KONSEP FIKIH MODERAT IMAM SYAFI'IE



BAB I
PENDAHULUAN
A.  Latar belakang
Ketika melihat pada zaman awal mula berdirinya madhhab-madhhab fiqih besar, maka akan dijumpai dua kutub fiqih yang berbeda. Pertama adalah madhhab ahlu al-Ra’yi, yaitu madhhab al-Hanafi<yah yang berpusat di Kufah. Tokoh besarnya adalah al-Imam Abu Hani<fah rahimahullah. Kekuatan yang paling menonjol dari madhhab ini memang pada penggunaan nalar dan logika (mant}i<q), meski bukan berarti meninggalkan nas} dan athar[1].
Seandainya tidak ada qiyas yang dikembangkan madhhab ini, boleh jadi bangsa Indonesia hari ini masih membayar zakat fit}rah dengan kurma dan gandum. Bahkan mungkin khamar hanya dimaknai sebatas air perasan buah kurma dan anggur semata.
Kedua adalah madhhab ahlu al-Hadi<th yang berpusat di Madinah, tokoh besarnya imam Malik rahimahullah. Madhhab ini bukan berarti tidak menggunakan qiyas atau logika, namun penggunaan nas} dan athar sangat dominan. Bahkan pendapat dan fatwa s}ahabat (qaulu al-S}aha>bi<) termasuk ke dalam sumber fiqih mereka, termasuk praktek penduduk Madinah (amalu ahli al-Madi<nah), walau pun dari bukan level s}ahabat, juga dijadikan salah satu dasar pengambilan fatwa.
Lalu posisi yang boleh dibilang agak di tengah dari keduanya adalah madhhab al-Syafi’ie. Al-Imam al-Syafi’ie rahimahullah sering disebut-sebut sebagai pendiri madhhab moderat yang menjadi jembatan penghubung di antara kedua madhhab itu. Namun keistimewaan yang ada pada kedua madhhab yang agak berbeda itu malah menyatu di dalam madhhab al-Syafi’iyah. Di satu sisi madhhab itu punya dasar kekuatan nas} yang cukup fundamental, sementara ketika bicara nalar dan logika, juga punya kekuatan yang nyaris sama.
B.   Rumusan masalah
Selanjutnya untuk memudahkan pembahasan dalam topik pembahasan ini, penulis perlu membuat rumusan-masalah. Rumusan masalah tersebut akan ditulis dengan bentuk pertanyaan-pertanyaan sebagaimana berikut:
1.      Apa yang dimaksud dengan fiqih moderat?
2.      Kenapa imam syafi’ie dikenal sebagai madhhab fiqih yang moderat?
3.      Bagaimanakah metode pengistimbatah hukum imam syafi’ie?

C.   Tujuan kepenulisan
Dalam penulisan makalah ini, penulis bermaksud untuk:
1.      Memberikan penjelasan tentang fikih moderatnya imam syafi’ie
2.      Menjelaskan alasan dikenalnya imam syafi’ie sebagai pendiri fikih moderat.
3.      Memberikan penjelasan tentang latar belakang terbentuknya fikih moderatnya imam syafi’ie.

D.  Sistematika Pembahasan
Untuk memudahkan di dalam penulisan makalah ini, penulis akan membuat sistematika pembahasan sebagaimana berikut:
BAB I        : Berisi tiga poin, poin A. berisi Latar Belakang Masalah, B. berisi Rumusan Masalah, C. Tujuan Kepenulisan dan poin D. berisikan Sistematika Pembahasan.
BAB II     : Berisi tiga poin yaitu: A. Pengertian, poin B. Ahlu al-ra’yi dan ahlu al-hadits, C. Metode Istinbath Hukum Imam Syafi’ie dan poin terahir D. Contoh Masalah Khilafiyah.
BAB III      : Berisi dua poin. Poin A. Kesimpulan dan poin B. Saran



BAB II
PEMBAHASAN
A.  Pengertian
Sebelum berbicara lebih lanjut tentang fikih moderat imam syafi’ie penulis harus memperkanalkan terlebih dahulu apa yang disebut moderat dalam ranah fikih. Kata moderat dalam bahasa arab di kenal dengan kata ”al-Wasat}i<yah atau tawassut}” kata tersebut berakar dari kata ”wasat}an” yang diterjemahkan secara bahasa dengan makna ”pertengahan”. Maka manhaj wasat}i<yah dimaknai sebagai pendapat pertengahan di antara dua atau lebih dari beberapa madzhab (pendapat) yang berbeda. Dan sering juga dianggap sebagai pendapat yang moderat (tawassut}).

B.   Ahlu al-Ra’yi dan ahlu al-Hadith
Ketika melihat awal mula munculnya madhhab pemikiran fiqih, maka akan dijumpai dua kutub fikih yang beda, yakni ahlu al-hadi<th,  yaitu madhhab al-Imam Malik rahimahullah yang berpusat di madinah dan ahlu al-Ra’yi yaitu madzhab Abu Hani<fah yang berpusat di kufah. Ahlu al-Hadith adalah ulama yang lebih banyak menggunakan hadi<th dan sangat hati-hati serta selektif dalam menggunakan al-Ra’yu, sedangkan ahlu al-Ra’yi adalah ulama yang banyak menggunakan nalar pikiran dibanding hadi<th. Penggunaan hadi<th terbatas pada hadi<th yang mutawa>tir dan s}a>hih saja. Munculnya dua kelompok ini memicu perbedaan pendapat dikalangan para ulama dan secara signifikan mendorong lajunya  perkembangan fiqh[2].
Sedang alasan mereka yang berpegang  pada hadi<th sebagai sumber hukum adalah:
                   1.     Madinah adalah tempat syari’at (sunnah) diturunkan dan merupakan sumber mata air yang jernih” untuk hadi<th.
                   2.     Kebiasaan menghafal merupakan tradisi yang dipegang teguh dan menjadi kebanggaan
                   3.     Persoalan yang muncul tidak terlalu banyak, karna kehidupan di madinah nyaris statis, terutama ketika ibu kota dipindahkan ke damaskus. Maka tidak heran apabila dalam madhhab Maliki-sebagai madhhab yang dianut penduduk madinah mengatakan bahwa tradisi penduduk madinah (ijma’ penduduk madinah) di jadikan hujjah yang wajib di ikuti dan di dahulukan di bandingkan dengan qiya>s.[3]
Sedangkan alasan ulama ini mengutamakan ra’yu sebagai landasan hukum adalah :
                   1.     Karena kufah jauh dari sumber sunnah (madinah) dan fatwa s}ahabat di kufah (iraq) tidak sebanyak di madinah, sehingga para fuqaha harus memeras otak dan berusaha memahami pengertian nas} dan ‘illat penerapan suatu hukum dari syra’, agar pengertian hukum tersebut bisa mencakup apa yang tidak dimuat oleh kata-katanya.
                   2.     Problematika hidup yang dihadapi di kufah lebih komplek dan variatif bila dibanding dengan di Madinah, akan muncul persoalan baru, dan memerlukan jawaban-jawaban yang tidak terjawab oleh nas} (al-Qur’a>n dan al-Sunnah)
                   3.     Dekat dengan pusat pengembangan kebudayaan helenisme  (filsafat yunani ) di persia yang mengajarkan logika  (salah satunya adalah logika sylogisme yang di pakai dalam metodelogi  qiya>s)
                   4.     Banyak tokoh agama yahudi dan nas}rani< (dalam perkembangan selanjutnya banyak yang menjadi tokoh dan memasukan ajaran yahudi yang disebut dengan isra<illiya<t) dan siba<’i (peyembah binatang) yang menguasai filsafat yunani kuno ini masuk islam.
                   5.     Kufah merupakan pusat pergerakan politik, baik bagi syi’ah, khawa>rij, maupun sunni<.
Ketiga kelompok terakhir ini (syi’ah, khawa>rij, dan ahlu al-Sunnah) masing-masing bersaing dan mencari legitimasi transenden melalui kekuatan nas}. Menggunakan dalil-dalil dari ayat al-Qur’a>n sangat terbatas pada takwil ayat-ayat mutasya>bihah dan sangat tidak mungkin melakukan penambahan ayat, satu-satunya peluang yang masih memungkinkan adalah dengan memalsukan hadi<th, maka merebaklah hadi<th-hadi<th palsu di kufah ini.
Oleh karena itu para fuqaha sangat hati-hati dalam menerima hadi<th yang berkembang di kufah ini. Apa bila ada hadi<th yang tidak sesuai dengan maqa>s}id syar’iyah maka hadi<th itu di takwilkan atau di tinggalkan. Maka munculah pendapat populer dari madhhab Hanafi yang menolak hadi<th Ahad[4].
Adapun tokoh-tokoh ulama kufah adalah: Ibnu Mas’u<d, Abu Musa al Ash’ari<, Sa’ad ibnu Abi Waqa>s, Amr bin Yasir, Khujaifah bin Yaman, Annas bin Malik sebagai generasi babon (s}aha>bat). Generasi pertama dari murid s}aha>bat ini adalah : Al Qamah bin Qais al-Nakha’i, Abu Maysaroh al Hamdani<, Masduq ibn al-Ajda, Ubaidah al-Salmani, Syuraikh ibn Haris al Kindi. Sedangkan generasi kedua adalah : Hammad ibn Abi Sulaiman, mansyur ibn Abi Mu’tabir al-Salami, al-Muqdim. Kemudian selanjutnya Abi Laila, Ibnu Syubrumah, Syuraikh al-Qadhi<, dan Abu Hanifah.[5]

C.   Metode Istinbat} Hukum fikih moderatnya Imam Syafi’ie
Imam Syafi’i dalam ranah pemikiran hukum Islam (fiqih) adalah seorang Imam madhhab yang berusaha berfikir moderat. Pemikiran Imam Syafi’i adalah merupakan jembatan antara dua kutub pemikiran yang ekstrim yaitu ahlu al-Ra’yi dan Ahlu al-Hadi<th. Kelompok pertama yang diwakili oleh Abu Hanifah yang sangat mengedepankan aspek rasionalitas dalam pendekatan pemahaman hukumnya dan kelompok kedua dipelopori oleh Imam Malik di mana pendekatan hukumnya lebih mengedepankan aspek-aspek yang bersifat normatif (tekstual).
Imam Syafi’i seolah-olah berada di antara dua pola pendekatan hukum tersebut. Hal tersebut dikarenakan beliau pernah menuntut ilmu dari satu daerah ke daerah yang lain, dari satu guru ke guru yang lain. Beliau pernah berguru kepada Imam Malik dan berguru kepada Muhammad bin Hasan al-Syaibani penganut madhhab Hanafi<. Pengalaman banyak guru tersebut menjadikan Imam Syafi’i dapat menarik manfaat dan kebaikan yang banyak, dimana kondisi tersebut akhirnya banyak mewarnai pola pikir terhadap madhhab yang ia bangun, yakni madhhab Syafi’ie. Dari Imam Malik beliau dapat mengambil al-Sunnah kemudian memberikan rumusan tentang tidak semua sunnah dapat dijadikan pegangan.
Kalau kita telusuri metode Ist}imbat hukum yang dilakukan dan dikembangkan oleh Imam Syafi’i maka terlihat jelas bahwa beliau dalam menentukan ijtihadnya berdasarkan tingkatan sumber hukum Islam yang dapat dipertanggung jawabkan, yakni al-Qur'a>n, al-Sunnah, Ijma’ (hasil kesepakatan ulama dalam masalah hukum) dan Qiya>s (analogical) sehingga kalau terjadi permasalahan maka penyelesaiannya dipecahkan dengan tingkatan-tingkatan tersebut.
Adapun mengenai pokok-pokok pemikiran mengistinbat}kan hukum, dapat dipahami dari beliau yang disebutkan dalam kitab al-Risa>lah:

