Akhirnya, aku sampai di tahap ini.
Posisi yang sebenarnya tak pernah kubayangkan. Aku terhempas begitu jauh dan
jatuh terlalu dalam. Kukira langkahku sudah benar. Kupikir anggapanku adalah
segalanya. Aku salah, menyerah adalah jawaban yang kupilih; meskipun sebenarnya
aku masih ingin memperjuangkan kamu.
Aku terpaksa berhenti karena tugasku
untuk mencintaimu kini telah menjadi tugas barunya. Hari-hariku yang tiba-tiba
kosong dan berbeda ternyata cukup membawa rasa tertekan. Mungkin, ini
berlebihan. Tentu saja kaupikir ini sangat berlebihan karena kamu tak ada dalam
posisiku, kamu tak merasakan sesaknya jadi aku.
Jika aku punya kemampuan membaca matamu
dan mengerti isi otakmu, mungkin aku tak akan mempertahankan kamu sejauh ini.
Jika aku cukup cerdas menilai bahwa perhatianmu bukanlah hal yang terlalu
spesial, mungkin sudah dari dulu kita tak saling kenal. Aku terburu-buru
mengartikan segala perhatian dan ucapanmu adalah wujud terselubung dari cinta.
Bukankah ketika jatuh cinta, setiap orang selalu menganggap segala hal yang biasa
terasa begitu spesial dan manis? Aku pernah merasakan fase itu. Aku juga
manusia biasa. Kuharap kamu memahami dan menyadari. Aku berhak merasa bahagia
karena membaca pesan singkatmu disela-sela dingin malamku. Aku boleh tersenyum
karena detak jantungku tak beraturan ketika kamu memberi sedikit kecupan
meskipun hanya berbentuk tulisan.
Aku mencintaimu. Sungguh. Mengetahui
kautak memilihku adalah hal paling sulit yang bisa kumengerti. Aku masih belum
mengerti. Mengapa semua berakhir sesakit ini? Aku sudah berusaha semampuku,
menjunjung tinggi kamu sebisaku, tapi di mana perasaanmu? Tatapanmu dingin,
sikapmu dingin, dan aku dilarang menuntut ini itu. Aku hanya temanmu. Hanya
temanmu. Temanmu!
Jika kauingin tahu, aku kesesakan dalam
status yang menyedihkan itu. Aku terkatung-katung sendirian. Meminum asam dan
garam, membiarkan kamu meneguk hal-hal manis. Begitu banyak yang kulakukan,
mengapa matamu masih belum terbuka dan hatimu masih tertutup ragu?
Sejak dulu, harusnya tak perlu
kuperhatikan kamu sedetail itu. Sejak pertama bertemu, harusnya tak perlu
kucari kontakmu dan kuhubungi kamu dengan begitu lugu. Sejak tahu kehadiranmu,
harusnya aku tak menggubris. Aku terlalu penasaran, terlalu mengikuti rasa
keingintahuanku. Jika dari awal aku tak mengenalmu, mungkin aku tak akan tahu
rasanya meluruhkan air mata di pipi.
Iya. Aku bodoh. Puas?
Semua berlalu dan semua cerita harus
punya akhir. Ini bukan akhir yang kupilih. Seandainya aku bisa memilih cerita
akhir, aku hanya ingin mendekapmu, sehingga kautahu; di sini aku selalu
bergetar ketika mendoakanmu.
Nice
BalasHapusNice
BalasHapusVery nice
BalasHapusㅠㅑㅊㄷ
BalasHapus