
Untuk
mendapatkan pemahaman dan ilmu baru dari kajian tradisi slametan ini perlu
penulis mengadakan penganalisisan dan telaah ulang terhadap data-data dengan
menggunakan metodologi yang telah terkumpul dan tersajikan pada bab pertama dan
kedua. Penganalisisan dalam sebuah kajian ini sangat penting adanya, karena
dengannya arah dan kajian tradisi Madura slametan akan terlihat dengan
jelas dan baik. Dengan demikian penulis akan segera merumuskan penganalisisan
yang telah penulis rancang pada bab sebelumnya.
Dalam konsep
dan metodologis kajian tradisi (tura>th), Dr. Muhammad Abid
al-Ja>biri> menawarkan dua mitodologis yang dianggap relevan menurutnya
yaitu al-Fas}lu dengan al-Waslu, dengan beberapa pendekatan yang
dilakukannya, konsep ini senada dengan konsep pengkajian tradisi yang
berlaku dikalangan ahlu al-Sunnah wa al-Jama>’ah, yaitu al-Muhafaz}ah ala
al-Qadi<mi al-S}a<leh Wa al-Akhz}u bi al-Jadi<di al-As{lah (mempertahankan
sesuatu yang lama yang baik dan mengambil sesuatu yang baru yang kebih baik),
dari dua konsep metodologis tersebut barusan, penulis akan menelaah serta
menjelaskan secara lebih mendalam akan dua tradisi tersebut (yaitu tradisi
selametan hari kematian dan tradisi molod atau maulid).
1.
Tradisi slametan dalam konsep metodologi al-Fas}lu dan
al-Was}lu.
Sebagaimana
yang telah dijelaskan pada bab sebelumnya (yakni bab I) bahwa, tradisi dari
awal munculnya sampai sekarang mengalami banyak perkembangan seiring dengan
perkembangan zaman dan intelektualitas masyarakat dalam menyikapi tradisi
sebagai warisan nenek moyang nya. Perkembangan tradisi di ibaratkan perputaran
roda yang mana setiap putarannya mesti melewati tanah yang baru dan akan
melewati tanah yang baru pula, perputaran dan perpindahan roda kelangkah yang
selanjutnya mesti ada hal yang baru dan berbeda yang dialami oleh roda
tersebut, terkadang tanjakan, turunan, lurus, belokan dan terkadang juga tanah
lembut dan bebatuan.
Demikian
juga tradisi slametan dari awal munculnya sampai sekarang mengalami banyak
perkembangan, yang semula tradisi slametan tersebut bermula dari sedekah sampai
berkembang menjadi slametan yang bervareatif sebagaimana yang telah kita
saksikan dan lakukan bersama dalam kehidupan kita saat ini. Miskipun
perkembangan tradisi slametan sangat bervariatif, namun tidak akan terlepas
pada inti awalnya yaitu sedekah. Sedangkan inti yang ingin dicapai dalam
sedekah tersebut adalah keselamatan.
Ketika
melihat perkembangan tradisi slametan yang bevariatif tersebut dari sudut
pandang al-Jabi>ri} dan kalangan ahlu al-Sunnah Wa al-Wama’ah dengan konsep
yang ditawarkannnya, maka akan melahirkan nuansa baru dan ilmu baru dalam
perjalanan kita dengan tradisi. Dari bervariatifnya traidi slametan tersebut
penulis akan mengambil dua sampel atau contoh, yaitu tradisi slametan
hari kematian dan molod (maulid Nabi Muhammad) dengan penjelasan sebagai
berikut:
a)
Slametan hari kematian
Untuk
menganalisis adanya tradisi hari kematian tersebut agar lebih up to date
(mu’a>s}iran lana) diperlukan adanya analisis tradisi. Dalam
penganalisisan tradisi tersebut penulis melakukan tiga pendekatan, yaitu
pendekatan analisi strukturalis, historis dan idiologis.
Metode
Strukturalis Artinya dalam mengkaji sebuah tradisi kita harus berangkat dari
tek atau tradisi asli sebagai mana adanya, tradisi slametan hari kematian pada
asalnya tradisi do’a bersama dan sebulum doa bersama biasanya diawali dengan
pembacaan al-Qur’a>n atau tahlil. Pada masa rasulullah tidak ada strutktur
acara do’a - do’a yang jelas dari rasulallah, namu rasulullah memerintahkan
kepada umatnya untuk menbacakan yasin dan tahlil kepada orang yang meningal
atau dalam keadaan sakaratul maut.
Sedangkan
konsep atau struktur bacaan tahlil pada masa rasulullah dan sahabat tidak ada,
sehingga kemudian para ulama’ NU atau Aswaja menyusun bacaan-bacaan yang harus
ada dalam tahlilan, menurut kesepakan ulama’ NU atau Aswaja Struktur tahlil
yang berlaku dikalangan nahdliyin adalah pertama baca fatihah dihususkan
kepada nabi, sahabat, tabiin, para ulama’ pendahulu dan kepada orang yang
dituju, kedua membaca surat-surat pendek, yaitu surat al-ikhlas, surat
al-falaq, surat an-nas, surat al-baqarah ayat satu sampai ayat lima, surat
al-baqarah ayat 163, al-baqarah ayat
255, al-baqarah ayat 284 sampai dengan ayat286, surat al-ahzab ayat 33, surat
ahzab ayat 56, dan sela-sela bacaan antara shalawat, istighfar, tahlil, dan
tasbih. Kemudian ditutup dengan pembacaan do’a.
Sedangkan
bacaan do’a dalam tahlil adalah sebagaimana berikut:
بسم
الله الرحمن الرحيم الحمد لله رب العالمين حمدا يوافي نعمه ويكافئ مزيده اللهم صل
وسلم على سيدنا محمد وعلى اله وصحبه أجمعين اللهم أثبنا بمحض فضلك وجودك وكرمك على
ما قرئنا وما كبرنا وما هللنا ومااستغفرنا وما سبحنا وما تصدقنا وما صلينا على
نبينا محمد ﷺ وأله وصحبه
أجمعين وأوصل أللهم ذلك الثواب إلى حضرة سيدنا رسول الله ﷺ وجميع إخوانه
من الأنبياء والمرسلين وجميع عباد الله الصالحين وإلى والدينا و لأولادنا وإخواننا
وأخواتنا وأعمامنا وعماتنا وأخوالنا وخالاتنا ومشايخنا وأصحابنا وأزواجنا ومحابنا
وأهل ودنا وود أبائنا وذوى الحقوق علينا ومن أوصانا بالدعاء ومن أحسن إلينا ومن
ظلمناه أوأسأنا إليه ومن أحاطت به شفقة قلوبنا ولجميع المسلمين والمسلمات
والمؤمنين والمؤمنات الأحياء منهم والأموات حصوصا إلى روح من اجتمعنا بسببه وتلونا
القرأن لأجله المرحوم (المرحومة) (..بن/بنت..) اللهم اجعله فداء له من النار
وفكاكا له من النار وحجابا له من النار وعتقا له من النار ونجاة له من النار.
اللهم أنزل في قبره نورا ورحمة داءمة إلى يوم القيامة اللهم ادخله الجنة وأعلى
درجاته فيها وارزقه مرافقة نبيك محمد ﷺ في أعلى الجنة ونعمه بكمال لذة النظر إلى وجهك الكريم.
اللهم اغفرلنا ولهم وارحمهم وإياهم في دار كرامتك ومستقر رحمتك مع عبادك الصالحين
وحزبك المعظمين. ربنا اتنا في الدنيا حسنة وفى الأخرة حسنة وقنا عذاب النار، ربنا
تقبل منا إنك أنت السميع العليم وتب علينا إنك أنت التواب الرحيم وصلى الله على
سيدنا محمد وعلى اله وصحبه وسلم أجمعين والحمد لله رب العالمين ﺁمين.[31]
Struktur
bacaan tahlil dan do’a nya yang tersebut
di atas sudah menjadi tradisi kaum nahdliyin atau ahlu al-Sunnah wal
jama>’ah (aswaja), dan bacaan tersebut sudah menjadi idiologi mereka, seakan-akan
jika tidak dibacakan bacaan tersebut kurang afdhal (utama). Sedangkan prosesi
pembacaan tahlil atau slametan dengan
tahlil di atas berlaku secara tradisional tanpa ada unsur muderensasi, karena
tradisi seperti yang di unkap pada bab pertama adalah tradisi ibarat roda yang
berputar seiring dengan perputaran waktu dalam artian tradisi tersebut selalu
mengalami perkembangan seiring dengan perkembangan zaman, sehingga menyebabkan
tradisi slametan ikut menjadi modern juga.
Sedangkan
hal-hal baru yang tidak ada pada masa rasulullah adalah pertama adanya
tahapan-tahapan slametan dihari kematian, seperti slametan loktellok,
pakpolo, nyatos, nyibuh naun atau haul, sehingga slametan tersebut
terasa menjadi sistematis dan terpelihara kelestariannya, kedua adanya
pengeras suara seperti sond sistem mini. Adanya dua hal yang baru yang masuk
pada tradisi lama (slametan) tersebut tidak merusak eksistensi tradisi
slametan, karena kiayi sebagai fa’il manhaji tetap bersikokoh dengan prinsip
ahlu sunnah wal jamaah yaitu al-muhafadzah ala al-qadimi al-shaleh wa
al-akhdzu bi al-jadidi al-ashlah (mempertahankan sesuatu yang lama yang
baik dan mengambil sesuatu yang baru yang kebih baik), bahkan tradisi slametan
tersebut tanpa adanya sond sistem kurang kondusif dan meyakinkan, karena
pesatnya peserta slametan yang datang dari berbagai daerah dan berkumpul dalam
satu tempat sehingga menyebabkan bacaan tahlil menggema dan imam tahlil sulit
mengatur batas batas dalam bacaannya, sehingga adanya sond system dalam acara
slametan teraebut menjadi sebuah keharusa.
b)
Slametan Molod
Setelah data
terkumpul tentang molod dari para informant dan actor Tradisi, maka penulis
melakukan penganalisisan dengan motodologis analisis yang telah dijabarkan pada
bab kedua yaitu al-Fas}lu dan al-Was}lu dengan pendekaan strukturalis, historis
dan idiologis. Tradisi maulid nabi Muhammad SAW. Sebagai mana yang telah
dibahas pada bab sebelunya (bab pertama) bahwa tradisi slametan maulid nabi
Muhammad SAW, adalah tradisi turun temurun dari nenek moyang kita, namun
tradisi tersebut tetap terpelihara dan terjaga keeksistensiannya, kerana
tradisi tersebut menurut kalangan nahdliyin adalah merupakan tradisi yang
pondasinya telah dibangun dan digambarkan oleh rasulullah dengan sangat
sederhana yaitu dengan berpuasa.
Meneladani
tradisi beliau merupakan suatu keharusan, karena pertama kita sebagai umatnya,
kedua karena tradisi tersebut merupakan kekayaan tradisi islam yang perlu di
lestarikan sampai hari kiamat. Secara historis, trades tersebut dikembangkan
oleh kalangan ulama’ NU sesuai dengan tuntutan dan perkembangan zaman dengan
tidak menhilangkan nilai-nilai mulia yang terkandung di dalam tradisi tersebut.
Salah satu
bentuk perkembangan terhadap tradisi tersebut adalah pembacaan maulid diba’I di
masjid-masjid dan di mushalla-musalla tiap bulan dan tanggal kelahiran beliau.
Tradisi tersebut masih berkambang lagi dengan masuknya tradisi baru yang
menyusup di dalamnya, yaitu budaya atau tradisi aresan. Tradisi tersebut pada
mulanya berlaku pada tradisi kemasyarkatan seperti aresan sabung ayam, aresan
pancak silat (seni bela diri), aresan jumat manisan serta aresan muslimatan dan
musliminan. Kegiatan tiga aresan terahir barusan (jumat manisan, muslimatan dan
musliminan) adalah baca yasin bersama dan dakwah keagamaan, biasanya tradisi
tersebut diikat dengan uang dengan jumalah sesuai dengan kesepakatan mereka.
Kemudian tradisi aresan tersebut menyusup ke dalam tradisi slametan maulid,
secara factual masuknya tradisi aresan tersebut kedalam tradisi slametan tidak
membawa perubahan nigatif yang dapat merubah dan menghilangkan nilai-nilai dan
keabsahan tradisi slametan tersebut, malah dengan meleburnya tradisi aresan ke
dalam tradisi maulid menjadikan tradisi maulid lebih terasa bermakna dan
mengundang banyak semangat umat islam untuk melakukan rmaulid, karena dengan
aresan maulid, mereka bisa berkumpul dan menjalin silatul arham dan dengannya
dapat membangun jaringan-jaringan sosial.
Slametan
maulid yang dileburkan dengan aresan menjadikan slametan maulid lebih
kontektual dengan kekinian kita (mu’ashiran lana) apalagi diimbangi
dengan adanya pengeras suara seperti sond system dan lospiker sehingga
menjadikan slametan mauled lebih semarak ketimbang slametan maulid pada
masa-masa sebelumnya. Di samping slametan menjadi sebuah tradisi islam juga
menjadi sebuah idiologi dalam keteatan keberagamaan mereka. Anggapan masyarakat
atau orang orang desa yang tidak suka atau tidak melakukan molod berarti mereka
bukan golongan kita (ahlu al-Sunnah wa al-Jama>’ah) yaitu muhammadiyah[32],
bahkan masyarakat menganggapnya bukan umat Nabi Muhammad yang tulus mengikuti
jejak dan pengalaman hidup beliau (nabi Muhammad SAW).
Kalau
dikatan oleh Ahmad Baso bahwa NU adalah Agama untuk NKRI, berarti tradisi
Maulid Juga bisa dikatakan syarat dan rukun agama NU, karena kalau tidak
melakukan atau tidak suka maulid berarti bukan NU, kalau bukan NU berarti bukan
orang islam, atau islam KTP.
B.
Relevansi tradisi dengan
kontek kekinian
Slametan hari kematian dan molodan adalah dua tradisi
yang sudah menjadi tradisi yang melekat (paten) yang tidak bisa di
pisahkan dalam kehidupan keagamaan mereka, karena kalau ada dari salah satu
keluarganya meninggal dunia tanpa dibacakan yasin dan tahlil dengan format dan
tahapan-tahapan yang telah penulis jelaskan pada poin sebelumnya, maka
keluarganya dianggap dhalim atau ainiaya terhadap salah satu dari keluarganya
yang telah meninggal dunia itu.
Sedangkan tradisi memperingati hari kelahiran nabi
muhammad (slametan molod) tahun demi tahun semakin marak perkembangannya sesuai
dengan kreativitas pemuda islam itu sendiri, seperti halnya acara pekan
maulidiyah dengan berbagai paket perlombaan yang diselenggarakannya, seperti
lomba baca puisi, seni s}alawatu al-Nabi, diskusi tentan kemaulidan dan lomba
pidatu tengan sejarah perkembangan islam atau pidatu yang berkenaan dengan
maulid nabi, intinya semua paket perlombaan tersebut berkaitan dengan maulid
Nabi Muhammad SAW.
BAB IV
PENUTUP
A.Kesimpulan Dan Rekomendasi
Dari
tulisan dan penjelasan-penjelasan di atas, penulis dapat menyiimpulkan, bahwa
tradisi-tradisi slametan yang berkembang di kalangan masyarakat Madura tidak
bertentangan dengan dengan nilai-nilai dan prinsip-prinsip agama, bahkan
tradisi tersebut murupakan tradisi yang menggambarkan nilai-nilai luhur agama.
kerena masyarakat Madura yang selama ini dikenal sangat patuh pada para kiai
atau ulama’, Sehingga, dengan sendirinya, tradisi-tradisi slametan itu
merupakan manifestasi dari nilai-nilai yang dikembangkan di dalam masyarakat.
Dengan
demikian, tradisi-tradisi yang berkembang di masyarakat Madura, seperti yang
menjadi pokok pembahasan dalam tulisan ini, sangat penting untuk dipertahankan,
agar masyarakat Madura tidak kehilangan jati dirinya sebagai masyarakat yang
beridiologi pesantren. Sehingga, masyarakat Madura akan mampu mengkaver dari
berbagai perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan, dengan kata lain, melalui
pengembangan dan pelestarian tradisi-tradisi itu, masyarakat Madura akan tetap
mampu menunjukkan identitas dirinya, sebagai masyarakat relegius atau
masyarakat yang bridiologi aswaja atau pesantren.
Dengan
demikian peran penting para ulama, kiai, tokoh masyarakat, dan santri, untuk
mengawal pengembangan dan pelestarian tradisi-tradisi itu, agar tetap sejalan
dengan prinsip-prinsip ajaran Islam. Munikin ini yang dapat penulis sampaikan
dan tuangkan dalam makalah ini, jika ada salah dan khilaf dalam tulisan ini,
saya sebagai penulis mengucapkan mohon maaf yang tiada batasnya.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul
Halim, qiraatu al-turats al-arabiy al-Islamiy, (…….: 2007)
Ahmad
Baso, Agama NU untuk NKRI, (Jakarta: Pustaka Afid, 2013)
Dr.
Ahmad Ali Riyadi, Dekonstruksi Tradisi kaum Muda NU Merobek Tradisi,
(Jogjakarta: 2007)
Dr.
Muhammad Abid al-Jabiri, Nahnu Wa al-turats (Bairut: al-Markaz
al-Tsaqafiy al-Arabiy, 1992)
_________________________,
Al-Turats wa al-hadatsah, (Al_Markas al-Saqofi al-Arabi)
_________________________, Post
tradisionalisme Islam, (Yogyakarta:
LKiS, 2000)
Hiroko
Horikoshi, Kyai dan Perubahan Sosial. Ter. Umar Basalim dan Andi Muarly
Sunrawa (Jakarta: P3M, 1987)
Moebirman,
Keris and Other Weapons of Indonesia (Jakarta: Martinus Nitjhof, 1970)
Post
Tradisionalisme Islam,
alih bahasa Ahmad Baso, cet. 1 (Yogyakarta: LKiS, 2000)
Prof.DK.
Mahmud yunus, Kamus arab-indonisia, dan baca di Ahmad Baso, Agama NU
untuk NKRI, (Jakarta: Pustaka Afid, 2013)
Taushiyak
K. Nawai pengasuh mushallah al-Ma’ruf desa saloting larangan perreng saat di
temui oleh penulis jumat pagi jam 00.00.
Tim
Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia,
cet. 4 (Jakarta: Balai Pustaka: 1995)
Zamakhsyari
Dhofier, Tradisi Pesantren: Studi tentang Pandangan Hidup Kyai. (Jakarta:
LP3ES, 1982)
DAFTAR INFORMENT/WAWANCARA
1.
Nama :
K. Nawasi
Jenis Kelamin : Laki-laki
Tempat Tanggal Lahir/Umur : Sumenep, 04 oktober 1938
Pekerjaan :
Pengasuh Musalla al-Ma’ruf
Tempat Tinggal : Desa Larangan perreng
Sumenep
Waktu Wawancara : Hari Sabtu, 20 Desember
2014. JAM 20.30 WIB
2.
Nama : Ustdz.
Abdul Basith Mansur, M. Th.
I
Jenis Kelamin : Laki-laki
Tempat Tanggal Lahir/Umur : Sumenep, 30 Juni 1960 / 54 Tahun
Pekerjaan :
Guru
Tempat Tinggal : Semenep, Prancak Pasong Songan
Waktu Wawancara : Jumat, 19 Desember 2014. Jam
18.30 WIB
3.
Nama : K.
Abdul Karim, MM
Jenis Kelamin : Laki-laki
Tempat Tanggal Lahir/Umur : Sumenep, 15 Agustus 1963 / 51 Tahun
Pekerjaan :
Pengasuh Masjid al-Bubarak, Sumenep
Tempat Tinggal : Desa lamperreng Sumenep
Waktu Wawancara : Hari Sabtu, 27 Desember
2014. Jam 15.30 WIB
4.
Nama : K.
Abdul Majid, S. Ag
Jenis Kelamin : Laki-laki
Tempat Tanggal Lahir/Umur : Sumenep, 27 Juli 1975 / 51 Tahun
Pekerjaan :
Pengasuh PP Al-Munir daerah Sentol daya .. Sumenep.
Tempat Tinggal : Desa sentol daya
pragaan sumenep
Waktu Wawancara : Hari Selasa, 30 Desember
2014. Jam 10.00 WIB
5.
Nama :
Ustadz Muzanni
Jenis Kelamin : Laki-laki
Tempat Tanggal Lahir/Umur : Sumenep, 11 Juli 1963 / 51 Tahun
Pekerjaan :
Guru
Tempat Tinggal : Lamperreng Sumenep
[2]
Ibid hal, 157
[5] فصلناه عنا من اجل ان نعيده الينا في صورة جديدة وبعلاقات جديدة من اجل ان نجعله
معاصرا لنا lihat selengkapnya di Dr. Muhammad
Abid al-Jabiri, Nahnu Wa al-turats (Bairut: al-Markaz al-Thaqafi< al-Arabiy, 1992) hal:24
[6]جعل
المقروء معاصرا لنفسه معناه فصله عنا وجعله معاصرا لنا معناه وصله بنا selengkapnya baca Dr. Muhammad Abid al-Ja<biri<, Nahnu
Wa al-Tura<th (Bairut:
al-Markaz al-Thaqafi< al-Arabi<,
1992), hal 12.
[7] Dr. Muhammad Abid al-Jabiri, Nahnu Wa
al-turats (Bairut: al-Markaz al-Tsaqafiy
al-Arabiy, 1992) hal: 21.
[8] Dalam konteks
pemikiran al-Jâbirî, kata ‘kritik’ atau
‘nalar’ yang dalam beberapa bukunya disitilahkan dengan naqd, ada dalam pengertian: ‘suatu aktivitas yang bersifat
historis’ Kata ‘kritik’ di sini mengandung pengertian bagian dari kritik
‘epistemik’ yang melihat pikiran sebagai satu sistem. Artinya, bagaimana
memahami pendapat seseorang bukan dengan melihat ‘siapa yang melontarkannya’
namun apa sistem yang mempersatukan pemikirannya sehingga melahirkan pemikiran
yang beragam. Pengertian ‘kritik’ versi al-Jâbirî yang demikian itu dapat
dilacak dari pemikiran Foucault, Claude Levi-Strauss, dan Altuhsser. Pendepat
seperti ini misalnya ditemukan dalam tulisan Ahmad Baso, “Posmodernisme sebagai
kritik nalar, kontribusi metodologis “kritik nalar” Muhammad Abid al-Jâbirî”,
dalam, al-Jâbirî, Post tradisionalisme
Islam, (Yogyakarta: LKiS, 2000),
[9] Dr. Muhammad
Abid al-Jabiri, Nahnu Wa al-turats (Bairut: al-Markaz al-Tsaqafiy al-Arabiy, 1992) hal: 24
[21] Jumlah dan ragam tradisi ini
berdasarkan pengetahuan dan pengalaman penulis sejak penulis lahir sampai
sekarang 2015.
[23] Pengasuh
mus}alla al-ma’ruf desa larangan perreng kabupaten sumenep, beliau salah satu
pengurus MWC sumenep.
[24] Hadi<th yang disampaikan
oleh K. Nawawi saat di wawancarai oleh penulis, kemudian penulis cari di kitab
asalnya yaitu: Abu na’im, Hilyatu al-Awliya<’ wa al-thabaqa>tu
al-asfiya<’ (Bairut: Daru al-Kutub al-‘Arabi<), 11: IV
[25] Istilah
ulang tahun tidak hanya digunakan pada hari kelahiran seseorang saja (yakni datangnya
ruh dan raga ke alam dunia), melainkan bagi masyarakat madura istilah hari
ulang tahun juga berlaku pada peringatan hari kematian (yakni pulangnya ruh dan
ragdari alam dunia menuju alam akhirat)
[26] Abu daud sulaiman bin al-as’ath
bin ishaq bin basyir bin syadad bin umar, Sunan abi Daud (Bairut:
Maktabah al-‘Asriyah{), 3222: II
[27] Salah satu sesepuh masjid
al-Mubarak di desa sentol Daya Pragaan sumenep saat di wawancarai oleh penulis
setelah acara Maulid selesai, dilakukan pada malam rabu, kira-kira jam 23:30
[28]
Lihat kamus besar bahasa indonisia (KBBI) kegiatan mengumpulkan uang atau
barang yg bernilai sama oleh beberapa orang kemudian diundi di antara mereka
untuk menentukan siapa yg memperolehnya, undian dilaksanakan dl sebuah
pertemuan secara berkala sampai semua anggota memperolehnya, tetapi aresan
secara praktek di masyarakat ada yang tidak menggunakn uang cukup dengan hadir
dan tercatat dalam sebagai anggota aresan.
[29] Hal ini berdasarkan pengalaman
hidup bermasyrakat si penulis mulai tahun 2006 sampai sekarang (2015) di desa
sentol daya, lamperreng dan sekitarnya.
[30] Berdasarkan hasil penelitian
penulis di minggu pertama di bulan maulid (rabu’ al-Awal) terhadap dua desa,
yaitu desa sentol daya dan lamperreng.
[31]
SKIA pedoman Santri Annuqayah
[32] Masyarakat memandang Muhammadiyah dengan mata
sebelah yaitu sekan-akan golongan muhammadiyah ini salah dan bahkan golongan
tersebut tidak disukain oleh banyak orang, karena anggapan mereka terhadap
golomgam tersebut adalah tidak mengikuti tuntunan nabi Muhammad dan
Ulama’salafu al-Shaleh seperti tahlilan, dan maulid nabi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar