BAB I
A. Latar Belakang Masalah
Meneliti tasa>wuf Madura sama
halnya dengan meneliti sejarah islamisasi Madura.Amatan ini mengingatkan pada
kita bahwa peran tasa>wuf cukup dominan dalam keberhsilan proses islamisasi
di Madura dengan melibatkan banyak pihak dalam kurun waktu yang cukup
panjang.Singkatnya bisa ditarik pada era wali songo, karena keberhasilan proses
Islamisasi
Madura erat kaitannya dengan sejarah Islamisasi Jawa.[1]
Proses
islamisasi Madura bisa
dikatakan suatau dakwah yang menuai hasil yang luar
biasa. Dakwah ini sebenarnya adalah kelanjutan dari dakwah islamisasi Nusantara
yang sangat massif di antara abad ke-7-15 M.[2] melalui
tangan-tangan ikhlas para juru dakwah di Jawa yang dikenal dengan wali songo.[3]Oleh karenanya
disimpulkan ada dua jalur islamisasi Madura[4] yang
bisa dielaborasikan, yaitu jalur kerajaan dan jalur para da'i atau yang lebih
dikenal dengan para sunan.
Jalur kerajaan adalah teori yang
menggambarkan bahwa islamisasi itu melalui para pemimpin dan bangsawan kerajaan. Karena
raja-rajanya
Islam, maka keturunannya ikut Islam dan diikuti oleh penduduk di bawahnya yang
akhirnya
juga memeluk Islam.Sedangkan jalur sunan adalah teori yang menggabarkan bahwa
islamisasi melalui para ulama atau ilmuwan.
Secara
historis bahwa
islamisasi Madura di mulai sejak abad ke-13 M tepatnya di pulau Sapudi[5]
kemudian menyebar ke desa Mandaraga, Keles, Bukabu,Ambunten, Banasare, Bragung,
Guluk-guluk, Proppo, Sampang, Pameling (sekarang Pamekasan) dan Bangkalan, kemudian
pada abat ke-15-17 M. Islamisasi Madura dinyatakan berhasil. Keberhasilan proses islamisasi
tersebut diawali oleh Ali Musada (Ali Murthadha) adik dariAli Rahmatullah (Sunan
Ampel).[6]
Dalamprosesipenyebaran IslamdiMadura ini,
syarat
dan perkembangannya tidak bisa terlepas dari peran dan nilai-nilai tasa>wuf,
kerena tasa>wuf dalam penyebarannya mampu menguasai dimensi
terdalam (ba>t}in) dari kegiatan keagamaan
masyarakat dibandingkan dengan ilmu fikih yang hanya berkutat pada dimensi luar (z}a>hir) saja miskipun Islamisai
Nusantara tidak bisa terlepas dari pola bermadhhab. Model penyebaran Islam yang
sedemikian
sudah dibuktikan berhasil oleh wali songo sehingga Islam di wilayah Nusantara pada
umumnya dan Madura pada khususnya
mudah diterima dan banyak peminatnya.
Melihat
dari hasil penelitian Martin, bahwa tasa>wuf yang berkembang di Nusantara didominasi
oleh pemikiran tasa>wufsunni dibandingkan dengan tasa>wuf
falsafi>[7]. Hal ini dibuktikan dengan penggunaan magnum oposnya Imam al-Ghaza>li> yaitu Ihya>’
Ulum al-Di>>n sebagai kajian penting bagi santri senior diperbagai
pesantren. Kajian pilihan karya al-Ghaza>li> sebagai bahan kajian dalam bidang ini tidak lepas dari basis ideologi
perkembangan keilmuwan pesantren yang senantiasa berpijak pada cara pandang
aswaja, khususnya pada keilmuan yang diadopsi dari kitab-kitab abad pertengahan.
Kontribusi
pemikiran tasa>wuf al-Ghaza>li> dalam kancah intelektual pesantren termasuk dalam kancah kajian tasa>wuf Jawa-Madura
diyakini menunjukkan bahwa tasa>wuf model ini lebih mudah beradaptasi dengan
realitas kebangsaan yang karakter penduduknya memiliki keragaman nilai-nilai lokal. Karenanya
ditilik dari persepektif sosiologi pengetahuan, bahwa pilihan pesantren
terhadap tasa>wuf model pemikiran al-Ghaza>li> tidak bisa dilepaskan dari faktor di atas, sebab pesantren bukan
sekedar lembaga pendidikan an sich tapi lembaga pendidikan yang berparadigma
moderat melalui ajaran aswaja dalam memandang kehidupan dunia, sekaligus
sebagai lembaga yang selalu konsisten terhadap cita-cita leluhurnya untuk
menebarkan paradigma itu pada semua santrinya.
Salah satu
tokoh pesantren yang mengagumi pemikiran al-Ghaza>li> adalahKiai T{aifu>rAli>
Wafa>> Muharror Madura (selanjutnya akan disebut Kiai T{aifu>r).
Sebagai tokoh pesantren murni dan asli didikan pesantren, kekaguman Kiai T{aifu>r
pada al-Ghaza>li> meniscayakan perkembangan intelektualnya senantiasa beradaptasi secara
konsisten dan terus menerus dengan beberapa pemikiran al-Ghaza>li> hingga
mengantarkannya pada posisi yang cukup penting dalam ranah perkembangan
intelektual pesantren, bahkan dalam lingkaran pemikiran dunia Islam pada
umumnya, terkhusus dalam kontek kajian tasa>wuf.
Prestasi
ini salah satunya tidak lepas dari tulisan Kiai T{aifu>r yaitu Sulla>m al-Qa>s}idi>n
ila> Ihya> Ulum
al-Di>n. Kiai T{aifu>radalah
potret dari didikan pesantren yang mengantarkannya menjadi produsen ilmu
pengetahuan dalam kajian keislaman, bukan sekedar konsumen belaka.
Kitab Sullam
al-Qa>s}idi>n Ila> Ihya’> Ulum
al-Di>n adalah ringkasan Kiai T{aifu>r
terhadap karya Ima>m al-Ghaza>li> yakni Ihya>’ Ulum
al-Di>n. sekalipun kitab Sulla>m al-Qa>s}idi>n adalah kitab ringkasan,
namun kitab tersebut tidak mengurangi pesan dan nilai pemikiran al-Ghaza>li> bahkan
kitab tersebut sangat membantu bagi pembaca untuk menangkap pesan-pesan yang
tersirat di dalamnya.Karena kitab ringkasan tersebut menurut hemat penulis
tidak meringkas pesan-pesan yang ada di dalamnya tapi meringkas muatan
kata-kata-nya sehingga kitab tersebut bisa dikatakanqolla lafz}uhu wa kas|ura
ma’na>hu (simpel tapi padat).
Kitab
ringkasan Kiai T{aifu>r tersebut cukup berbeda dengan kitab ringkasan yang lain.
Perbedaan tersebut tidak lain adalah dipengaruhi oleh kapasitas dan pengalaman
intelektual beliau dan menggambarkan bahwa sang penulisKiai T{aifu>r
memiliki basis pengetahuan keislaman yang mendalam khususnya penguasaan
terhadap pemikiran-pemikiran tasaw>uf sehingga tidak mengurangi pesan-pesan dan nilai-nilai tasa>wuf yang
disampaikanIma>m al-Ghazal>i> dalam Ihya’> Ulum
al-Di>n-nya.
Upaya
sosialisasi dan internalisasi nila-nilai tasa>wuf sunni yang telah
dilakukan oleh Kiai T{aifu>r melalui praktek-pratek tasa>wuf
dalam kesehariannya tampak jelas dengan adanya tarekat yang ia jalani sebagai
jalan untuk mendekatkan diri kepada Allah.Tarekat yang ia jalani adalah tarekat
Naqsabandiyah.Beliau tidak hanya sekedar menjalani tarekat Naqsabandiyah
melainkan ia sebagai mursyid dari tarekat tersebut dan menyebarkannya
kepada kaum muslimin yang mempunyai minat terhadap aspek esoteris Islam dan
pemerhati kegiatan spiritual keislaman.
Tarekat
dan tasa>wuf tidak bisa dipisahkan, ibarat dua sisi mata uang yang satu dengan
yang lainnya merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan. Orang yang bertasa>wuf
berarti ia bertarekat dan orang yang bertarekat berarti ia bertasa>wuf.Namun
keberadaan tarekat atau tasa>wuf dalam pengamalan kegiatan keagamaan tidak bisa dilepas dengan
keberadaan sha>ri’at, karena hubungan sha>ri’at dengan tasaw>uf sangat kental.Tasa>wuf itu ibarat sebutir telur, maka bagian luar atau kulitnya sebagai sha>ri’at.Putih
telurnya tarekat, sedangkan merah telur adalah hakikat, dan titik inti darimerah
telur tersebuat sebagai ma’rifat.[8]Jadi
kesemua dari komponen telur tersebut menjadi satu kesatuan yang tak dapat
dipisahkan adanya.
Kemudian
peran tasa>wuf dalam kehidupan ini tidak sekedar menjadi kebutuhan sekunder atau
pelengkap, melainkan tasa>wuf menjadi sebuah kebutuhan pokok atau primer dalam menjalankan
kegiatan keagamaan di masyarakat baik secara vertikal (hablum min Allah)
maupun secara horizontal (hablum min al-Nas).
Ima>m Malik
menegaskan.
Artinya:
Barang siapa yang ber-fiqh dan tidak bertasa>wuf, dia telah fasiq
(merusak imanya), dan barang siapa yang bertasa>wuf tetapi tidak ber-fiqh,
maka dia zindik (telah merusak dirinya atau dia kafir), dan barang siapa yang
memadukan keduanya dialah orang yang akan menemukan kebenaran.
Dalam
riwayat yang lain Ima>m Sha>fi’ie mengatakan:
فقيها وصوفيا فكن ليس واحدا * فإني وحق الله اياك أنصح
Artinya:
Berusahalah engkau menjadi orang mempelajari ilmu fikih dan juga menjalani tasa>wuf,
dan janganlah engkau mengambil salah satunya, sesungguhnya demi Allah saya
sungguh-sungguh ingin memberikan nasihat kepadamu. Orang yang hanya mempelajari
ilmu fikih tetapi tidak ingin menjalani tasa>wuf, maka hatinya tidak dapat
merasakan kelezatan taqwa.Sedangkan orang yang hanya menjalani tasa>wuf
tetapi tidak ingin mempelajari ilmu fikih, maka bagaimana bisa menjadi baik.
Kiai T{aifu>rsebagai
salah satu potret didikan pesantren yang telah banyak memberikan sumbangsih
dalam rangka membumikan nilai-nilai Islam terlebih melalui pemikiran tasa>wufnya
sehingga melahirkan cara pandang yang tertentu dalam memahami Islam, yakni cara
pandang yang dibingkai dalam nilai moderat dan toleran sehingga lebih mudah
beradaptasi dengan masyarakat Madura dan Nusantara pada umumnya.
Pegumulan
Kiai T{aifu>r dengan nilai-nilai tasa>wuf sunni serta pengakuan
berbagai pihak atas karya-karyanya mengantarkan pemikiran dan perjalannya dalam
mengarungi dunia tasa>wuf diabadikan dalam kitab Sulla>m al-Qa>s}idi>n
dan sebagai mursyid tarekat Naqsabandiyah.
Oleh
karenanya pesantren salah satunya melalui Kiai T{aifu>r menjadi benteng pertahanan bagi tersebarnya keilmuan Islam
khususnya keilmuan basis tasa>wuf sunni. Kuatnya kajian keilmuan pesantren dengan menggunakan kitab
kuning sebagai media utama menjadikan cara pandang orang-orang pesantren (kiai
dan santri) menampakkan praktek keberislaman yang muderat dan toleran terhadap
realitas kehidupan berbangsa di satu sisi dan tetap tegas pula dalam membela
nilai-nilai tauhid di sisi yang berbeda.
Dalam
konteks ini penulis akan mengkaji tentang pemikiran tasa>wuf Kiai T{aifu>r
dalam sebuah tema: Tasa>wuf
Madura: Studi Pemikiran Tasa>wuf Kiai T{aifu>r Ali> Wafa> Muharror Madura.
Kajian tasa>wuf Maduraini, tidak
dimaksudkan berbeda dengan tasa>wuf Jawa atau Islam Arab, Tetapi ada
proses pembumian nilai-nilai tasa>wuf sehingga nilai-nilai lokalitasdan corak kemaduraannyasebagai
bagian yang tak terpisahkan dalam proses pemahaman dan prakteknya.Memang sejak
masuknya Islam di bumi Jawa dan Madura dalam sekala khusus dan Nusantara dalam
sekala umum telah tampak unsur-unsur tasa>wuf mewarnai kehidupan keagamaan
masyarakat, bahkan hingga saat ini pun nuansa tasa>wuf masih kelihatan
menjadi bagian yang tak terpisahkan dari pengamalan keagamaan sebagian kaum
muslimin diNusantara terlebih di Madura, terbukti dengan semakin maraknya
kajian Islam dibidang ini dan juga melalui gerakan-gerakan tarekat muktabarah
yang masih berpengaruh di masyarakat.
B.
Rumusan
Masalah
Atas
pertimbangan di atas, penulis mengungkap sosok Kiai T{aifu>rdalam rangka mengenal dan mendalami
pemikiran ketasa>wufannya dalam penelitian ini. Agar pembahasan ini fokus, penulis
menyebutkan tiga rumusan masalah yang akan dikupas secara kritis dari satu bab
ke bab yang lain, yaitu:
1.
Bagaimana Pemikiran Tasa>wuf Kiai T{aifu>r?
2.
Apa unsur-unsur pembentuk pemikiran tasa>wuf Kiai T{aifu>r?
3.
Apa kontribusi pemikiran tasa>wufKiai T{aifu>rdalam
lingkup dunia Pesantren dan dunia Islam pada umumnya?
C. TujuanPenulisan
Berdasarkan perumusan masalah
yang telah diuraikan pada bab sebelumnya mengenai pemikiran tasa>wuf Kiai T{aifu>r,
maka tujuan penulis dalam penelitian ini adalah:
1. Untuk mengetahui bagaimana pemikiran Tasa>wuf Kiai T{aifu>r.
2. Untuk mengetahui unsur-unsur
pembentuk pemikiran tasa>wuf Kiai T{aifu>r.
3. Untuk mengetahui kontribusi
pemikiran tasa>wuf Kiai
T{aifu>r
dalam lingkup dunia Pesantren dan dunia Islam pada umumnya.
D. Kegunaan Penulisan
Dalam
penulisan tesis ini yang ingin diperoleh oleh penulis tidak lain hanya sekedar
:
1. Untuk
memberikan gambaran lebih utuh dan fokus mengenai bagaimana tasa>wuf Kiai T{aifu>rdan
relasinya dengan tasa>wuf Ima>m al-Ghaza>li>.
2. Untuk memberikan gambaran sejauh mana pemikiran tasa>wuf Kiai T{aifu>rmenampilkan
orisinalitas gagasan, kecendrungan-kecendrungan atau keunikan-keunikan tertentu
tentang tasa>wuf.
3. Untuk memberikan sumbangan
pemikiran dan khazanah intelektual ketasa>wufan yang disampaikan oleh Kiai T{aifu>rsebagai
generasi tasa>wuf Ima>m al-Ghaza>li>.
4. Diharapkan menjadi rujukan
penting bagi para pengkaji tasa>wuf di lingkungan pesantren disatu sisi dan
pengkaji Islam Nusantara di sisi yang berbeda, sekaligus menjadi pertimbangan
semua pihak agar memiliki kepedulian pada pelestarian karya-karya anak negri,
sebab dengan cara ini karakter bangsa akan tetap terjaga dengan belajar dari
karya-karyaKiai atau ulama Nusantara termasuk di antaranya adalah Kiai T{aifu>r.
E. Ruang Lingkup Pembahasan
Penelitian ini fokus terhadap
pemikiran dan aktualisasi nila-nilai tasa>wuf Kiai T{aifu>rdalam kitab Sulla>m
al-Qa>s}idi>n Ila> Ihya’>Ulum al-Di>n sedangkan kitab-kitab
yang lain dari karya-karya beliau adalah sebagai pendukug seperti halnya kitab Tanwir
al-Bas}a>ir fi Naz}mi al-Zawa>jir an al-Kaba>ir, Manar al-Wafa> fi
Nubz|atin min Tarjemati al-Faqir ila> afwi Allah T{aifu>rAli> Wafa>
dan kitab Firdaus al-Na’i>m ila> Ma’a>ni alfa>z}i al-Qur’a>n.
F. Telaah Pustaka
Berikut ini beberapa
kajian sebelumnya yang ditemukan penulis mengenai perkembangan Islam Nusantara,
dunia pesantren hingga tasa>wuf Nusantarayang memiliki kaitan secara
genealogis dengan pertumbuhan dan perkembangan pemikran tasa>wuf di pulau Madura
tepatnya kajian tasa>wufKiai T{aifu>r.Menurut hemat penulis tidak satupun
peneliti yang secara husus memfokuskan penelitiannya pada kajian tasa>wufKiai
T{aifu>r.
