SISTEM PENDIDIKAN PESANTREN


KATA PENGANTAR



بسم الله الرحمن الرحيم

الحمد لله رب العالمين اشهد ان لا اله الاالله واشهد ان محمدا عبده ورسوله اللهم صل وسلم علي اشرف الا نبياء والمرسلين وعلي اله وصحبه اجمعين. اما بعد.



Kupanjatkan puji shukur ke had}irat Allah SAW. yang telah memberikan rahmat serta taufiq-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini sampai tuntas. Kemudian s}alawat dan salam semoga tetap terlimpahkan keharibaan baginda rasul nabi Muhammad SAW. serta keluarga, s{aha>bat dan pengikutnya sepanjang masa.

Selanjutnya penulisan makalah ini selain dimaksudkan untuk menambah wawasan dalam khaza>nah pendidikan kepesantrenan. Juga untuk memenuhi tugas kuliah mahasiswa pascasarjana Institut Ilmu Keislaman  (INSTIK) Annuqayah.

Dalam makalah ini, penulis sangat menyadari bahwa makalah ini sangat jauh dari sempurnaan, dengan demikian penulis sangat membutuhkan saran dan kritik yang membangun demi kebaikan makalah ini.










Penulis






 

BAB I
PENDAHULUAN

A.  Latar belakang masalah
Pondok Pesantren adalah lembaga pendidikan Islam tertua di Indonesia dan telah berkembang dengan baik. Pondok Pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam yang berperan sebagai lembaga sosial telah banyak memberikan warna yang khas dalam wajah masyarakat pedesaan sebagai lingkungan Pesantren.
Potret Pesantren pada dasarnya adalah sebuah asrama pendidikan Islam tradisional dimana para siswanya tinggal bersama dan belajar ilmu-ilmu keagamaan di bawah bimbingan guru yang lebih dikenal dengan sebutan Kyai. Asrama untuk para siswa tersebut berada dalam komplek pesantren dimana Kyai bertempat tinggal. Di samping itu juga ada fasilitas ibadah berupa Masjid. Mastuhu mendefinisikan bahwa pesantren adalah lembaga pendidikan tradisional Islam untuk mempelajari, memahami, mendalami, menghayati, dan mengamalkan ajaran Islam dengan menekankan pentingnya moral keagamaan sebagai pedoman prilaku sehari-hari. Keberadaan pondok pesantren ditengah-tengah masyarakat mempunyai peran dan fungsi sebagai tempat pengenalan dan pemahaman agama Islam sekaligus sebagai pusat penyebaran agama Islam.
Kebanyakan pondok pesantren didirikan sebagai bentuk reaksi terhadap pola kehidupan tertentu yang dianggap rawan, dengan demikian berdirinya pondok peantren menjadi salah satu bagian tranformasi kultural yang berjalan dalam jangka waktu yang relatif panjang. Karena hakekat pesantren sebagai titik awal tranformasi, dengan sendirinya pesantren dipaksa oleh keadaan untuk memperolah alternatif terbaik bagi kehidupan. Pesantren sebagai pilihan ideal ini sangat sesuai dengan kultur agama Islam di nusantara ini.
Walaupun pesantren diklaim sebagai lembaga pendidikan tradisional, bukan berarti pesantren tidak mengalami perubahan dan penyesuaian. Pesantren telah menjadi bagian dari sistem kehidupan sebagian besar umat Islam di Indonesia, dan telah mengalami dinamika dan perubahan dari masa ke masa sesuai dengan perjalanan hidup umat.
Perubahan-perubahan yang terjadi di dalam pesantren merupakan hasil dari dialog dengan zamannya, sehingga pesantren sebagai institusi pendidikan juga memiliki sistem sebagaimana lembaga-lembaga pendidikan yang lain. Untuk mendapatkan gambaran tentang pendidikan di pondok pesantrem, maka makalah yang sederahana ini akan membahas tentang “SISTEM PENDIDIKAN PONDOK PESANTREN”.

B.   Rumusan masalah
Untuk memudahkan dalam pembahasan ini, penulis akan menyusun rumusan permasalahan yang akan penulis bahas dalam makalah ini. Sedangkan rumusan masalahnya sebagaimana berikut ini:
1.      Bagaimana sistem pendidikan pesantren?
2.      Apa visi Pondok Pesantren?
3.      Apakah yang menjadi rujukan keilmuan otoritatif pesantren?
4.      Kurikulum apakah yang digunakan dipendidikan pesantren?
5.      Bagaimana Pengembangan kurikulum pendidikan pesantren?

A.  Tujuan Kepenulisan
Dalam penulisan makalah ini, penulis bermaksud untuk:
1.      Memberikan penjelasan tentang sistem pendidikan pesantren
2.      Menjelaskan Visi dan tujuan pendidikan pesantren
3.      Memberikan penjelasan tentang rujukan-rukan dalam khazanah keilmuan pesantren.
4.      Menjelakan tentang perkembangan-perkembangan kurikulum pendidikan pesantren salaf hingga pesantren modern.