يحكم بالكتاب والسنة المجتمع عليها، الذي لا اختلاف فيها، فنقول لهذا: حكمنا بالحق في الظاهر والباطن. وُيحكم بالسنة قد ُرويت من طريق الانفراد، لا يجتمع الناس عليها، فنقول حكمنا بالحق في الظاهر، لأنه قد يمكن الغلط فيمن روى الحديث. ونحكم بالإجماع ثم القياسِ، وهو أضعف من هذا، ولكنها منزلةُ ضرورة، لأنه لا يحل القياسُ والخبرُ موجودٌ، كما يكون التيمم طهارةً في السفر عند الإعواز من الماء، ولا يكون طهارةً إذا وُجد الماء، إنما يكون طهارةً في الإعواز. وكذلك يكون ما بعد السنة حجةً إذا أَعوَزَ من السنة.[6]
Artinya : Hukum ditetapkan dengan al-Kitab dan al-Sunnah yang telah disepakati tanpa khilaf. Dalam hal ini kita menyatakan, “Kita telah menghukumi dengan benar pada zhahir danbathin”. Dapat juga ditetapkan berdasarkan al-Sunnah yang diriwayatkan melalui orang-seorang. Jika tidak mendapatkan kesepakatan, maka kita mengatakan, “Kita menghukum dengan benar secara Zhahir, walaupun masih mungkin terdapat kesalahan pada perawi itu.” Selain itu, kita dapat juga menetapkan hukum berdasarkan ijma’, kemudian berdasarkan qiyas, tetapi qiyas itu lebih lemah adanya, namun tindakan tersebut harus diambil mengingat bahwa itu adalah keadaan dharurat.Qiyas tidak dibenarkan selama ada Sunnah, seperti halnya tayammum hanya sah sebagai thaharah dalam perjalanan, bila air tidak ditemukan. Demikian dalil berikutnya hanya sebagai hujjah bila al-Sunnah tidak ditemukan.”

Dari pendapat beliau yang telah dikemukan di atas ditarik kesimpulan tentang suatu kefahaman metode Istinbat} hukum Imam Syafi’ie sebagai berikut :
1.    Al-Qur'a>n merupakan sumber primer menurut pandangan beliau, al-Sunnah merupakan penjelasan terhadap al-Qur'a>n.
2.    Kalau masalah tidak dijelaskan secara konkrit baik dalam al-Qur'a>n maupun dalam hadits, maka permasalahan tersebut dipecahkan dengan cara ijma’.
3.    Imam Syafi’i tidak berhujjah dengan hadi<th-hadi<th kecuali yang diriwayatkan oleh Ibnu Musayyad yang sudah diakui keabsahannya.
4.    Kalau dalam al-Qur'a>n, al-Sunnah, Ijma’ tidak bisa, maka jalan keluarnya adalah memakai Qiya>s.
Imam syafi’ie tidak berpegang kepada selain al Qur’a>n dan al-Sunnah dari beberapa tingkatan sumber hukum Islam tadi selama hukumnya terdapat dalam dua sumber tersebut. Ilmu secara berurutan diambil dari tingkatan yang lebih di atas dari tigkatan-tingkatan tersebut.
Nukilan otentik dari Imam Syafi’i (dalam kitab al-Risa>lah) menjelaskan landasannya dalam berfatwa, seperti halnya dengan madhhab lainnya. Bagi Imam Syafi’ie Al Qur’a>n adalah sumber pertama dan utama dalam membangun Fiqh, kemudian Sunnah Rasulullah SAW bila mana teruji keshahihannya. Dalam urutan sumber hukum di atas, Imam Syafi’ie meletakkan sunnah sejajar dengan al-Qur’a>n pada urutan pertama, sebagai gambaran betapa pentingnya Sunnah dalam pandangan Imam Syafi’ie sebagai penjelasan langsung dari keterangan-keterangan dalam al-Qur’a>n.[7]
Oleh karena itu, Imam Syafi’i digelari Na>s}iru al-Sunnah[8], artinya “pembela Sunnah Nabi SAW”, sebagaimana ia sangat memuliakan para ahli Hadi<th. Ulama besar Abdul Halim al-Jundi, menulis sebuah buku dengan judul al-Imam al-Syafi’ie, Na>s}ir al-Sunnah wa Wadi’ al-Us}u>l (Imam Syafi’i) pembela sunah dan peletak dasar ilmu Us}u>l Fiqh)[9]. Di dalamnya diuraikan secara rinci bagaimana sikap dan pembelaan Syafi’i terhadap Sunnah. Intinya adalah bahwa Imam Syafi’i sangat mengutamakan Sunnah Nabi dalam melandasi pendapat-pendapat dan hasil ijtiha>d nya.[10]
Karena sangat mengutamakan Sunnah, Syafi’i menjadi sangat berhati-hati dalam menggunakan Qiya>s. Menurutnya, Qiya>s hanya dapat digunakan dalam keadaan terpaksa (darurat), yaitu dalam masalah mu’ama>lah (kemasyarakatan) yang tidak didapati teksnya (nas}nya) secara pasti dan jelas di dalam al Qur’a>n atau hadi<th s}ahi<h, atau tidak dijumpai ijma’ pada s}aha>bat, Qiya>s sama sekali tidak dibenarkan dalam urusan ibadah, karena untuk segala yang menyangkut ibadah sudah tertera nas} nya di dalam al-Qur’a>n dan Sunnah Nabi SAW. Dalam menggunakan Qiya>s, Syafi’i menegaskan bahwa harus diperhatikan nas}-nas} al-Qur’a>n dan al-Sunnah yang telah ada. Dalam hal Sunnah ia juga memakai hadi<th Ahad (perawinya satu orang) disamping yang Mutawatir (perawinya banyak orang), selama hadi<th Ahad itu mencukupi syarat-syaratnya. Kemudian apabila dengan jalan Qiya>s pun tidak ditemukan ketentuan hukumnya, maka Syafi’ie memilih jalan Masdar Istidlal.[11]
Dalam sebagian kitab Imam Syafi’ie, dijumpai bahwa al-Sunnah tidak semartabat dengan al-Qur’a<n. Mengapa ada dua pendapat Imam Syafi’i tentang ini. Imam Syafi’i menjawab sendiri pertanyaan ini. Ia berkata: Al Qur’a>n dan al-Sunnah kedua-duanya dari Allah dan kedua-duanya merupakan dua sumber yang membentuk syari’at Islam. Mengingat hal ini, tetaplah al-Sunnah semartabat dengan al Qur’a<n. Pandangan Imam Syafi’i sebenarnya adalah sama dengan kebanyakan s}aha>bat.[12] Imam Syafi’i menetapkan bahwa al-Sunnah harus diikuti sebagaimana mengikuti al- Qur’a>n. Namun demikian, tidak memberi pengertian bahwa hadi<th-hadi<th yang diriwayatkan dari nabi SAW semuanya berfaedah yakin. Ia menempatkan al-Sunnah semartabat dengan al-Qur’a>n pada saat mengistimbahkan hukum, tidak memnberi pengertian bahwa al-Sunnah juga mempunyai kekuatan dalam menempatkan aqidah. Orang yang menginginkan hadits dalam bidang aqidah, tidaklah dikafirkan.
Imam Syafi’i menyamakan al-Sunnah dengan al-Qur’a>n dalam mengeluarkan hukum furu’, tidak berarti bahwa al-Sunnah bukan merupakan cabang dari al-Qur’a>n. Imam Syafi’i menetapkan bahwa al-Qur’a>n adalah kitab yang diturunkan dalam bahasa Arab yang murni, yang tidak bercampur dengan bahasa-bahasa lain.
Jika ada dua al-Sunnah yang bertentangan, yakni pertentangan antara dua al-Sunnah yang tidak diketahui terjadinya nasikh mansukh, oleh Imam Syafi’I dibedakan dua macam yang cara penyelesaiannya pun berbeda pula.[13]
Ijma’ menurutnya adalah kesepakatan para mujtahid di suatu masa, yang bilamana benar-benar terjadi adalah mengikat seluruh kaum muslimin.[14] Oleh karena Ijma’ baru mengikat bilamana disepakati seluruh para mujtahid di suatu masa, maka dengan gigih Imam Syafi’i menolak Ijma’ penduduk Madinah (amal ahl al-Madi<nah), karena penduduk Madinah hanya sebagian kecil dari ulama mujtahid yang ada pada saat itu.
Imam Syafi’i berpegang kepada fatwa-fatwa sa}ha>bat Rasulullah SAW dalam membentuk madhhabnya, baik yang diketahui ada perbedaan pendapat, maupun yang tidak diketahui adanya perbedaan pendapat dikalangan mereka. Seperti yang dikutip oleh TM. Hasbi as-Shiddieqy dalam “Pokok-pokok Pegangan Imam Madzhab” Imam Syafi’i berkata:
رأيهم لنا خير من رأينا لأنفسنا[15]
Artinya: “Pendapat para s}aha>bat lebih baik dari kita sendiri”.
Bilamana hukum suatu masalah tidak ditemukan secara tersurat dalam sumber-sumber hukum di atas, dalam membentuk madhhabnya ia melakukan ijtiha>d. Dengan ijtihad, menurutnya seorang mujtahid akan mampu mengangkat kandungan al-Qur’a>n dan Sunnah Rasu>lullah SAW secara lebih maksimal ke dalam bentuk siap untuk di amalkan. Oleh karena demikian penting fungsinya, maka melakukan ijtihad dalam pandangan Imam Syafi’i adalah merupakan kewajiban bagi ahlinya. Dalam kitabnya al-Risa>lah, Imam Syafi’ pernah mengatakan,
 “Allah mewajibkan hambanya untuk berijtihad dalam upaya menemukan hukum yang terkandung dalam al-Qur’a>n dan al-Sunnah”. Metode yang digunakan dalam berijtihad adalah Qiya>s.
Menurut Imam Syafi’i Qiya<s itu ada dua macam:
1.    Masalah yang dipersoalkan tercakup dalam arti dasar yang terdapat dalam ketentuan pokok. Dalam Qiyas semacam ini, Insya Allah tidak terjadi perbedaan.
2.    Masalah yang dipersoalkan tercakup dalam ketentuan pokok yang berbeda-beda. Dalam hal ini Qiya>s harus diterapkan pada ketentuan yang lebih mendekati kemiripannya. Dalam Qiya>s semacam ini perbedaan kesimpulan memang sering kali terjadi.[16]
Imam Syafi’i membuat kaidah-kaidah yang harus dipegangi dalam menentukan mana al-Ra’yu yang shahih dan mana yang tidak s}a>hih. Ia membuat kriteria bagi Istinbat}-istinbat} yang salah. Ia menentukan batas Qiya>s, martabat-martabatnya, dalam kekuatan hukum yang ditetapkan bagi Qiya>s.
Juga diterangkan syarat-syarat yang harus sempurna pada Qiya>s, sesudah itu diterangkan pula perbedaan antara Qiya>s dengan macam-macam Istimbatnya yang lain yang dipandang, kecuali Qiya>s. Dengan demikian Imam Syafi’i merupakan orang pertama dalam menerangkan hakekat Qiya>s. Imam Syafi’i sendiri tidak membuat ta’rif Qiya>s. Akan tetapi penjelasan-penjelasannya, contoh-contoh, bagian-bagian dan syarat-syarat menjaskan hakekat Qiya>s, yang kemudian dibuat ta’rifnya oleh ulama Us}u>l. Seperti yang dikutip oleh Sulaiman Abdullah dalam “Dinamika Qiya>s dalam Pembaharuan Hukum Islam (Kajian Qiya>s Imam Syafi’i)
Imam Syafi’i mendefinisikan Qiya>s sebagai berikut:
الحاق مالم ينص فيه بعينه كتاب ولا سنة بما نص فيه بحكم لمناسبته في معناه.
Artinya:Menghubungkan sesuatu yang tidak disebutkan nash (Al Qur’an dan al-Hadits) kepada sesuatu yang disebutkan hukumnya karena serupa maknanya makna hukum yang disebutkan nash).[17]

Kemudian mengenai Istihsan, dengan tegas Imam Syafi’i menolak, karena dipandangnya sebagai penetapan hukum berdasarkan keinginan dan mencari yang enak, tanpa rujukan dari nash atau keluar dari na>s}. Penolakan tersebut dikemukakan secara terpisah dalam kitabnya ar-Risa>lah dan al-Umm. Jika ada bentuk Istihsan yang bertopang pada dalil maka dalam pandangan Imam Syafi’i bahkan itu bukanlah Istihsan.[18]
Jadi, setiap ijtiha>d[19] yang bersumber pada al-Kitab (al Qur’a>n), al-Sunnah, atha>r atau Ijma’ atau Qiya>s dipandang Istihsan. Dan ijtihad dengan jalan Istihsan adalah ijtiha>d yang batal.
Akhirnya nampak jelas apa yang telah dilakukan oleh Imam Syafi'i dalam mencari sebuah ketentuan hukum. Dimana pertama kali ia akan berpegang pada al-Qur'a>n. Apabila tidak ditemukan na>s} hukumnya maka beralih ke hadi<th. Kemudian dia akan melakukan Ijma' dengan para s}aha>bat apabila dalam hadi<th belum juga dijumpai nash hukumnya. Dan terakhir dia akan mencari ketentuan hukum dengan menggunakan analogi Qiya>s apabila tidak ditemukan dalam Ijma'.

D.  Contoh Masalah Khila>fiyah
Banyak contoh khila>fiyah yang menggambarkan adanya pendapat yang wasat}iyah yang di fatwakan oleh imam al-Syafi’ie, contoh tersebut banyak berkutat dalam bidang fikih, karena imam syafi’ie dan imam yang lain (imam abu Hani>fah, imammalik dam imam hambal) berupakan imam-imam fikih. Di antara contohnya adalah penulis menukil satu ayat surat al-nisa’ ayat 43, yaitu:

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَقْرَبُوا الصَّلَاةَ وَأَنْتُمْ سُكَارَى حَتَّى تَعْلَمُوا مَا تَقُولُونَ وَلَا جُنُبًا إِلَّا عَابِرِي سَبِيلٍ حَتَّى تَغْتَسِلُوا وَإِنْ كُنْتُمْ مَرْضَى أَوْ عَلَى سَفَرٍ أَوْ جَاءَ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنَ الْغَائِطِ أَوْ لَامَسْتُمُ النِّسَاءَ فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوا بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيكُمْ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَفُوًّا غَفُورًا. [20]

Artinya: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam Keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan, (jangan pula hampiri mesjid) sedang kamu dalam Keadaan junub[21], terkecuali sekedar berlalu saja, hingga kamu mandi. dan jika kamu sakit atau sedang dalam musafir atau datang dari tempat buang air atau kamu telah menyentuh perempuan, kemudian kamu tidak mendapat air, Maka bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik (suci); sapulah mukamu dan tanganmu. Sesungguhnya Allah Maha Pema'af lagi Maha Pengampun.

Kata lamsu pada ayat di atas menurut imam syafi’ie dan imam hambali memiliki makna yang sama dengan massun yaitu menyentuh, sedangkan menurut imam malik dan imam hanafi keduanya memiliki makna yang berbeda yaitu lamsu bermakna jima’ (bersetubuh) sedangkan massu bermakna menyentuh (menyentuh dengan tangan).[22]
Dalam ayat tersebut di atas terdapat masalah khila>fiyah tentang batalnya wuduk yaitu:
1.      Imam abu hanifah
Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa menyentuh lawan jenis tanpaaling-aling tidak dapat membatlkan wudlu’ secara muthlak baik bersahwat ataupun tidak.


2.      Imam Malik
Imam Malik berpenapat bahwa menyentuh lawan jenis dengan tanpa aling-aling tidak dapat membatalkan wudlu’ dengan syarat menyentuhnya  tidak bersahwat.
3.      Imam Syafi’ie
Imam Syafi’ie berpendapat bahwa menyentuh lawan jenis dengan tanpa aling-aling dapat membatlkan wudlu’ secara muthlak baik menyentuhnya bersahwat ataupun tidak, baik tua ataupun muda.
4.      Imam hambali
Imam Hambali berpendapat bahwa menyentuh lawan jenis dengan tanpa aling-aling dan bersahwat dapat membatalkan wudu’, baik menyentuhnya kepada wanita yang muhrim (ibu, saudari perempuan dan sebagainya) ataupun wanita yang bukan muhrim
Dari keempat pendapat tersebut di atas sama-sama memiliki alas an yang kuat. Dalil yang di gunakan oleh Imam Hanafi dan Imam Malik adalah al-Hadis yang berbunyi:
حَدَّثَنَا أَبُو زُرْعَةَ قَلَنَا مُحَمَّدُ بْنُ بَكَّارٍ قَلنَا سَعِيدُ بْنُ بَشِيرٍ، عَنْ مَنْصُورِ بْنِ زَاذَانَ، عَنِ الزُّهْرِيِّ، عَنْ أَبِي سَلَمَةَ، عَنْ عَائِشَةَ: «أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يُقَبِّلُ بَعْضَ نِسَائِهِ، ثُمَّ يَخْرُجُ إِلَى الصَّلَاةِ وَلَا يَتَوَضَّأُ.[23]

Artinya: abu zar’ah bercerita kepada kami, Muhammad bin bakkar berkata kepada kami, sa’id bin basyir menyampaikan hadits kepada kami yang peroleh dari mansur bin zadan, dari al-zuhri, dari abi salamah, dari ‘asyah ” bahwa nabi shallahu alaihi wasallah mencium sebagian istrinya kemudian beliau melakukan shalat dan tidak berwuduk”.



Dan berdalil hadits yang lain:
أَخْبَرَنَا مُحَمَّدُ بْنُ الْمُثَنَّى، عَنْ يَحْيَى، عَنْ سُفْيَانَ، قَالَ: حَدَّثَنِي أَبُو رَوْقٍ، عَنْ إِبْرَاهِيمَ التَّيْمِيِّ، عَنْ عَائِشَةَ، أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يُقَبِّلُ بَعْضَ أَزْوَاجِهِ، ثُمَّ يُصَلِّي وَلَا يَتَوَضَّأُ.[24]

Artinya: Muhammad bin mutsanna bercerita kepada kami yang diperoleh dari yahya, dari sufyan, berkata: abu rauqi menyampaikan hadits kepada kami dari ibrahim al-taimi, dari ‘aisyah “ bahwa nabi mencium sebagian istrinya kemudian  beliau melakukan shalat dan tidak berwudu’.

Dalam hadis yang lain

أَخْبَرَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ الْمُبَارَكِ وَنُصَيْرُ بْنُ الْفَرَجِ وَاللَّفْظُ لَهُ قَالَا: حَدَّثَنَا أَبُو أُسَامَةَ، عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ، عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ يَحْيَى بْنِ حَبَّانَ، عَنِ الْأَعْرَجِ، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ: فَقَدْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَاتَ لَيْلَةٍ فَجَعَلْتُ أَطْلُبُهُ بِيَدِي فَوَقَعَتْ يَدِي عَلَى قَدَمَيْهِ وَهُمَا مَنْصُوبَتَانِ وَهُوَ سَاجِدٌ. [25]

Artinya: Muhammad bin abdillah bin mubarak dan nushair bin al-faraj menceritakan kepada kami, abu usamah menyampaikan hadits kepada kami dari ubaidillah bin umar, dari muhammad bin yahya bin habban, dari al-a’raj, dari abu hurairah, dari ‘aisyah ra  berkata” bahwa pada suatu malam saya kehilangan nabi dan mencarinya dengan tangan tiba-tiba tanganku menyentuh kedua kaki beliau pada saat nabi dalam keadaan sujud”.

Sedangkan dalil yang digunakan Imam Syafi’ie dan Imam Hambali dalam pendapat tersebut adalah dhahirnya ayat أَوْ لَامَسْتُمُ النِّسَاءَ (yaitu menyentuh perempuan dengan tangan). Namun Imam Hambali lebih ekstrim dari pada imam Syafi’ie yaitu dengan tanpa membatasi kepada siapapun baik kepada wanita muhrin atau wanita yang bukan muhrim (ajnabi). Dari keti empat pendapat tersebut yang moderat dalam artian tidak begitu berat dan tidak pula begitu ringan adalah pendapatnya imam Syaf’ie.


BAB III
PENUTUP
  1. Kesimpulan
                       1.     Fikih moderat adalah fikih wasa>t}iyah atau madhhab pertengahan yang menjembatani dua atau lebih dari beberapa madzhab yang berbeda.
                       2.     Imam syafi’ie dikenal dengan madhhab yang muderat, karena beliau pernah menuntut ilmu dari satu daerah ke daerah yang lain, dari satu guru ke guru yang lain. Beliau pernah berguru kepada Imam Malik (ahlu al-Hadi<th) dan berguru kepada Muhammad bin Hasan al-Syaibani penganut madhhab Hanafi< (ahlu al-Ra’yi). Pengalaman banyak guru tersebut menjadikan Imam Syafi’i dapat menarik manfaat dan kebaikan yang banyak, dimana kondisi tersebut akhirnya banyak mewarnai pola pikir terhadap madhhab yang ia bangun.
                       3.     Metode pengistimbatan hukum yang dilakukan imam syafi’ie adalah, pertama Al-Qur'a>n, kedua al-Sunnah, ketiga ijma dan keempat adalah Qiya>s’.

  1. Saran
                        1.            Diharapkan bagi mahasiswa pascasarjana tidak mengambil pendapat yang ringan-ringan saja, karena dikhawatirkan akan terjatuh kepada masalah talfiq.
                        2.            Di dalam mengikuti pendapat imam madhhab diharapkan bisa ittiba’ bukan taqlid, karena taqlid itu untuk orang-orang awam saja sedang bagi hamba yang berpendidikan (mahasiswa pascasarjana) tidak dibenarkan.



DAFTAR PUSTAKA

A. Hanafie, Us}u>l Fiqh, Jakarta: Wijaya, Cet. ke-14, 2001.

Abdu al-Rahman al-Jaziri, Madzahibu al-Arba’ah, Libanun: Bairut:1996.

Abdul Wahab Khalaf, Ilmu Us}u>lu al-Fiqh, Jakarta: Maktabah al-wal-Matbaah al-Islamiyah, Syabab al-Azhar, 1410 H/1990 M.

Abu Abdir Rahman Ahmad bin Syu’id bin Ali al-Kharasani al-Nasa’I Sunanu al-Kubro li al-Nasa’I,  Bairut: Muassasatu al-Risalah: 2001.

Ahmadie Thoha, "Al- Risa>lah Imam Syafi'i", Jakarta: Pustaka Firdaus, cet. ke- 1V, 1996.

Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, Jakarta: PT. Ichtiar Baru: Van Hoeve, 1996.

Fullani al-Maliki, Iqo>du imami uli al-Abshar li iqtida>’i bi sayyidi al-Muhaj<iri<n wa al-S}ha>r, Bairut: Daru al-Ma’rifah: 1996.

Imam Abi Abdillah Muhammad Bin Idris al-Syafi’i, al-Risa>lah fi Ilmi al-Us}u>l, Mesir: al-Ilmiyah 1995.

Manna Al-Qathan, Tarikh tasyri’ al-Isla>mi>, Bairut: Darul Fikr, 1995

Muhammad Afif al Za’by., Diwan al-Syafi’i Li Abi Abdillah Muhammad ibn Idris al-Syafi’i, Terj. Abdul Wahid Sy “Nasihat Imam Syafi’i”, Bandung : al-Bayan, 1940.

Muhammad Ali al-Sayyis, Tarikh al fiqh al-Islami, Bairut: Darul Fikr, 1995.

N.J Coulson . A history OF Islamic Law, Bairut: Darul Fikr, 1995.

Sulaiman Abdullah, Dinamika Qiyas dalam Pembaharuan Hukum Islam (Kajian Qiyas Imam Syafi’i), Jakarta : Pedoman Ilmu Jaya, 1996.

Sulaiman bin Ahmad bin Ayyub bin Mut}ir al-Khami> al-Sya>mi>, Mu’jamul ausat}, Qohirah: Daru al-Haramain: tt.

T.M Hasbi al-Shiddieqy, Pokok-pokok Pegangan Imam Madzhab, Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 1997.

Wahbah al-Zuhaily,  Al-Wajiz fi Us}u>l al-Fiqh, Bairut: Darul Fikr, 1995



[1] Wahbah al-Zuhaily,  Al-Wajiz fi Ushul Al-Fiqh, hal. 57
[2] Untuk perkembangan kedua madzahab ini lihat, N.J Coulson . A history OF Islamic Law. Penerjemah muhammad siraj.
[3] Muhammad ali al-Sayyis, Tarikh al fiqh al-Islami, Bairut: Darul Fikr, 1995, hlm.73
[4] Manna Al-Qathan Tarikh tasyri al-Islami, Bairut: Darul Fikr, 1995 hlm, 290
[5] Ibid, hlm, 262
[6] Imam Abi Abdillah Muhammad Bin Idris al-Syafi’i, al-Risalah fi Ilmu al-Ushul, Mesir: al-Ilmiyah hal 598, juz: 1
[7] Muhammad Afif al Za’by., Diwan al-Syafi’i Li Abi Abdillah Muhammad ibn Idris al-Syafi’i, Terj. Abdul Wahid Sy “Nasihat Imam Syafi’i”, Bandung : al-Bayan, 1992, hlm. 27.
[8] Lihat di muqaddimah Imam Abi Abdillah Muhammad Bin Idris al-Syafi’i, al-Risalah fi Ilmu al-Ushul, Mesir: al-Ilmiyah 1640 m hlm 6: I
[9] Ibid, hlm, 8:I
[10] Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996, hlm.
[11] Masdar berarti sumber, sedang Istidlal artinya mengambil dalil, menjadikan dalil, berdalil, Lihat T.M Hasbi ash-Shiddieqy, Pokok-pokok Pegangan Imam Madzhab, Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 1997, hlm. 558 dan 585.
[12] Imam Abi Abdillah Muhammad Bin Idris asy-Syafi’i, al-Risalah fi Ilmu al-Ushul, Mesir: al-Ilmiyah, 1312 H, hlm. 32.
[13] Cara penyelesaian, yaitu : a) Mungkin digabungkan antara keduanya, mestilah digabungkan. Sebab, pertentangan tersebut hanyalah menurut lahir ungkapan kata saja, bukan pada pengertian dan sasaran. b) Tidak mungkin digabungkan, karena pertentangan terjadi baik menurut lahir ungkapan kata maupun pengertian keduanya. Penyelesaiannya ditempuh tiga jalan, yaitu : 1) Diselidiki mana di antara keduanya yang wurudnya terdahulu dan mana yang kemudian. Yang terdahulu dipandang Mansukh dan yang terkemudian dipandang Nasikh. 2) Bila terbukti bahwa dua al-Sunnah yang bertentangan itu tak mungkin digabungkan dan tidak diketahui adanya Nasikh, maka di sini Imam Syafi’i mengadakan perbandingan segi senadnya, yaitu mengambil sanad yang terkuat. 3) Bila terhadap salah satu al-Sunnah yang bertentangan itu dapat petunjuk baik al-Kitab maupun al-Sunnah al-Shahihah atau beberapa bukti yang memperkuat isinya, maka dipeganglah al-Sunnah yang ada penguatnya itu. Lihat, Sulaiman Abdullah, Dinamika Qiyas dalam Pembaharuan Hukum Islam (Kajian Qiyas Imam Syafi’i), Jakarta : Pedoman Ilmu Jaya, 1996, hlm. 81-82
[14] Menurut Abdul Wahab Khalaf, Ijma’ menurut istilah para ahli Ushul Fiqh adalah kesepakatan seluruh mujtahid dikalangan umat Islam pada suatu masa setelah Rasulullah SAW wafat atas hukum syara’ mengenai suatu kejadian. Lihat Abdul Wahab Khalaf, Ilmu Ushul al-Fiqh, Jakarta: Maktabah al-wal-Matbaah al-Islamiyah, Syabab al-Azhar, 1410 H/1990 M, hlm. 45.
[15] TM. Hasbi ash-Shiddieqy, Pokok-pokok Pegangan Imam Madzhab, hlm. 271. Atau lihat redaksi lengkapnya:
وَقد قَال الشَّافِعِي فِي الصَّحَابَة رَأْيهمْ لنا خير من رَأينَا لأنفسنا وَنحن نقُول أَن رَأْي الشَّافِعِي وَالْأَئِمَّة مَعَه خير لنا من رَأينا لأنفسنا
Dalam: Fullani al-Maliki, Iqo>du imami uli al-Abshar li iqtida>’i bi sayyidi al-Muhajirin wa al-Shar, Bairut: Daru al-Ma’rifah: 1996hlm 123
[16] Imam Abi Abdillah Muhammad bin Idris asy-Syafi'i, Al- Risalah, Terj. Ahmadie Thoha, "Ar- Risalah Imam Syafi'i", Jakarta: Pustaka Firdaus, cet. ke- 1V, 1996, hlm. 229.
[17] Sulaiman Abdullah, Dinamika Qiyas dalam Pembaharuan Hukum Islam (Kajian Qiyas Imam Syafi’i), Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, Cet. ke-1, 1996, hlm. 107.
[18] Ibid, hlm, 110
[19] Ijtihad dari segi bahasa adalah mengerjakan sesuatu dengan segala kesungguhan. Perkataan ijtihad tidak digunakan untuk perbuatan yang harus dilakukan dengan susah payah. Menurut istilah, ijtihad ialah menggunakan seluruh kesanggupan untuk menetapkan hukum-hukum syari’at. Lihat A. Hanafie, Ushul Fiqh, Jakarta: Wijaya, Cet. ke-14, 2001, hlm. 151.
[20]  QS. Al-Nisa’ 43
[21] Menurut sebahagian ahli tafsir dalam ayat ini termuat juga larangan untuk bersembahyang bagi orang junub yang belum mandi.
[22] Abdu al-Rahman al-Jaziri, Madzahibu al-Arba’ah, Libanun, Bairut:1996 hal 77:I
[23] Sulaiman bin ahmad bin ayyub bin muthir al-Khami al-Syami, Mu’jamul ausath, Qohirah, darul Haramain: tt, hlm, 66, juz 5
[24] Abu Abdir Rahman Ahmad bin Syu’id bin Ali al-Kharasani al-Nasa’I Sunanu al-Kubro li al-Nasa’I,  Bairut, muassasatu al-Risalah: 2001, hal 135 , juz 1
[25] Abu Abdir Rahman Ahmad bin Syu’id bin Ali al-Kharasani al-Nasa’I, Sunan nasai, Maktabatu al-Mathbu’ati al-Islamiyah: Misrah: 1986, hlm, 102: I

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pages