Salah satu dari hasil penelitian sebelunya adalah Tasa>wuf Nusantara: Rangkaian Mutiara Sufi Terkemuka[11]yang ditulis oleh Dr. Hj. Sri Mulyati, MA.Yang menjadi fokus bahsan Sri
Mulyati dalam buku ini adalah 15 tokoh
tasa>wuf Nusantara terkemukan di abad 15, 19 dan 21 M. Bahasan dari 15 Tokoh
s}u>fi> tersebut meliputi riwayat dan perjalanan hidupnya, ajaran-ajaran yang
dikebangkan serta kontribusi pemikirannya dalam dunia tasa>wuf dan
tarekat. Di antara 15 tokoh tersebut,Sri Mulyati tidak menyebutkanKiai Ali> Wafa> atau
putranya(Kiai T{aifu>r) sebagai potret tokoh s}u>fi> Madura.
Dengan demikian, penelitian ini(yang bertemakan Tasa>wuf Madura) merupakan penelitian lanjutan dari Tasa>wuf Nusantarayang dilakukan oleh Sri Mulyati sebelum dan sampai
tahun 2006.Dari buku ini, peneliti seakan mendapat rekomendasi dari Mulyati dengan
catatan akhir yang ia tulis:
“Tasa>wuf Nusantarayang kami bahas di sini adalah
baru merupakan sebagian dari tokoh sufi terkemuka di tanah air. Namun
demikian setidaknya gambaran umum
tentang keberadaan tasa>wuf Nusantara dan tokohnya yang baru terekam dalam
tulisaninisebagai upaya awal untukkajian lebih mendalam di masa yang akan
datang. Tokoh sufiIndonisia timur masih perlu kajian yang serius, karena
kerajaan Islam juga pernah jaya di Ternate dan tempat-tempat lainnya di bagian
timur Indonisia.
Kajian Tasa>wuf Nusantara memerlukan penelitian
yang terus menerus, hal ini disebabkan masih adanya sebagian manuskrip para
ulama dan tokoh sufi yang dibahas di sini yang belum sempat dikaji secara lebih
rinci”.[12]
Penelitian sejenisdilakukan oleh Martin Van Bruinessen
yang berjudul Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat[13]
dan buku Tarekat Naqsabandiyah di Indonisia: Survei Historis, Geo##grafis
dan Sosiologis.[14]Dari
hasil penelitian Martin terkait dengan tarekat menyebutkan bahwa sedikit sekali
guru tarekat Madura yang pernah menuliskan sesuatu tentang tarekat mereka
sehingga sangat merumitkan bagi peneliti untuk melacaknya, namun secara kasar Martin
meyimpulkan bahwa tarekat yang aktif di Madura adalah tarekat Naqsabandiyah,Qadariyah
wa Naqsabandiyahdan tarekat Tijaniyah, pada tahun 1920 M.tarekat Qadariyah Wa
Naqsabandiyah mengalami perkembangan pesat di Madura kemudian disusul oleh tarekat
Naqsabandiyah dan tarekat Tijaniyah.
Dari tiga tarekat itu Martin menyebutkan beberapa
tokoh sebagai mursyid,pertama yaitu Kiai Jazuli dari Tattangoh Pamekasan sebagai mursyid
tarekat Naqsabandiyah dilanjutkan oleh muridnya yaitu Kiai Ali>
Wafa>dari Ambunten Sumenep, yang kedua Kiai Ahmad Hasbullah bin Muhammad yang menggantikan posisinya Ahmad
Khatib Sambas sebagai mursyid tarekat Qadariay wa Naqsabandiyah.Ketiga kiai
Jauhari dan kiai Chozin, keduanya sebagai mursyid tarekat Tijaniyah. KiaiJauhari
sebagai mursyid tarekat Tijaniyan diParenduan setelah beberapa waktu Kiai
Jauhari menunjuk salah satu putranya yaitu Kiai Tijani sebagai penggati untuk melanjutkan
tugasnya.sedangkanKiai Chozin sebagai mursyidtarekatTijaniyah di Probolinggo,setelah
beberapa waktu kemudian Kiai Chozin menunjuk Kiai Muchlas dan Kiai Ahmad Taufiq dari Genggong sebagai generari pelanjut perjuangannya.
Dari dua buku hasil penelitian Martin inipeneliti
sudah mendapatkan gambaran tentang perjalanan tasa>wuf di
Indonisia lebih-lebih di Madura.Penelitian Martin ini memfokuskan pada sejarah
dan perkembangan tarekat di Indonisia terlebih diMadura pada tahun 1989-an.
Sedangkap penelitian yang sedang dilakukan oleh peneliti saat ini yaitu Tasa>wuf Madura ini adalah merupakan penelitian lanjutan Martin yang
memfokuskan pada pemikiran Tasa>wuf satu tokoh di Ambunten Madura.
Tulisan lain yang berkaitan dengan kajian tentang tasa>wuf dan
tarekat adalah tulisan yang berjudul Tasa>wuf Madzab Cinta yang ditulis oleh Muhammad Roy.[15]Dalam
buku ini dijelaskan bahwa:
“Sumber kekuatan islam itu terletak tersembunyi dalam
lubuk Islam yang paling dalam, terpilih menjadi satu dengan urat nadinya, dan
urat nadi Islam itu adalah tasa>wuf dan ajaran sufi, dalam berbagai bentuk
dan corak/tarekat. Bahwa al-Qur’an dan Sunnah nabi itu merupakan syari’at, baru
berubah jika ia dilaksanakan di bawah bimbingan dan pimpinan guru yang mahir,
mursyid yang bijaksana dalam tarekat karena kedua bagian ini tidak dapat
dipisahkan.”[16]
Jadi bahasan dalam buku ini memfokuskan pada kaitan
tasa>wuf dengan tarekat, sedangkan fokus penelitian yang sedang peneliti
lakukan saat ini adalah memfokuskan pada pemikiran seorang tokoh dalam
membumikan dan mengaktualisasikan nilai-nilai tasa>wuf di
Madura.
Begitu juga tulisan lain yang berkaitan dengan tasa>wuf
adalah tulasan Ahmad Musyafiq, M. Ag, yang berjudul Reformasi Tasa>wuf
al-Syari’i[17] dalam
buku itu Ahmad Musyafiq menampilkan pemikiran Imam Sha>fi’ie tentang tasa>wuf yang mana beliau selama ini dikenal sebagai sosok imam madhhab
fikih. Bahasan dalam buku ini memfokuskan pada kaitan fikih dengan tasa>wuf
di mana dengan mengelaborasikan fikih dengan tasa>wuf akan melahirkan s}u>fi> sejati
yang dapat meningkatkan penghayatan di dalam menjalankan ibadah-ibadah formal.
Usaha demikian tidak akan terlaksana tanpa pijakan pijakan fikih. Maka, tasa>wuf
sejati ini kemudian diistilahkan dengan tasa>wuf shar’i.Model
tasa>wuf inilah yang ditumbuh kembangkan oleh Ahl al-Sunnah wa al-Jama>’ah yang disebut juga tasa>wuf Sunni (tasa>wuf
ortodok).[18]
Buku karya Musyafiq ini dikatakan berbeda dengan
penelitian yang sedang dilakukan penulis saat ini, karena dalam penelitian ini
memfokuskan pada pemikiran Kiai T{aifu>r dalam mengaktualisasikan dan membumisasikan nilai-nilai
tasa>wuf di Madura tidak pada kaitan erat fikih dan tasa>wuf,
karena hal tersebut sudah menjadi prisip para sufi sejati dalam hal
mengoptimalkan penghayatan dalam beribadah.
Tulisan lain yang membahas tentang pesantran,
kiai dan tarekat adalah karya
Zamakhsyari Dhofier yang berjudul Tradisi Pesantren.[19]Fokus
penjelasanZamakhsyaridalam buku itu adalah pada pandangan tokoh-tokoh pesantren
serta asal usul basis pengetahuankeislamannya, bahkan dalam bahasan tertentu,
yakni tentang tarekat dan pesantren menyebutkan tasa>wuf kiai Ihsan Jampes.miskipunDhofir
dalam penelitian itu tidak menyinggung tasa>wuf yang berkembang di
Madura itu sudah cukup membantu terhadap kajian berikutnya terkait dengan
perkambangan tasa>wuf di Madura.
Penelitian yang serupa dengan penelitian ini adala
tulisan Dr. Wasit, SS. M. Fil.I yang berjudulTasa>wuf Nusantara Kiai Ihsan Jampes: Menggapai Jalan Ma’rifat, Menjaga
Harmoni Umat.[20]Bahasan dalam buku ini fokus pada tasa>wuf Jawa yaitu tasa>wuf KiaiIhsan
Jampes Kediri dan pengaruh pemikirannya serta kontribusinya dalam dunia Islam.
Miskipun hasil penelitian Wasit ini berbeda dengan penelitian yang dilakukan
penulis saat ini, namun penelitian tersebut memiliki kaitan erat secara
geneologis yaitu sama-sama penelitian tasa>wuf sunni Ghazaliyin.
Dalam telaah pemikiran yang lain diantaranya adalah buku
karya Muhammad Zaairul Haq yang berjudul Tasa>wuf Gusdur.[21]Dalam
buku ini, pembahasan Zaairul Haq memfokuskan pada pemikiran Gus Dur dalam memahami
konsep zuhud sebagai solusi mencapai kebebasan untuk membangun semangat
kerja dan mengembangkan kemampuan kaum muslim disegala bidang. Buku ini dikatakan
berbeda dengan penelitian penulis saat ini, karena buku tersebut menampilkan
tokoh dan konsep pemikiran yang berbeda.Meskipun buku itu berbeda, namun buku
itu bisa dijadikan pijakan dalam hal mengakaji dan menganalisis pemikiran tokoh
apalagi tokoh seorang Gus Dur yang dikenal dengan tokoh yang kontroversial yang
memiliki peran penting dalam hal kebangsaan.
G. Kerangka Teoritik
Untuk mencapai tujuan yang
dimaksud, penulis menggunakan perspektif teori sosiologi pengetahuan sebagai
dasar untuk membaca bagaimana pemikiran tasa>wuf Kiai T{aifu>r berproses.
Tepatnya, teori ini meyakini bahwa pengetahuan apapun tidak serta-merta datang
secara tiba-tiba, tetapi di dalam prosesnya didukung oleh konstruksi lain yang
mengitarinya, seperti kondisi sosial, budaya, politik dan lain sebagainya. Itu
artinya pemikiran tasa>wuf Kiai T{aifu>r tidak datang dalam ruang kosong,
tetapi didukung oleh kenyataan sosial historis yang mengitari pergumulan
Kiai T{aifu>r dalam hidup sejak kecil sampai sekarang. Dengan begitu,
ringkasan pemikiran Kiai T{aifu>r dalam karyanya Sulla>m al-Qa>s}idi>n
Ila> Ihya>’Ulum al-Di>n ringkasan dari Ihya>’ Ulum
al-Di>nkarya Ima>m al-Ghaza>li>.
Dalam
rangka mempertajam kerangka teoritisnya, penulis menggunakan sosiologi model
Karl Mannheim. Bagi Mannhiem ada dua pemahaman pokok yang menjadi ciri-ciri
sosiologi pengetahuan.[22]Pertama,
beroientasi epistemologis untuk
mengutamakan pemahaman dari sebuah pemikiran sesuai dengan konteknya, berkaitan
latar belakang riil sosial historis tertentu sebab perbedaan sosial hirtoris
melahirkan pemikiran yang berbeda, sekalipun tema yang sama. Dengan begitu,
maka manusia yang berfikir sejatinya tidak muncul dari ruang hampa, melainkan
ia terlibat langsung dengan pemikiran lain yang saling berdialektika secara
terus menerus, termasuk dalam hal ini tasa>wufKiai T{aifu>r.