B.   Sistematika Pembahasan
Untuk memudahkan di dalam penulisan makalah ini, penulis akan membuat sistematika pembahasan sebagaimana berikut:
BAB I           : Berisi tiga poin, poin A. Berisi Latar Belakang Masalah, B. Berisi Rumusan Masalah, C. Tujuan Kepenulisan dan poin D. Berisikan Sistematika Pembahasan.
BAB II         : Berisi lima poin yaitu: A. Sistem pendidikan pesantren, poin B. Visi dan sumber keilmuan pesantren, C. Kitab kuning sebegai sumber keilmuan pesantren  D. kurikulum pendidikan pesantren, E. Pengembangan kurikulum pendidikan pesantren.
BAB III       : Berisi dua poin. Poin A. Kesimpulan dan poin B. Saran.


BAB II
PEMBAHASAN

A.  Sistem Pendidikan Pesantren
Kata “Sistem Pendidikan Pesantren” terdiridari tiga kata, yaitu sistem, pendidikan dan pesantren. Kata sistem secara bahasa memiliki arti  perangkat unsur yg secara teratur saling berkaitan sehingga membentuk suatu totalitas[1]. Sedangkan pendidikan secara bahasa memiliki arti proses pengubahan sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dan usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan, proses.[2] Sedangkata kata pesantren memiliki arti asrama tempat santri atau tempat murid-murid belajar mengaji dan sebagainya. Menurut Zamakhsyari Dhafir dan Manfred Ziemek Perkataan pesantren barasal dari kata santri, dengan awalan pe dan akhiran an, bararti tempat tinggal santri.[3] Versi Ensiklopedi Islam memberikan gambaran yang berbeda, menurutnya pesantren berasal dari bahasa tamil yang berarti guru ngaji atau bahasa India “sastria’ dan kata “sastra” yang berarti buku-buku suci, buku-buku agama atau ilmu tentang pengetahuan.[4]
Secara terminologi pesantren adalah lembaga pendidikan Islam untuk memahami, menghayati, dan mengamalkan ajaran agama Islam (tafaqquhu fiddi<ni) dengan menekankan pentingnya moral agama Islam sebagai pedoman hidup sehari-hari.[5]
Jadi, sistem pendidikan pesantren adalah kumpulan dasar-dasar umum tentang bagaimana lembaga pendidikan diselenggarakan dalam rangka membekali pengetahuan kepada siswa yang di dasarkan kepada al-Qur’an dan al-Sunah.[6]
Pesantren sebagai lembaga pendidikan merupakan sistem yang memiliki beberapa sub sistem, setiap sub sistem memiliki beberapa sub-sub sistem dan seterusnya, setiap sub sistem dengan sub sistem yang lain saling mempengarui dan tidak dapat dipisahkan. Sub sistem dari sistem pendidikan pesantren antara lain,
1)       Aktor atau pelaku: Kyai, ustadz, santri dan pengurus
2)       Sarana perangkat keras: Masjid, rumah kyai, rumah dan asrama ustadz, pondok dan asrama santri, gedung sekolah atau madrasah, tanah untuk pertanian dan lain-lain.
3)       Sarana perangkat lunak: Tujuan, kurikulum, kitab, penilaian, tata tertib, perpustakaan, pusat penerangan, keterampilan, pusat pengembangn masyarakat dan lain-lain.[7]
Setiap pesantren sebagai institusi pendidikan  harus memiliki ketiga  sub sistem tersebut, apabila kehilangan salah satu dari ketiganya belum dapat dikatakan sebagai sistem pendidikan pesantren.

B.   Visi dan Sumber Keilmuan Pesantren
Pesantren tidak memiliki visi yang baku, karena setiap pesantren dan pengasuh memiliki visi tersendiri yang berbeda antara satu pesantren dengan pesantren yang lain, tergantung kepada keinginan pengasuh di pesantren tersebut, namun secara umum visi pesantren tidak akan terlepas dari perintah Allah yang telah disinyalirkan dalam al-Qur’an surat al-Taubah ayat 122 yang berbunyi:
وَمَا كَانَ الْمُؤْمِنُونَ لِيَنْفِرُوا كَافَّةً فَلَوْلَا نَفَرَ مِنْ كُلِّ فِرْقَةٍ مِنْهُمْ طَائِفَةٌ لِيَتَفَقَّهُوا فِي الدِّينِ وَلِيُنْذِرُوا قَوْمَهُمْ إِذَا رَجَعُوا إِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُونَ.

Artinya: Tidak sepatutnya bagi mukminin itu pergi semuanya (ke medan perang). mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya.[8]

Dari ayat tersebut di atas secara umum pesantren memiliki visi untuk trafaqqohu fi al-dini yaitu untuk memahami ilmu agama secara kaffah yang bersumber dari al-Qur’an dan al-Hadits yang keduanya merupakan sumber pokok dalam segala hal lebih-lebih dalam ilmu pengetahuan. Untuk memahami dua sumber pokok ilmu pengetahuan tersebut kita tidak cukup membaca dan memahami teks-teks al-Qur’an dan al-Hadits apa adanya, karena di dalam al-Qur’an terkandung ayat-ayat muhkam dan mutasyabih, jadi kita harus mempelajari ilmu-ilmu yang dapat mengantarkan kepada pamahaman ayat-ayat al-Qur’an secara benar yang sesuai dengan apa yang diinginkan oleh al-Qur’an tersebut.
Sedangkan ilmu-ilmu pengantar kapada pemahaman dua sumber pokok tersebut adalah ilmu asbabun nuzul, ilmu nasikh mansukh, ilmu munasabah[9] ilmu I’jazi al-Qur’an,[10]ilmu gharaibu al-Qur’an, ilmu tafsir, dan lain sebagainya, sedangkan untuk memahami al-Hadits ialah ilmu asbabun wurud, ulum al- hadits, ilmu takhriju al-hadits dan lain sebagainya. Untuk meyujudkan visi tersebut setiap pesantren memiliki manhaji (metodologis) yang berbeda.

C.   Kitab Kuning Sebagai Referensi Keilmuan Otoritatif Pesantren
Kitab kuning sebagai salah satu unsur mutlak dalam proses belajar mengajar di Pesantren, kitab kuning sangat penting dalam membentuk intelektual dan moralitas santri[11]. Kata kitab merupakan istilah khusus yang digunakan untuk menyebut karya tulis di bidang keagamaan yang ditulis dengan tulisan Arab. Sebutan ini membedakan dengan karya tulis pada umumnya yang ditulis dengan huruf selain Arab. Adapun kitab yang dijadikan sumber belajar di Pesantren dan lembaga-lembaga pendidikan Islam tradisional dan semacamnya disebut kitab kuning. Kitab merupakan karya tulis arab yang disusun oleh para sarjana muslim pada abad pertengahan Islam, sekitar abad 16-18. Sebutan “kuning” ini karena kertas yang digunakan berwarna kuning, mungkin karena lapuk termakan usia. Oleh karena itu kitab kuning juga disebut kitab kuno.[12] Istilah Kitab Kuning ini selanjutnya menjadi nama jenis literatur tersebut, dan menjadi karakteristik fisik.
Karena kitab kuning sudah menjadi identitas, maka karekteristik fisik tersebut dilestarikan dalam tradisi percetakan. Kitab kuning dicetak dengan kertas berwarna kuning berukuran khusus yang mana sedikit lebih kecil dari ukuran kuarto atau letter, sedangkan penataan jilidnya digunakan sistem khorasan (korasah: Arab), yaitu berupa lembaran-lembaran yang dapat dipisah-pisah sehingga mudah untuk membacanya dan tidak perlu membawa seluruh kitab.[13]
Menurut Zamakhsyari Dhofier[14], pada masa lalu, pengajaran kitab kuning merupakan satu-satunya pengajaran formal yang diberikan dalam lingkungan pesantren.” Pada saat ini, kebanyakan pesantren telah mengambil pengajaran pengetahuan umum sebagai suatu bagian yang juga penting dalam pendidikan pesantren, namun pengajaran kitab kuning masih diberi kepentingan tinggi, bahkan kitab kuning dianggap sebagai kitab nomer urut ketiga setelah al-Qur’an dan al-Hadits sabagai referensi ilmiah khazanah keilmuan pesantren, dan seharusnya bagi pondok pesantren lebih meningkatkan kekreatifannya dalam memberikan konsep-konsep pendekatan terhadap maslah-masalah ritual maupun masalah sosial kemasyarakatan. Dalam hal peningkatan kajian kitab kuning ini dapat diupayakan dengan metode munadharah yang tidak hanya sekedar mencari jawaban terhadap suatu masalah global yang sering tidak dipertimbangkan implikasinya dalam aspek-aspek lain yang berkaitan, seperti yang sering terjadi di bahtsul masa’il di beberapa pesantren.[15]
Ada delapan macam bidang pengetahuan dalam kitab kuning yang sering diajarkan di pondok pesantren yaitu: ilmu Nahwu dan Sharaf (morfologi), Fiqh, Usul Fiqh, Hadis, Tafsir, Tauhid, Tasawwuf dan cabang-cabang lain seperti Tarikh dan Balaghah. Semua jenis kitab ini dapat digolongkan ke dalam kelompok menurut tingkat pelajarannya, misalnya: tingkat dasar, menengah dan lanjutan.[16]
Pada zaman Demak Paruh awal abad ke-16, para historikus kehilangan jejak dalam melacak jenis kitab referansi pesantren karena telah hilang kecuali tinggal beberapa kitab yang jumlahnya sangat terbatas[17]. Kitab zaman Demak yang masih di kenal di pesantren adalah: Usul Enam Bis, yaitu sejilid kitab tulisan tangan berisi enam kitab karangan ulama Samarkandi. Isinya mencakup ilmu agama Islam pada tahap permulaan. Kitab yang lain adalah Tafsir Jalalain, karangan Syaik Jalal al-Din al-Mahalli dan jalal al-Din al-Suyuti. Disamping itu juga primbon suluk sunan bonang, suluk sunan kalijaga dan lain-lain. Kemudian pada abad ke-18, pesantren di Mataram memakai kitab Usul Enam Bis, Matan Taqrib, dan Bidayat al- Hidayah karangan Imam Ghazali dalam ilmu akhlak.
Mulai abad ke-19, kitab kitab referensi di kalangan pesantren mengalami perubahan yang sangat drastis. L. W. C Van Den Berg[18] merinci: bidang fiqih meliputi Safinat al-Naah, Sullam al-Taufiq, Masail al-Sittin, Mukhtashar, Minhaj al-Qawim, Al-Iqna’, Tuhfat al-Madaniyyah, al-Risalah, Fath al-Thalibin, Fath al-Wahab, Tuhfat al-Muhtaj, dan Fath al-Mu’in; dalam bidang tata bahasa Arab adalah Muqaddimat al-Jurumiyyah, Mutammimah, al-Fawaqih al-Janniyyah, al-Dzurrat al-Bahiyyah, al-‘Awamil al-Amiyah, Inna Awla, al-Alfiyyah, Minhaj al-Masalik, Tamrin al-Thullab, al-Rafiyyah, Qatar al-Nada, Mujib al-Nida, dan al-Mishbah; dalam bidang ushul al-Dien terdapat Bahjat al-Ulum, Umm al-Barahin; dalam bidang tasawuf adalah Ihya’ Ulum al-Dien, Bidayat al-Hidayah, Minhaj al-‘Abidin, al-Hikam, Su’ab al-Iman, dan Hidayat al-Azkiya’ Ila Thariq al-Awliya; sedang dalam bidang tafsir hanya Tafsir Jalalain Kitab-kitab kuning tersebut hanyalah sebagai contoh semata. Tidak semua pesantren mesti menggunakan paket kitab tersebut. beberapa pesantren terkadang sering menggunakan kombinasi kitab, bisa berupa penambahan atau pengurangan.

D.  Kurikulum pendidikan pesantren
David Pratt mendefinisikan kurikulum sebagai an organized set or formaleducational and or training intention[19] dari definisi tersebut dapat dipahami bahwa kurikulum pada dasarnya merupakan seperangkat perencanaan dan media untuk mengantarkan lembaga pendidikan dalam mewujudkan tujuan yang didambakan, dengan demikan kurikulum meliputi: tujuan, materi pelajaran, metode dan evaluasi. Sebagai lembaga pendidikan, pesantren juga memuat hal-hal tersebut.
Sedangkan tujuan pendidikan pesantren adalah membentuk kepribadian santri, memantapkan akhlaq dan melengkapinya dengan ilmu pengetahuan.[20] Materi pendidikan pesantren kebanyakan bersifat keagamaan yang bersumber pada kitab-kitab klasik yang meliputi sejumlah bidang studi. Menurut Martin Van Brunessen bahwa kurikulum atau materi pelajaran di Pondok Peantren ada 14 belas cabang kajian sebagaimana yang telah disilabuskan oleh imam Jalaluddin al-Suyuthi dalam kitab Itmam al-Dirayah yaitu antara lain Tauhid, Tafsir, Hadits, Fikih, Usul fikih, Tasawwuf, Bahasa Arab, Nahwu, Shorraf, Balaghah dan Tajwid, Mantek dan Akhlaq dan sebagainya.[21]
Materi pelajaran ini berdasarkan tingkat kemudahan dan kompleksitas ilmu atau masalah yang dibahas dalam suatu kitab, sehingga terdapat tingkat awal, tingkat menengah dan tingkat lanjutan.[22] Materi pelajaran di pesantren pada awalnya hanya mengajarkan baca al-Qur’an dan praktek ibadah kemudian berkembang pada mata pelajaran yang lain.[23] Menurut Zamkhsyari Dhafir, kitab-kitab yang diajarkan di pesantren dapat digolongkan ke dalam delapan kelompok yaitu: Nahwu (syntax) dan Sharraf (morphplogy), Fikih, Usul Fikih, Hadits, Tafsir, Tauhid, Tasawuf dan Etika, cabang-cabang lain seperti Tarikh dan Balaghah.[24]
Sumber materi yang cukup membedakan pesantren dengan lembaga pendidikan lainnya adalah bahwa pada pesantren diajarkan kitab-kitab klasik atau sering disebut “kitab kuning” yang dikarang oleh ulama terdahulu mengenai berbagai macam ilmu pengetahuan agama islam dan bahasa Arab. Pelajarang dimulai dengan kitab-kitab yang sederhana, kemudian dilanjutkan dengan kitab berbagai ilmu yang mendalam. Tingkatan suatu pesantren dan pengajarannya, biasanya diketahui dari jenis kitab-kitab yang diajarkan.[25]
Kitab kuning merupakan referensi yang utama bagi penyelenggaraan pendidikan pesantren, bahkan kitab kuning dijadikan dasar untuk menentukan jenjang pendidikan di pesantren, dan sebagai tolak ukur dalam mengevaluasi belajar santri dalam memahami ajaran islam.[26]
Secara metodik, pendidikan dan pengajaran dalam pesantren diberikan dalam bentuk sorogan, bandongan, halaqah[27], dan hafalan. Sorogan artinya belajar secara individual di mana seorang santri berhadapan dengan seorang guru untuk mempelajari materi pelajaran, sehingga terjadi interaksi langsung dan saling mengenal di antara keduanya.
Metode sorogan merupakan bagian yang paling sulit dari seluruh sistem pendidikan tradisional, sebab sistem ini menuntut kesabaran, kerajinan, ketaatan dan disiplin pribadi dari murid. Namun menurut Zamakhsyari Dhafir sistem sorogan ini terbukti sangat efektif sebagai tahap pertama bagi seorang murid yang bercita-cita menjadi seorang alim, sistem ini memungkinkan seoarang guru mengawasi, menilai, dan membimbing secara maksimal kemanpuan seorang murid menguasai bahasa Arab.[28]
Istilah bandongan adalah model pengajian yang dilakukan seperti kuliah terbuka yang diikuti oleh kelompok santri sejumlah 100-500 orang atau lebih, sang kyai membaca, menterjemahkan, menerangkan, dan mengulas kitab-kitab salaf berbahasa Arab yang menjadi acuannya. Sedangkan para santri mendengarkan dan memperhatikan kitabnya sambil menulis arti dan keterangan tentang kata-kata atau pemikiran yang sukar[29]. Lain halnya dengan Zamakhsyari Dhafir yang mengatakan dalam kelompok itu bias juga antara 5-500 murid[30].
Halaqah adalah model pengajian yang umumnya dilakukan dengan cara mengitari gurunya. Para santri duduk melingkar untuk mempelajari dan mendiskusikan suatu masalah tertentu dibawah bimbingan seorang guru. Sependapat dengan hal ini, Zamakhsyari Dhafir juga mengungkapkan bahwa kelompok kelas dari sistem bandongan di atas disebut halaqah yang arti bahasanya lingkaran murid, atau sekelompok siswa yang belajar di bawah bimbingan guru.[31]
Kedua teknik mengajar yaitu sorogan dan bandongan yang menjadi ciri has pesantren, oleh sebagian pakar pendidikan dianggap statis dan tradisional, miskipun sorogan dan bandongan dianggap statis, ini bukan berarti tidak menerima inovasi. Metode sorogan justru mengutamakan kematangan, perhatian dan kecakapan seseorang..[32]
Mastuhu memandang bahwa dari segi ilmu pendidikan, metode sorogan sebenarnya adalah metode yang modern, karena antara guru atau kyai dan santri saling mengenal secara erat dan guru menguasai benar materi yang seharusnya diajarkan. Murid juga belajar dam membuat persiapan sebelumnya. Demikian pula, guru telah mengetahui apa yang cocok bagi murid dan metode apa yang harus digunakan husus untuk menghadapi muridnya. Di samping itu metode sorogan ini juga dilakukan secara bebas (tidak ada paksaan) dan bebas dari hambatan formalitas.[33] Dengan demikian, yang dipentingkan bukan upaya untuk mengganti metode sorogan menjadi model perkuliahan, sebagaimana pendidikan modern, melainkan melakukan inovasi sorogan menjadi metode sorogan yang mutakhir (gaya baru).
Sejalan dengan itu nampaknya perlu dikembangkan di pesantren model-model sorogan gaya mutakhir. Ini sebagai upaya pengembangan model pengajaran. Akan lebih lengkap lagi apabila beberapa usulan atau penawaran metode yang ditawarkan oleh para ahli dijadiakan sebagai alternative yang perlu dipertimbangkan.
Tingkat tertinggi dalam metode pengajaran di pesantren adalah metode seminar bagi santri lanjutan dan ustadz-ustadz (guru). Sistem seperti ini terorganisir dan terlaksana dalam pesantren yang besar sebagai kelas musyawarah. Dari setiap peserta, diharapkan secara intensif mempersiapkan diri untuk setiap tema dan untuk mempelajari bahan-bahan yang lebih sukar, kemudian kyai memberikan ceramah dalam tema-tema yang telah disepakati atau menafsirkan ayat-ayat yang relevan, yang akhirnya dibahas oleh peserta di antara mereka sendiri. Penjelasan dan keterangan diarahkan oleh seorang peminpin diskusi yang diangkat untuk itu sebagai moderator. Pinpinan seminar kemudian menyampaikan kepada kyai hasil-hasil seminar atau meminta kepadanya untuk memberikan pandangan tentang masalah-masalah yang dipertanyakan itu. Bukan hal yang luar biasa, bahwa beberapa siswa yang paling berbakat dan paling pandai dalam kelas musyawarah dianggap sebagai kyai muda dan dalam hiraki pesantren memiliki suatu kedudukan menonjol, terutama apabila pengetahuan bahasa Arabnya mengizinkannya untuk berkomonikasi dan menulis secara giat tentang masalah-masalah keagamaan dan filsafat.[34]
Dalam hal evaluasi, keberhasilan belajar di pesantren ditentukan oleh penampilan kemampuan mengajar kitab kepada orang lain. Artinya jika audiennya puas, berarti santri tersebut telah lulus, sehingga legitimasi kelulusannya adalah restu kyai.[35] Bentuk sistem lainnya adalah selesainya pengajian suatu kitab  di pesantren  dalam waktu tertentu, lalu diberikan ijazah yang bentuknya adalah santri harus siap membaca kitab sewaktu-waktu kyai memanggilnya untuk membaca kitab tersebut. Dalam hal ini biasanya santri yang cerdas akan diminta kyai sebagai penggantinya (badal).
Selain dua bentuk evaluasi di atas, sistem evaluasi pesantren lebih ditekankan pada kemampuan santri dalam mentransformasikan nilai-nilai ajaran agama islam melalui ilmu dari pesantren di masyarakat. Hal ini akan mungkin adanya evaluasi diri sehingga menungkinkan penilaian objektif dengan cara santri mengukur sendiri prestasi belajar.[36] Dari gambaran di atas dapat diketahui bahwa sistem evaluasi di pesantren belum dilakukan secara formal.[37]

E.   Pengembangan Kurikulum Pendidikan Pesantren
Sebagaimana yang telah dijelaskan di atas pada bagian D (kurikulum pendidikan pesantren) bahwa kurikulum pesantren ada 14 macam sebagaimana yang telah disilabuskan oleh imam al-Suyuthi, dan itu mencerminkan keraktiristik pendidikan pesantren yang sangat kental dengan kurikulum pendidikan ketradisionalannya (pesantren salafi). Namu pada zaman modern ini, pesantren salafi mulai beradaptasi dengan kurikulum pendidikan Islam yang disponsori oleh Departemen Agama melalui sekolah formal (madrasah). Kurikulum khusus pesantren dialokasikan dalam muatan lokal atau diterapkan melalui kebijaksanaan sendiri. Gambaran kurikulum lainnya adalah pada pembagian waktu belajar, yaitu mereka belajar keilmuan sesuai dengan kurikulum yang ada di perguruan tinggi (sekolah) pada waktu-waktu kuliah. Waktu selebihnya dengan jam pelajaran yang padat dari pagi sampai malam untuk mengkaji ilmu Islam khas pesantren (pengajian kitab klasik).[38]
Pada awal abad ke-20 beberapa pesantren mulai lebih progresif dengan memasukan beberapa pelajaran-pelajaran umum. Tebu Ireng sebagai pesantren paling terkenal telah mempelopori pembaharuan kurikulum tersebut. catatan historis dari Zamakhsyari Dofier[39] menunjukan bahwa kurikulum pesantren ketika tahun 1916-1919 masih berisi pengetahuan agama semata, mulai tahun 1919 ditambah dengan pelajaran-pelajaran bahasa Indonesia (Melayu), matematika dan ilmu bumi. Mulai tahun 1926 ditambah pula dengan pelajaran bahasa Belanda dan sejaran. Kedua pelajaran ini diperkenalkan oleh Kyai Ilyas yang mana merupakan keponakan hadharatus Syaikh yang menamatkan pelajarannya di HIS dan mulai mengajar di Tebu Ireng pada tahun 1926.
Fenomena pesantren sekarang yang mengadopsi pengetahuan umum untuk para santrinya, tetapi masih tetap mempertahankan pengajaran kitab-kitab klasik merupakan upaya untuk meneruskan tujuan utama lembaga pendidikan tersebut, yaitu pendidikan calon ulama yang setia kepada paham Islam tradisional (salafi).[40]
Mencermati hal di atas, jika bentuk pendidikan pesantren hanya mendasarkan pada kurikulum tradisional (kurikulum salafi) tanpa mengadopsi pendidikan di Depertemin Agama dan masih mempunyai ketergantungan yang berlebihan pada Kyai tampaknya merupakan persoalan tersendiri, jika dikaitkan dengan tuntutan perubahan jaman yang senantiasa melaju dengan cepat ini.
Bentuk pesantren yang demikian akan mengarah pada pemahaman Islam yang parsial karena Islam hanya dipahami dengan pendekatan normatif semata. Belum lagi output (santri) yang tidak dipersiapkan untuk menghadapi problematika modern, mereka cenderung mengambil jarak dengan proses perkembangan jaman yang serba cepat ini.
Pesantren dalam bentuk ini, hidup dan matinya sangat tergantung pada kebesaran kiainya, kalau di pesantren tersebut masih ada Kiai yang mumpuni dan dipandang mampu serta diterima oleh masyarakat, maka pesantren tersebut akan tetap eksis. Tetapi sebaliknya, jika pesantren tersebut sudah ditinggal oleh kiainya dan tidak ada pengganti yang mampu melanjutkan, maka berangsur-angsur akan ditinggalkan oleh santrinya. Oleh karena itu, inovasi dalam penataan kurikulum perlu direalisasikan, yaitu merancang kurikulum yang mengacu pada tuntutan masyarakat sekarang dengan tidak meninggalkan karakteristik pesantren yang ada sebab kalau tidak, besar kemungkinan pesantren tersebut akan semakin ditinggalkan oleh para santrinya.
Dalam penataan dan pengembangan kurikulum pendidikan yang perlu diperhatikan oleh pesantren yang dalam hal menerima modernisasi harus benar-benar selektif dalam menerima dan mengadopsi pola-pola kurikulum Depertemen Agama atau kurikulum dari luar, karena bisa jadi, pesantren yang tidak selektif dalam mengikuti perkembangan modernisasi ini akan kehilangan ruh dan identitasnya sebagai lembaga pendidikan pesantren. Dalam hal ini, kita setuju dengan pendapat Nurcholish Madjid yang mengatakan bahwa untuk memainkan peranan yang besar dalam ruang lingkup nasional, pesantren-pesantren tidak perlu kehilangan kepribadiannya sendiri sebagai tempat pendidikan keagamaan. Bahkan, tradisi-tradisi positif yang dimiliki pesantren sebenarnya merupakan ciri khusus yang harus dipertahankan karena di sinilah letak kelebihannya. [41]


BAB III
PENUTUP
A.  Kesimpulan
Dari uraian di atas penulis dapat menyimpulkan bahwa:
1.    Sistem pendidikan yang diterapkan di pesantren adalah Pertama aktor atau pelaku (Kyai, ustadz, santri dan pengurus). Kedua Sarana perangkat Keras (masjid, rumah kyai, rumah dan asrama ustadz, pondok dan asrama santri, gedung sekolah atau madrasah, tanah untuk pertanian dan lain-lain). Yang Ketiga Sarana perangkat lunak (tujuan, kurikulum, kitab, penilaian, tata tertib, perpustakaan, pusat penerangan, keterampilan, pusat pengembangn masyarakat dan lain-lain).
2.    Visi dan tujuan pendidikan pesantren adalah untuk mencetak santri yang berakhlakul karimah dan tafaqquhu fiddin sebagai generasi perjuangan islam. sedangkan sumber keilmuan pesantren adalah kitab-kitab klasik (kitab kuning).
3.    Eksistensi kitab Kuning di pesantren adalah sangat penting, karena kitab kuning merupakan sumber rujukan dalam lini kehidupan, seperti halnya bahstul masail dalam unpaya menjawab problematika umat.
4.    Kurikulum pendidikan yang digunakan dipesantren adalah ada 14 macam sebagaimana yang telah disilabuskan oleh imam al-Sututi dalam ktab Itmam al-Dirayah.
5.    Kurikulum pendidikan pesantren pada dekade ini sudah banyak mengalami perkembangan dengan mengadopsi pendidikan modern sebagaimana yang telah ditawarkan oleh Depertemen Pendidikan Agama.
B.   Saran
Bagi pemegang kekuasaan di pesantren harus benar berhati-hati dan slektif dalam mengadopsi kurikulum Depertemen Agama atau kurikulum dari luar, karena bisa jadi, pesantren yang tidak selektif dalam mengikuti perkembangan modernisasi ini akan kehilangan ruh dan identitasnya sebagai lembaga pendidikan pesantren. 

DAFTAR PUSTAKA

Ainurrafiq, “Pesantren dan Pembaharuan: Arah dan Implikasi”, dalam Abuddin Nata, Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Lembaga-Lembaga Islam di Indonesia, Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia, 2001, hal. 155.

Bawani, Imam, Tradisionalisme Dalam Pendidikan Islam, Surabaya: al-Ikhlas, 1998.

Dhofier, Zamakhsyari, Tradisi Pesantren: Studi Tentang Pandangan Hidup Kyai, LP3ES, Jakarta 1985.

Harits, A. Busyairi, Islam Nu Pengawal Tradisi Sunni Indonisia, Surabaya: Khalista, 2010.

Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam Di Indonisia: Lintasan Sejarah Dan Perkembangan, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta 1995.

Mahfudz, Sahal, Nuansa Fikih Social, Yogyakarta, LKiS dan Pustaka Pelajar, 1994.

Mastuhu, Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren: Suatu Kajian Tentang Unsur dan Nilai Sisten Pendidikan Pesantren, Jakarta: INIS, 1994.

Muthohar AR, Ahmad, Idiologi Pendidikan Pesantren: Pesantren Di Tengah Arus Idiologi-Idiologi Pendidikan, Depag dan INCIS, 2002.

Nata, Abuddin, Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Lembaga-Lembaga Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta, Grasindo 2002.

Patoni, Ahmad, ‘Modernisasi Pendidikan Pesantrendalam Akhyak, ed, Meniti Jalan Pendidikan Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, Depag dan INCIS, 2002.

Pratt, David, Curriculum Design and Development, Harcourt Brace Jovanovich, New York, 1980.

Siswanto, Ali Hasan, Dialektika Tradisi UN Di Tengah Arus Modernisasi, Surabaya: iQ_Media, 2014.

Steenbrink, Karel A., Pesantren Madrasah Sekolah Pendidikan Islam Dalam Kurun Modern, Jakarta: LP3ES, 1994.
Suyoto, “Pesantren Dalam Alam Pendidikan Nasional” dalam M. dawan Raharjdo, Pesantren Dan Pembaharuan, cet. IV. LP3ES, Jakarta, 1989.

Syahid, Ahmad, Pesantren dan Pengembangan  Ekonomi Umat, Depag dan INCIS, 2002.

Thoha, Chabib, “Reposisi Materi Pendidikan Pondok Pesantren Sebagai Proses Internalisasi, dalam Majalah Edukasi No 17/Th.XIV. Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang, 1998.

Van Brunessen, Martin, Ktab Kuning Pesantren Dan Tarikat, Mizan, Bandung 1995.

Van Houve, Ictiar Baru, Ensiklopedi Islam, Jakarta: Ictiar Baru Van Houve,1993.

Wahjoetmo, Perguruan Tinggi Pesantren: Pendidikan Alternatif Masa Depan, Jakarta, Gema Insani Press 1987.

Ziemek, Manfred , Pesantren Dalam Perubahan Sosial, P3m, Jakarta, 1986.

 


[1] KBBI
[2] Ibid, hlm
[3] Zamahsyari Dhofier, Tradisi pesantren: Studi Tentang Pandangan Hidup Kyai, LP3ES, (Jakarta: LP3ES, 1984) hlm. 18. Dan lihat di: Manfret Ziamek, Pesantren Islamiche Bildung In Sozialen Wandel, Butche B. Soendjojo, (penj), (Jakarta: Guna Aksara,1986) hlm.16
[4] Ictiar Baru Van Houve, Ensiklopedi Islam, (Jakarta: Ictiar Baru Van Houve,1993) hlm.107.
[5] Mastuhu,  Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren: Suatu Kajian Tentang Unsur dan  Nilai Sisten Pendidikan Pesantren, ( Jakarta: INIS, 1994) hlm. 6
[6] Ahmad Syahid (edt), Pesantren dan Pengembangan  Ekonomi Umat, (Depag dan INCIS, 2002), hlm. 30-31.
[7] Ibid. hlm. 25
[8] QS al-Taubah 122
[9] Ilmu yang menerangkan hubungan antar ayat atau surat yang satu dengan ayat atau surat yang lain.
[10] Drs. KH. A. Busyairi Harits, M. Ag, islam NU pengawal tradisi sunni indonisia, surabaya: khalista, 2010, hlm. 30
[11] Ali Hasan Siswanto, Dialektika Tradisi UN Di Tengah Arus Modernisasi, Surabaya: iQ_Media, 2014, hlm, 105.
[12] Abuddin Nata, Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Lembaga-Lembaga Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta, Grasindo 2002 Hal. 170
[13] Abuddin Nata, Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Lembaga-Lembaga Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta, Grasindo 2002 Hal. 171
[14]Zamakhsyari, Tradisi Pesantren.., hal. 50
[15] Sahal Mahfudz, Nuansa Fikih Social, Yogyakarta, LKiS dan pustaka pelajar, 1994, hlm, 268-269
[16] Zamakhsyari, Tradisi Pesantren..,hlm. 51
[17]Ahmad Patoni, ‘Modernisasi Pendidikan Pesantren’ dalam Akhyak, ed, Meniti Jalan Pendidikan Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar hal. 363
[18] Ahmad Patoni, ‘Modernisasi Pendidikan Pesantren’ dalam Akhyak, ed, Meniti Jalan Pendidikan Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar hal. 364
[19] David pratt, Curriculum Design And Development, Harcourt Brace Jovanovich, new york, 1980, hlm, 4
[20] Manfred Ziemek, Pesantren Dalam Perubahan Sosial, p3m, jakarta, 1986, hlm, 157
[21] Martin Van Brunessen, ktab kuning pesantren dan tarikat, Mizan, Bandung 1995, hlm, 19
[22] Mastuhu, Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren, INIS, jakarta, 1994, hlm, 32
[23] Martin van Brunessen, Ktab Kuning Pesantren Dan Tarikat, Mizan, Bandung 1995, hlm, 27-32
[24] Zamakhsyari, Tradisi Pesantren.., hlm, 50
[25] Hasbullah, sejarah pendidikan islam di indonisia: lintasan sejarah dan perkembangan, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta 1995, hlm, 144. Dan lihat: Hasbullah,  Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia:Lintasan Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta,  1999,  Hal. 144
[26] Chabib thoha, “Reposisi Materi Pendidikan Pondok Pesantren Sebagai Proses Internalisasi, dalam Majalah Edukasi No 17/Th.XIV. fakultas tarbiyah IAIN walisongo semarang, 1998, hlm, 43.
[27] Mastuhu, Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren, INIS, jakarta, 1994, hlm, 61
[28] Zamakhsyari, tradisi pesantren.., hlm, 29
[29] Wahjoetmo, perguruan tinggi pesantren: pendidikan alternatif masa depan, Jakarta, gema insani press 1987, hlm, 83
[30] Zamakhsyari, Tradisi Pesantren.., hlm 28
[31] Ibid, hlm, 28
[32] Suyoto, “pesantren dalam alam pendidikan nasional” dalam M. dawan Raharjdo, pesantren dan pembaharuan, cet. IV. LP3ES, Jakarta, 1989, hlm, 26
[33] Mastuhu, Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren, INIS, jakarta, 1994, hlm, 143-144
[34] Zamakhsyari, Tradisi Pesantren.., hlm 31.
[35] Mastuhu, Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren, INIS, jakarta, 1994, hlm,145
[36] Martin Van Brunessen, ktab kuning pesantren dan tarikat, mizan, bandung 1995, hlm, 19
[37] Ahmad Muthohar, AR, Idiologi Pendidikan Pesantren: Pesantren di Tengah Arus Idiologi-Idiologi Pendidikan,
[38] Ainurrafiq, “Pesantren dan Pembaharuan: Arah dan Implikasi”, dalam Abuddin Nata, Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Lembaga-Lembaga Islam di Indonesia (Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia, 2001), hal. 155.
[39] Karel A. Steenbrink, Pesantren Madrasah Sekolah pendidikan Islam dalam Kurun Modern, Jakarta: LP3ES, 1994, Hal.70
[40] Imam Bawani, Tradisionalisme dalam Pendidikan Islam (Surabaya: al-Ikhlas, 1998), hal. 95-96.
[41] Ciri khusus yang dimaksud misalnya pada fungsi pendidikan pesantren telah diakui oleh berbagai kalangan bahwa ia mampu mencetak santri menjadi seseorang yang mempunyai moral yang baik dan sekaligus mempunyai wawasan keagamaan yang matang. Sebagai lembaga yang mempunyai komitmen terhadap pembentukan moral yang baik, pada era sekarang tampaknya sangat dibutuhkan. Lihat lebih lanjut tulisan Nurcholish Madjid, Bilik-Bilik, hal. 5.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pages