KEBANGKITAN POLITIK KAUM SANTRI



KEBANGKITAN POLITIK KAUM SANTRI
(Islam dan Demokratisasi di Indonisia, 1990-2000”)
Pengarang: Pramono U. Tanthowi
Di-review oleh: Homaidi




Abstrak

Pada tahun 1950-an Indonisia belum terlihat memperoleh keunggulan dalam bidang politik, namun Indonisia mulai bergerak dan muncul kepermukaan dalam hal politik  sejak awal tahun 1980-an. Dan pada tahun 1990 Indonisia sedang mengalami kebangkitan politik. Banyak pengamat Indonisia menggambarkan bahwa proses ini sebagai proses santrinisasi, merujuk kepada tumbuh kembangnya sejumlah orang Indonisia yang dapat digambarkan sebagai Santri, atau muslim taat. Secara hisyoris, Santri cendrung mendukung partai-partai Islam, miskipun di sini juga terdapat pembilahan penting: sebagai Santri mendukung partai-partai yang menuntut peran Islam yang lebih tegas dalam pemerintahan.
.

Kata kunci: Politik, Santri dan kerangka religious

A.    Pendahuluan
Politik santri adalah sebutan bagi kegiatan politik yang dilakukan aktivis politik dari komonitas yang selama ini dikenal lebih taat terhadap berbagai aturan dalam sitem ajaran Islam (Geertz, 1983). Mereka sering mengklaim mewakili suara mayoritas rakyat atas argument mayoritas rakyat itu memeluk agama Islam. Namun demikan beberapa fakta politik menunjukkan bahwa partai kaum santri itu ternyata hamper selalu gagal merebut simpati mayoritas pemilih disepanjang pemilu yang pernah diselenggarakan di Negeri ini.
Kaum santri meyakini dirinya sebagai kelompok yang teguh pada nilai-nilai moral yang bersumber dari ajaran agama Islam. Sementara di sisi lain, kualitas moral dan professional dari calon anggota legislative (caleg), calon presiden  (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) bukan satu-satunya prasyarat terpilih dalam pemilihan pemilu demokratis. Kemanpuan sang calon dalam berkomonikasi dengan mayoritas pemilih sering lebih manjur bagi caleg, capres dan cawapres untuk bisa terpilih dalam suatu pesta demokrasi. Selain itu yang tidak boleh dilupakan ialah citra partai yang mencanlonkan sang caleg, capres dan cawapres di mata rakyat pemilih. Melalui proses panjang dengan beragam media dalam membangun komonikasi dialogis, suatu partai dan caleg, atau capres dan cawapres, akan bisa menjadi bagian integral dari keseharian hidup masa pemilih.
Kecendrungan di atas penting menjadi catatan bagi para politisi dan partai berlambang Islam atau berbasis komonitas muslim (selanjutnya disebut politisi dan partai santri). Pemahaman terhadap berbagai macam persoalan tersebut merupakan kunci dan titik awal bagi caleg, capres dan cawapres, terutama yang berbasis ke-santrian, mendapat dudungan dari mayoritas pemilih. Sebaliknya, kegagalan memahaminya akan merupakan faktor utama kekalahan partai dan politisi santri memperoleh dukungan mayoritas rakyat.
Kebaikan moral dan keadilan yang bersumber pada nilai-nilai keagamaan merupakan tema utama yang menjadi isu kampanye partai dan politisi santri. Namun demokrasi bukanlah jalan utama tanpa simpangan bagi pengembangan kebaikan moral dan keadilan, namun tema-tema tersebut merupakan wacana yang terlalu jauh dari hajat keseharian hidup rakyat yang mayoritas merupakan warga kebanyakan.
Demokrasi sebagai sistem daur ulang kontrak sosial dan kepeminpinan dalam pemilu ternyata bukan jalan perbaikan hidup, bahkan bukan jalan tanpa cacat. Konon demokrasi di negeri ini bahkan telah terjual kepada para pihak yang punya uang dan kekuatan hingga berubah menjadi sebuah pasar dan pertarungan keras. Nilai kedaulatan rakyat menjadi komoditas yang diperjual belikan dan diperebutkan dengan penuh kekerasan fisik. Sebagai jalan peningkatan mutu kehidupan sosial politik dan ekonomi, demokrasi memerlukan sebuah persyaratan moral dan sikap kritis rakyat sebagai pemegang kedaulatan yang antara lain ditunjukkan oleh tingkat pendidikannya.

B.     Isi Ringkas dan Penulis Buku

Buku Kebangkitan Politik Kaum Santri di terbitkan oleh penerbit: pusat studi agama dan peradaban (PSAP), Jakarta Pusat, cetakan 1, Zulhijjah 1426/ Desember 2005 M. Nomor ISBN: 979-98305-9-1. Selain sekapur sirih dan kata pengantar, buku ini dibagi menjadi tujuh bagian yang terahir ditutup dengan kesimpulan, secara ringkas penulis buku telah manjelaskan cakupan-cakupan buku ini secara sangat dan jelas sehingga dapat memandu pembaca untuk menelaah lebih lanjut pada setiap bagiannya. Ketujuh bagian tersebut adalah; Bab 1, Pendahuluan, Bab 2, Islam dan politik di Indonisia sebelum 1990-an; beberapa pendekatan teori, Bab 3, Akomodasi Islam dan Negara di Indonisia, Bab 4, Islam dan Reformasi; dari Akomodasi ke Oposisi, Bab 5, Islam di tengah transisi demokrasi pasca Soeharto, Bab 6, Kebangkitan politik Islam dan masa depan demokrasi di Indonisia, Bab 7, Penutup.
Bab 1, merupakan Pendahuluan, yang menguraikan pentingnya mengkaji tema kebangkitan politik kaum santri sejak dasawarsa 1990-an. Bab ini juga menguraikan tentang kerangka teori yang dipergunakan dan permasalahan utama yang akan dibahas, serta sistematika pembahasan penelitian ini.
Bab II, pada bab ini secara global menjelaskan tentang atau mendiskripsikan berbagai penafsiran para pengamat dan candikiawan mengenai artikulasi politik Islam di Indonisia semenjak kebangkitan Nasionalisme pada awal abad modern ini sampai masa sebelum dekade 1990-an. Artikulasi politik Islam tersebut ternyata telah memunculkan berbagai macam teori yang terdapat dalam beberapa kajian yang telah dilakukan oleh beberapa penulis. Dari bebrapa teori tersebut, penulis berupaya untuk memasuki tema pokok tersebut, yakni bermula dari beberapa kekalahan politik sejak sebelum kemerdekaan hingga dua dasawarsa awal Orde baru, kalangan Islam berusaha mencari modus yang lebih memunkinkan untuk mengartikulasikan secara tepat politik Islam di Indonisia.
Bab III, pada bab ini secara singkat menjelaskan sebab-sebab proses integrase dan akomodasi Islam dan Negara, yakni ditandai dengan munculnya kelas menengah Santri baru, dan munculnya pembaharuan pemikiran dan prilaku politik Islam sejak dasawarsa 1970-an. Serta tidak kalah pentingnya adalah faktor pergesekan elit politik Orde Baru. Tiga hal tersebut menandai mulai hilangnya sikap saling mencurigai antar umat Islam dan pemerintah. Implikasi lebih jauh dari proses integrase itu adalah kesediaan Negara untuk mengakomodasi beberapa aspirasi umat Islam.
Bab IV, secara singkat, penulis pada bab ini menjelaskan dan mendiskripsikan gerakan reformasi serta peran-peran candikiawan muslim dalam gerakan tersebut. Pada masa reformasi itu, terjadi perubahan sikap beberapa candikiawan muslim terhadap pemerintah orde Baru. Mereka yang tadi bersikap akomodatif terhadap pemerintah, menganbil sikap oposisi, atau paling kurang melancarkan kritik-kritik tajam terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah yang mengakibatkan krisis yang melanda bangsa Indonisia. Dan bab ini memotret kembali peranan beberapa candikiawan muslim yang mempelopori proses reformasi di Indonisia sampai lengsernya Soeharto dari jabatan Presiden RI Pada 21 Mei 1998.
Bab V, Bab ini mendiskripsikan dinamika politik Islam untuk merambah jalan menuju kekuasaan di Indonisia. Pembahasan bab ini dimulai dengan ekspresi politik Islam pada masa pemerintahan presiden B. J. Habibi, pergulatan umat Islam dan lahirnya partai-partai Islam dalam pemilihan umum 1999, serta munculnya poros tengah sebagai aliansi strategis partai-partai Islam, menjelang dan saat sidang umum MPR tahun 1999, bab ini menandai kemenangan pertama- secara formal politik santri dalam perebutan kekuasaan di Indonisia. Bab ini juga menguraikan proses konsulidasi kekuatan politik Islam sebagai pemegang kekuasaan di Indonisia pada masa presiden Abdurrahman Wahid. Disana juga menjelaskan modal legitimasi pemerintahan baru yang sangat kuat melalui pemilu yang relative bersih, proses akomodasi seluruh kekuatan politik kedalam struktur pemerintahan dalam kabinit persatuan nasional I bab II, serta isu-isu bab tindakan-tindakan kontroversial yang dilonratarkan oleh presiden Abdurrahman Wahid. Hal terahir ini menimbulkan beberapa kekecewaan dikalangan elit politik maupun umat Islam, sehingga memunculkan kritik dan oposisi terhadap pemerintah, yang berakhir dengan jatuhnya presiden Abdurrahman Wahid.
Bab VI, dibab lima ini penulis menjelaskan atau relevansi kebangkitan politik Islam dengan masa depan perkembangan demokrasi di Indonisia.secara selintas, sebenarnya Islam telah menunjukkan beberapa peran yang cukup signifikan dalam proses demokratisasi di Indonisia, terutama keterlibatan para candikiawan muslim dalam menjatuhkan rezim Orde Baru, serta partisipasi partai Islam dalam pemilu 1999. Namun melihat beberapa fenomena politik Islam mutakhir tampaknya membuat banyak orang pesimis akan peran Islam dalam proses konsolidasi demokrasi di Indonisia.
Bab VII, Bab yang terahir ini berisi kesimpulan umum dari keseluruhan pembahasan buku tersebut, buku Kebangkitan Pilitik Santri.
Buku ini diberi pengantar oleh Abdul Munir Mulkhan yang menurutnya buku tersebut kurang menjelaskan tentang kecenderungan-kecenderungan perpolitikan santri sehingga buku tersebut dirasa kurang lengkap, sehingga beliau di dalam pengantarnya mengarahkan dan mendorong pembaca untuk mengkaji dan memahami tema-tema dan penjelasannya yang telah ditulis di akhir pengantarnya, di antara tema-tema tersebut ialah KONTAK SOSIAL KAUM SANTRI, PARTAI DAN PRESIDEN POPULIS, KIBLAT POLITIK SANTRI, dan KESADARAN BARU sehingga pengantar tersebut menjadi panjang hingga mencapai 13 halaman.
Di dalam buku ini (Kebangkitan Politik Kaum Santri) Pramono U. Tanthowi menguraikan bahwa Munculnya pembaharuan politik Islam sejak awal dasawarsa 1970-an dan lahirnya kelas menengah santri baru akhirnya membuahkan hasil. Bukan saja berangsur-angsur, hal itu telah menjembatani antara politik islam dan Negara yang semula antagonistik, tetapi juga menyebabkan diakomodasinya sejumlah kepentingan Islam, baik di sosial keagamaan, hukum, ekonomi, maupun politik. Dipihak lain Negara dalam hal ini Soeharto juga sedang membutuhkan Islam sebagai sumberdaya politik baru untuk mengimbangi tantangan dari kalangan militer. Sehingga hubungan akomodatif tersebut merupakan koinsidensi antara dua pihak yang saling membutuhkan. Berkaitan dengan hal itu, politik Islam berkembang di luar sekat-sekat partai politik. Para aktivis Islam tidak lagi terikat, miskipun bukan tidak boleh dalam wadah politik formal (Islam). Dari sinilah terbentuk kesadaran baru akan makna politik Islam, yang seharusnya dikembangkan dengan bertumpu pada penciptaan common platform yang sesuai dengan masyarakat Indonisia yang majmuk.
Meski demikian, sekalipun mengalami hubungnan akomodatif dengan Negara, kenyataan tersebut tidak membuat seluruh kalangan Islam kehilangan sikap kritis dan terkooptasi oleh rezim Orde baru. Maka, diantara berbagai gerakan oposisi di Indonisia yang timbul dan tenggelam selama (satu dekade terakhir) Orde baru, dapat disaksikan sebagai gerakan oposisi dari para aktor pro demokrasi muslim. Mereka biasanya terdiri dari para inteliktual kampus (Nor Cholish Majid), pemimpin organisasi kemasyarakatan Islam (Abdurrahman Wahid dan Amin Rais), dan aktivis partai resmi yang diakui pemerintah (Sri Bintang Pamungkas). Melalui gagasan dan tindakan-tindakan kongkrit, mereka terus melakukan oposisi terhadap rezim Orde baru, sehingga menempatkan mereka dalam barisan terdepan di dalam gerakan reformasi yang menjatuhkan Soeharto pada 21 Mei 1998. Yang membedakan dengan aktor-aktor pro demokrasi lain, artikulasi oposisi mereka sering kali disandarkan kepada doktrin-doktrin ajaran Islam  yang sangat fundamental.
Jatuhnya Soeharto, memuat apa yang ditabukan selama Orde Baru, mencuat kembali. Itu semua merupakan ekspresi pisikologis dari masyarakat yang membutuhkan ruang publik yang memadai. Dalam perspektif ini, kemunculan partai-partai Islam hendaknya dipahami sebagai reaksi atas tantangan politik yang hegemonik dan monolitik yang menafikan keragaman ciri dan aspirasi, kemunculan partai-partai Islam dengan seluruh kegentalan Bahasa dan simbol politik mereka merupakan keniscayaan. Namun, kehadiran begitu banyak partai Islam sekaligus juga menjadi tanda bahwa titik pecah dikalangan Islam masih lebih besar dibanding daya kohesivitasnya. Dipermukaaan kelahiran partai-partai Islam ini mengesankan pengingkaran terhadap logika transformasi pemikiran dan praktek politik Islam yang telah berlangsung lebih dari dua dasawarsa sebelumnya.  Menonjolnya Bahasa dan simbol politik Islam merupakan indikasi utama. Namun kalau dicermati lebih jauh, wajah partai-partai Islam pada periode ini memiliki ciri yang has. Pertama sebagian besar partai-partai politik Islam ini masih tetap menjadikan Islam atu al-Qur’an dan sunah sebagai landasan idiologi atau sekurang-kurangnya, sepirit perjuangan partai. Kedua, berbeda dengan Islam politik periode 1950-an, partai-partai Islam ini tidak lagi merumuskan platform partai yang formalistik, seperti misalnya berkeinginan mencita-citakan Negara Islam, atau menjadikan Islam sebagai dasar dan agama Negara. Alih-alih, mereka lebih mengedepankan aspek-aspek subtansial dari tema-tema politik Islam yang bersifat universal dan inklusif, seperti keadilan sosial dan ekonomi, demokratisasi, penegakan hukum dan lain-lain, sesuatu yang juga dirumuskan oleh partai-partai yang lain yang bersifat lintas agama. Ini berarti bahwa kehususan ciri (keislaman) tidak serta merta meniscayakan program partai yang sectarian dan eksklusif.

C.    Penutup
Dari hasil telaah atau Review buku ini, penulis dapat menyimpulakan terhadap isi oreintasi pembahasan yang ada di dalam buku ini, Pertama buku ini cukup bagus untuk dibaca dalam rangka memahami atau mengkaji tentang pemahaman mengenai politik dan kebangkitan politik santri dari tahun 1990 sampai tahun 2000. Kedua di dalam buku ini saya sepakat dengan komentar Abdullah Munir Mulkhan sebagai pemberi pengantar terhadap buku ini, yaitu di dalam pembahasan buku tidak menyertakan pembahasan tentang kecenderungan-kecendrungan politik santri atau arah perpolitikan yang dilakukan oleh santri. Yang ketiga buku ini Bahasa dan pembahasannya sangat tinggi, sehingga tidak cocok untuk dibaca oleh semua kalangan, buku ini cocoknya adalah dibaca oleh terpelajar, mahasiswa atau orang-orang yang memiliki pengalaman dalam perpolitikan.







D.    Daftar bacaan
Al chaidar, pemilu 1999 peraturan ideologis partai-partaiislam versus partai-partai skuler, (Jakarta: Daraul Falah, 1999)

Ali Fachry dan Bahtiar Effendy, merambah jalan baru islam, (Bandung: Mizan, 1986)

Alimuddin, kekuatan islam dan pergulatan kekuasaan di indonisia sebelumdan sesudah runtuhnya rezim soeharto, (Yokyakarta: Pustaka Pelajar, 1991)

Aritonang, Diro, runtuhnya Rezim soeharto: rekaman perjuangan mahasiswa indonisia (Bandung: pustaka hidayah, 1998)

Bahar, Ahmad, kekuasaan dan demokratisasi, (Yogyakarta: PT Pena Cendikia Indonisia, 1995)

Dhofir, Zamakhsyari, tradisi pesantren: studi tentang pandangan hidup Kiayi, (Jakarta: LP3ES, 1997)

Tanthowi Pramono U, kkebangkitan politik santri, (Jakarta: pusat studi agama dan peradaban, 2005)


E.     Identitas buku
Judul buku: kebangkitan pilitik kaum santri: Islam dan demokratisasi di Indonisia, 1990-2000, terbitan Pusat Studi Agama dan Peradaban (PSAP), Jakarta Pusat, cetakan 1, Zulhijjah 1426/Desember 2005 M. Nomor ISBN: 979-98305-9-1. Tebal: 332

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pages