Dalam
konteks penelitian ini, dilihat dari cara berfikir Mannhiem, maka membaca
pemikiran Kiai T{aifu>rtidak akan tuntas dilakukan dengan baik dan mendekati obyektif, kecuali
dengan juga membaca latar belakang yang berkaitan dengan dirinya, misalnya
tentang perjalanan hidup dan pergumulan intelektualnya serta sosial budaya yang
turut membentuk intelektual Kiai
T{aifu>r berproses dan bergeliat, khususnya kecendrungan Kiai T{aifu>r larut dalam diskusi-diskusi keislaman dengan kajian tasa>wuf sebagai
orientasi keilmuannya sejak kecil hingga sekarang.
Sementara
yang kedua menurut Mannhiem, bahwa sosiologi pengetahuan mengandaikan bahwa
pemikiran yang nyata tidak bisa lepas dari kontek tindakan kolektif di mana
pemikiran itubersinggungan.Artinya, seorang pemikir yang hidup dalam lingkungan
tertentu dan masyarakat tertentu tidaklah hadir dalam kehidupan terpisah, maka
pilihan pemikir dalam ranah pemikiran tertentu atau menolak sebenarnya gambaran
dari dialektika dirinya dengan masyarakat yang dihadapinya, sekaligus
nilai-nilai yang diyakini secara kolektif.Tidak ada pemikir muncul secara
individu, tanpa bersinggungan dengan pemikiran lainnya yang telah menjadi
tindakan kolektif terlebih dahulu.
Untuk
itu, Kiai T{aifu>r yang semenjak kecil sampai sekarang berproses dalam lingkungan
pesantren tidak hadir dalam lingkungan secara terpisahdengan komonitasnya
sebagai seorang pesantren dan penduduk Nusantara. Itu artinya, pemikiran apapun
yang muncul dari dirinya juga tidak bisa dipisahkan dengan bangunan intelektual
serta keyakinan keagamaan yang dianut sebagai sebuah ortodoksi dalam Islam oleh
lingkungan pesantren, hususnya tasa>wuf al-Ghaza>li>.
Dengan
pemahaman yang lebih detail, bahwa pemikiranKiai T{aifu>rhadir
bersinggungan dengan kontek tindakan kolektif orang-orang pesantren yang dekat
dengan tasa>wuf Ghaza>li>yinsehingga sungguh wajar bila kemudian pemikirannya
dipastikan telah mengalami proses dialektika dengan tradisi kepesantrenan, baik
intelektual maupun ideologi orang-orang pesantren yang menganut Islam Ahl al-Sunnah wa al-Jama>’ah.
Berpijak
pada ciri-ciri yang disebutkan Mannhiem, maka analisis kesejarahan menjadi
cukup penting bahkan sangat mendukung bagi keberlangsungan menjawab berbagai
persoalan yang dimunculkan dalam tulisan ini dilihat dari perspektif sosiologi
pengetahuan. Bahwa Kiai
T{aifu>rmenghasilkan karya-karya keislaman sepert Sulla>mal-Qa>s}idi>n, Tanwiral-Bas}a>ir dan
karya-karya yang lain, menurut hemat penulis, tidak datang tanpa proses panjang
hubungannya dengan lokalitas pesantren dan nuansakeislaman Nusantara.
H. Metode Penelitian
1. Pendekatan Penelitian
Untuk
menopang proses analisis data dan memperkuat sasaran sesuai dengan kerangka
teoritik yang telah dicanangkan oleh peneliti, maka peneliti menggunakan
pendekatan kualitatif naturalistik dan interpretatif, karena pendekatan
penelitian dalam hal ini menurut hemat peneliti sangat tepat dan akan sesuai
dengan keinginan peneliti.
2. Jenis Penelitian
Untuk
mempertajam dan mempermudah dalam penelitian ini, maka peneliti menggunakan dua
metode secara bersamaan yaitu:
a.
Metode Historis
Metode historis digunakan
untuk menganalisa beberapa data sejarah. Dalam kontek penelitian ini adalah
berkaitan dengan data sejarah yang berhubungan dengan latar belakang sejarah Kiai T{aifu>rdan hal-hal yang melingkupinya, seperti agama, sosial, budaya, paham,
aliran, pendidikan dan keluarga serta pengalaman kehidupannya.
Untuk tujuan ini, penulis
menggunakan model metode historis yang dicanangkan oleh Dudung Abdurrahman,
tepatnya bahwa penelitian sejarah ini bertumpu pada empat langkah sekaligus,
yakni heuristik, kritik, interpretasi dan historiografi.[23]Praktisnya
heuruistik adalah teknik bukan suatu ilmu untuk memperoleh data-data
kesejarahan. Langkah peneliti adalah memilihmana data primer, khususnya yang
berkaitan dengan karya-karya Kiai T{aifu>r dan data-data sekunder, misalnya tentang dukumen, berita
atau sumber lain yang ada kaitannya dengan penelitian ini.
Setelah data ditemukan,
peneliti melakukan kritik atas sumber tersebut, baik berkaitan dengan
autentisitas sember dari sisi eksternal maupun dari sisi internal.[24]kemudian
data diinterpretasikan melalui analisa mendalam terhadap sumber-sumber yang
ditemukan. Intrepretasi ini tidak cukup hanya mengungkap kesejarahannya semata,
tetapi sejauh mana faktor-faktor yang lain turut mempengaruhi keberadaan sejarh
itu, misalnya kaitannya dengan pergolakan intelektual Kiai T{aifu>r.
Setelah ditafsirkan, peneliti melakukan proses historiografi, tepatnya dengan
melakukan penulisan sejarah berdasarkan pada fakta-fakta sejarah sekaligus
tafsirnya melalui model penulisan sejarah sebagainama berlaku dalam penelitian
sejarah.[25]
b.
Metode Biografis
Jenis penelitian biografi
ini dilakukan oleh peneliti denganbeberapa tahapan: Pertama, peneliti memulai
darimencarai serangkain pengalaman kehidupan yang bersifat objektif dari Kiai T{aifu>r.
Misalnya, pengalaman kehidupan sejak kecil sampai saat ini. Tahap kedua,
peneliti mencari dan menggali data yang relevan mengenai biografi lengkap,
konkert, konstekstual dari Kiai T{aifu>r.Misalnya catatan hidup, rekaman dokumentasi, informasi
yang didapat dari metode wawancara.
Tahap ketiga, dari
data-data yang sudah diperoleh, peneliti mulai melakukan pemilihan data yang
akan diambil untuk di masukkan dalam penulisan biografi tokoh. Tahap keempat,
peneliti melakukan eksplorasi makna dari data-data yang telah didapat untuk
memperoleh keterangan yang lebih baik, jelas, serta mencari makna lainnya untuk
diceritakan.
Tahap kelima,
mengaitkan arti data yang diperoleh dengan struktur yang lebih besar untuk
menjelaskan arti data untuk dijelaskan secara berkesinambungan, menarik, dan
jelas.
3.
Sumber Data
Sumber data dalam
penelitian ini diperoleh dengan dua cara, yaitu:
a.
Dokumen
Untuk data dokumen terdapat data primer berupa karya-karya tasa>wufkiaiT{aifu>rkhususnya
Sulla>mal-Qa>s}idi>n,Tanwiral-Bas}a>ir dan
kitab Mana>r al-Wafa>. Adapun data sekundernya, berupa karya-karya
lain yang ada kaitannya secara langsung atau tidak langsung dengan beberapa
bahasan dalam penelitian ini, misalnya tentang tasa>wuf
sunni, tradisi pesantren dan lain-lain.
b.Informan
Berkaitan dengan data informan, peneliti melakukan wawancara secara
langsung dengan beberapa pihak, kaitannya dengan tema penelitian ini. Wawancara
dilakukan dengan model berstruktur terhadap beberapa pihak yang memiliki
hubungan langsung atau tidak langsung dengan KiaiT{aifu>r dan pondok pesantren Assadad Ambunten
Sumenep.
Untuk kebutuhan ini, digunakan beberapa media misalnya Tape Recorder,
kertas notes dan material lainnya yang dapat membantu proses wawancara.[26]
4.
Metode Pengumpulan Data
Dalam proses
pengumpulan data ini, peneliti menggunakan beberapa cara yaitu:
a.
Dukumentasi
Dokumentasi digunakan untuk
mengumpulkan data berkaitan dengan profil dan
latar belakang kehidupan Kiai Thifur serta pondok
pesatrenAssadad Ambunten Sumenep dan kegaiatan ketasa>wufan
yang dilakukan oleh Kiai T{aifu>r.
Jenis dokumentasi yang digunakan adalah dokumentasi tertulis.
b.
Wawancara
Wawancara digunakan untuk
mengumpulkan data tentang bentuk-bentuk
kontribusi dan usaha Kiai T{aifu>r dalam mengaktulisasiakan serta membumisasikan
nilai-nilai tasa>wuf dimasyarakat Mdura.Jenis
wawancara yang digunakan dalam penelitian adalah wawancara terstruktur.
Penggunaan wawancara terstruktur dimaksudkan agar permasalahan-permasalahan
yang akan ditanyakan terarah sesuai fokus penelitian.
c.
Observasi
Observasi digunakan untuk
mengamati tentang kehidupan Kiai T{aifu>r serta kiprahnya di masyarakat. Jenis observasi yang digunakan
dalam penelitian ini adalah observasi nonpartisipan. Jenis observasi tersebut
digunakan karena peneliti merupakan pengamat penuh dan tidak melibatkan diri
dalam suatu kegiatan.
5.
Teknik Analisis Data
Sementara
melalui metode analisis hermeneutis ini, peneliti melakukan tafsir terhadap
teks-teks yang berhubungan dengan penelitian ini. Fungsi pokok hermeneutis
adalah berkaitan dengan tata cara penafsiran terhadap teks dengan makna yang
lebih khusus, yaitu memperhatikan bentuk pada relasi teks, pengarang dan
pembaca (penafsir).
Untuk
mencapai tujuan ini, penulis menggunakan hermeneutika yang dikembangkan oleh
Hans Georg Gadamer.Menurutnya ada interaksi yang tidak bisa dihindarkan dalam
penafsiran sebuah teks, yaitu interaksi antara penafsir dan teks.Dua interaksi
ini perlu dilihat secara kritis dalam kontek historis sebab penafsir memiliki
ruang sejarahnya sendiri, begitu juga teks dan pengarangnya memiliki ruang
kesejarahannya sendiri.[27]
Dalam
konteks teks-teks tasa>wuf Kiai T{aifu>r bila dipahami secara hermeneutik mengandaikan bahwa Kiai T{aifu>r
dan pemikirannya adalah lahir dari ruang kesejarahan tertentu. Karenanya
peneliti mengharuskan membongkar faktor-faktor politik dan ideologi yang turut
serta mempengaruhi cara pandang Kiai T{aifu>r dalam memahami term-term tasa>wuf Ghaza>li>yin, sekaligus teks-teks terkhususkan kitab Sulla>m al-Qa>s}idi>n dan kitab Tanwiral-Bas}a>ir.
Jadi
pada intinya perspektif sosiologi pengetahuan sebagai kerangka paradigmatik
untuk membaca pemikiran tasa>wuf Kiai T{aifu>r bertujuan atas pembacaan pemikirannya tidak sekedar
ringkasan semata, tetapi juga didasari pada semangat kritis untuk mengungkap
seluk beluk eksternal yang mempengaruhi pemikiran Kiai T{aifu>r.
Pasalnya dengan cara ini tasa>wuf KiaiT{aifu>r akan lebih jelas dipahami di satu sisi serta dapat dengan
mudah di posisikan dalam kontek tertentu di sisi yang berbeda, kaitan dengan
para pemikir dan pemerhati tasa>wuf lainnya, baik dari komonitas pesantren maupun dunia Islam pada
umumnya.
I. SistematikaPembahasan
[1]Thomas Stamford Raffles, The History Of Java (Yogyakarta: Narasi,
2008), 430-487.
[2]Samsul Ma’arif, The History of Madura: Sejarah Panjang Madura Dari
Kerajaan, Kolonialisme Sampai Kemerdekaan, cet. ke-1,(Yoqyakarta: Araska,
2015), 142-143.
[3]Teori teori
tentang hal itu dikupas dan dianalisis dengan teliti oleh Syed Muhammad
Naquib al-Attas, Islam dalam Sejarah dan Kebudayaan Melayu(Kuala Lumpur:
Universiti Kebangsaan Melayu, 1972). dan bandingkan dengan
penelusuran Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan
Nusantara Abad XVII dan XVIII (Bandung: Mizan, 1999), 24-36.
[4] Lik Arifin MansurNoor, Islam
in an Indonesia World: Ulama of Madura(Yogyakarta: UGM Press, 1990), 4. Dari
penelitian Lik Arifin tersebut,
Samsul Ma’arif menambahkan teori perdagangan, jadi menurutnya islamisasi
Madura dengan tiga jalur yaitu jalur perdagangan, jalur kerajaan dan dan jalur ilmuwan atau
kiai, lihat Samsul Ma’arif,
The History of Madura,143.
[5]Pulau Sapudi berasal dari kata-kata Sepuh Dhewe (bahasa Jawa) yang
bermakna “yang paling tua sendiri”. Menurut tutur Madura, dikatakan tua sendiri
karena dianggap Islam masuk ke tempat ini paling awal dibandingkan di
tempat-tempat yang lain di Madura pada umumnya dan di Sumenep pada hususnya.
Lihat tulisan H.D. Zawawi Imron, Sejarah Sumenep (Sumenep: Dinas Pariwisata dan Kebudayaan,2003), 15.
[6]Abdurrachman¸ Sejarah Madura: Selayang Pandang (Sumenep: tnp,
1971), 17. dan lihat juga di Thomas Stamford Raffles, The History, 466.
Dan banding dengan buku karya Agus Sunyoto, Wali Songo: Rekonstruksi Sejarah
yang Disingkirkan (Jakarta: Transhop Printing, 2011), 54-57. Bandigkan juga
dengan tulisan Samsul Ma’arif, The History of Madura, 142-143.
[7]Martin Van Bruinessen, Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat
(Yogyakarta: Gading Publishing, 2012), 421-422.
[8]Jamaluddin Kafie, Tasa>wuf Kontemporer: Apa Mengapa dan Bagaimna
(Mutiara Parenduan: al-Amin Parenduan, 2002), 6.
[9]Sayyid Ahmad bin Zain bin Alwi
al-Habasyi al-Husaini al-Syaf’ie, Risa>lah al-Jama>’ah Bayna Us}u>liddi>n wa al-Fiqhi wa al-Tas}awuf(Jakarta: Da>ru
al-Kutub al-Isla>my>, 2013), 60
[10]Imam Abu Abdillah Muhammad bin Idris al-Sya>fi’ie, Diwa>nu
al-Ima>m al-Sya>fi’ie (Bairut: Da>rul Kutub al-Isla>my>,
1984), 52.
[11]Sri Mulyati, Tasa>wuf Nusantara: Rangkaian Mutiara Sufi Terkemuka (Jakarta:
Kencana Prenada Media Grup, 2006)
[13]Martin Van Brunessen, Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat
(Yogyakarta: Gading Publishing, 2012)
[14]Martin Van Brunessen, Tarikat Naqsabandiyah di Indonisia: Survei
Historis, Giografis dan Sosiologis (Bandung: 1994)
[15]Muhammad Roy,Tasa>wuf Madzhab Cinta (Yogyakarta: Lingkaran,
2009)
[17]Ahmad Musyafiq, Reformasi Tasa>wuf al-Syafi’I (Jakarta:
Atmaja, 2003)
[19]Zamahsyari Dhofier, Tradisi Pesantren: Studi Pandangan Hidup Kiai dan
Visinya Mengenai Masa Depan Indonisia (Jakarta
Bara: LP3ES, Anggota Ikapi, 2011)
[20]Wasit, Tasa>wuf Nusantara kiai Ihsan Jampes: Menggapai Jalan
Ma’rifat, Menjaga Harmoni Umat (Surabaya: Pustaka Idea)
[21]Muhammad Zaairul Haq,Tasa>wuf Gusdur (Yogyakarta: Aditia Media
Publishing, 2012)
[22]Karl Mannhiem, Ideologi dan Utopia: Menyingkap Kaitan Pikiran dan
Politik, ter. Budi Hardiman (Yogyakarta: Kanisius, 1991), 3-5.
[23]Dudung Adurrahman, Metodologi Penelitian Sejarah (Yogyakarta:
Ar-rus Media, 2007), 63.
[26]Kaelan, Metode Penelitian Agama Kualitatif Interdisipliner (Yogyakarta:
Paradigma, 2010), 105.
[27]Hans Georg Gadamer, Kebenaran dan Metode: Pengantar filsafat
Hermeneutika, ter,. Ahmad Sahidah (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), 3-4.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar